Entah kesalahan apa yang Malea lakukan, sehingga dia harus menerima konsekuensi dari ibunya. Sebuah pernikahan paksa, jodoh yang sang ayah wariskan, justru membawanya masuk dalam takdir yang belum pernah ia bayangkan.
Dia, di paksa menikah dengan seorang pengemis terminal. Tapi tak di sangka, suatu malam Malea mendapati sebuah fakta bahwa suaminya ternyata??
Tak sampai di situ, dalam pernikahannya, Malea harus menghadapi sekelumit permasalahan yang benar-benar menguras kesabaran serta emosionalnya.
Akankah dia bisa bertahan atau memilih berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Draft
Mengingat waktu di kanada lebih lambat 12 jam dari waktu indonesia. Anggap saja dalam cerita sudah di sesuaikan iya...
Sekali lagi untuk kesamaan waktu, tempat, dan nama, mohon di maklum.
****
Dari bandara ke hotel butuh waktu empat puluh hingga lima puluh menit, aku dan Arga tiba di tempat tujuan sekitar pukul 03:30 pagi hari di waktu kanada.
Aku menatap gedung pencakar langit yang ada di hadapanku dengan sangat takjub. Hotel bernama pink legacy ini bernuansa pink, sangat elegan dan indah. Bertingkat sekitar dua puluh lantai.
Kata Arga, ini bukan hotel biasa, ini hotel kelas international yang banyak di pilih oleh para turis maupun pebisnis untuk menginap ataupun meeting.
Belinda benar-benar beruntung mendapatkan suami kaya raya. Entah sebanyak apa uangnya, bisa mengundangku sekaligus membelikan tiket pulang pergi untuk dua orang, serta hotel untuk kami menginap selama tiga hari. Jujur ada rasa iri terselip di hatiku, namun hanya sedikit, sebab aku lebih suka tinggal di negaraku sendiri dari pada meneta di negara orang.
Iya, lebih baik memiliki suami biasa saja, tapi tetap tinggal dan menetap di negri sendiri.
"Ayo masuk" Ajak Arga, membuyarkan fokusku.
Aku mengangguk pelan, lalu mengikuti langkah Arga.
Kami di sambut ramah oleh resepsionis hotel yang berjaga di tempatnya.
"Good morning, mr and mrs. Can I help you?" Tanya petugas di iringi senyum tipis.
"Good morning" Balas Arga tak kalah ramah "We come from Indonesia, I'm come here to attend a wedding invitation"
"Okay, whose wedding is it?"
Arga menoleh padaku yang ada di belakangnya. "Siapa?"
"Belinda Wilson" Jawabku dengan suara lirih.
Mendengar jawabanku, Arga kembali menoleh ke depan menghadap petugas resepsionis. "Belinda and Wilson"
"Okay, wait a moment, I'll check"
Arga meresponnya menggunakan bahasa tubuh, mengangguk.
Beberapa detik kemudian, petugas hotel kembali bertanya, namun dengan fokus tetap ke arah layar komputer di depannya. "Sorry, guest on whose behalf?"
"Malea" Sahut Arga.
"Malea Aurelli Hidayat?"
"Yes"
"Okay, for guests named Malea and husband are in room number 108 on the 12th floor"
"Okay thankyou" Balas Arga.
Haha meski kondisiku mengantuk, aku terkikik dalam hati, pasalnya seorang pengemis, seorang kuli panggul yang bekerja serabutan, lancar berbicara menggunakan bahasa inggris.
Ini konyol. Di luar prediksiku, tapi mengingat malam itu aku pernah memergoki Arga tengah mengetik sesuatu di laptopnya dengan lincah, nggak heran dan semakin yakin kalau dia bukan pria sembarangan.
Why, Arga?? Why?
Who are you?
Prasangka dan pertanyaan benar-benar membuatku ingin berteriak.
Mengatupkan bibir, tiba-tiba saja aku sudah berada di dalam kamar hotel yang terkesan mewah ini.
Kami bergantian ke kamar mandi.
Arga yang lebih dulu membersihkan diri, tahu-tahu dia sudah tertidur pulas di sofa saat aku baru saja keluar dari kamar mandi.
Mungkin dia memang benar-benar mengantuk.
Tak berani mengusik, akupun merebahkan diri di atas ranjang, namun tak bisa memejamkan mata hingga pukul tujuh pagi waktu setempat.
Aku langsung mengabari Belinda bahwa aku sudah ada di hotel. Dia pun menyuruhku untuk turun ke lantai lima di mana ada restauran cepat saji di sana.
"Hallo, baby!" Belinda yang sudah menunggu di meja bernomor sepuluh, langsung bangkit dan memelukku.
"Hallo" Balasku saling menempelkan kedua pipi kami.
"Are you okay?" Tanya Belinda.
"Okay"
"Duduk duduk!"
Aku pun duduk, berhadapan dengan wanita yang rambutnya di cat pirang.
"Bagaimana perjalananmu? Sopirku bilang kamu nggak ada hubungin dia"
"Perjalanan baik, dan maaf! Aku pikir kami bisa naik taxi, jadi kami tidak menelfon sopirmu"
"Its okay! Lalu dimana suamimu?"
"Ada di kamar, masih tidur" Jujur aku di sini menahan malu. Aku yang pernah menceritakan kondisi pernikahanku serta seperti apa sosok suamiku pada Belinda, sangat menyesal sudah bercerita padanya. Tidak seharusnya aku membagi nasibku pada temanku ini. Hhhh... Tapi ya sudahlah, untuk kedepannya aku tidak akan menceritakan urusan pribadiku pada orang lain. Urusan yang harusnya hanya aku dan Arga yang tahu.
"Jam berapa acara akadmu?" Tanyaku kemudian.
"Sore ini, dan malamnya langsung resepsi. Besoknya lagi ada pesta juga sampai malam. Kamu harus di sini sampai acara selesai"
"Siap, untuk temanku, aku akan ada di sini di hari bahagiamu"
"Thankyou so much"
Aku mengangguk.
Tak lama setelah itu, tiga pelayan restauran menghampiri meja kami untuk meletakkan menu sarapan yang sudah di pesan Belinda sebelumnya.
Selagi ara waitres menata menu makanan satu persatu, Belinda bersuara.
"Kamu hubungi suamimu, Lea. Aku juga akan menghubungi calon suamiku. Kita akan sarapan bersama"
Aku gugup, menelan ludahku dengan susah payah. Menyadari ekspresiku yang tak biasa, Belinda tersenyum lalu menumpukkan tangannya pada punggung tanganku yang ada di atas meja.
"Aku akan berpura-pura tidak tahu mengenai suamimu. Aku janji tidak akan membahas urusan pekerjaan"
"Bukan begitu Bel"
"Kalau begitu hubungi dia, suruh dia turun untuk sarapan. Bilang kalau teman dan calon suaminya ingin berkenalan"
"Akan aku coba ya"
"Hmm" Sahutnya, ada senyum samar di bibirnya yang terkatup rapat.
Detik itu juga, aku pamit dan menjauh dari Belinda. Setelah agak jauh dari mejaku, ku buka resleting handbag ku kemudian mengambil ponsel dari sana.
Menunggu sedikit agak lama, barulah panggilanku ada jawaban.
"Halo" Sapanya.
"Ga, kamu bisa turun sekarang? Belinda mengajak kita sarapan bersama, aku sudah di sini, kamu nyusul ya, restauran ada di lantai lima"
"Kamu nggak apa-apa aku sarapan bareng sama orang kaya?"
Mendengar pertanyaan Arga, hatiku seketika menciut. Aku minder mengingat Belinda dan suami adalah orang super elit, sedangkan aku? Ahh..
Ku tarik napas panjang, lalu ku hembuskan secara perlahan, baru kemudian berkata.
"Nggak apa-apa, kita harus membiasakan diri dengan pernikahan kita, kan? Lagi pula dia Belinda, sahabatku sendiri, rasanya nggak etis kalau harus merahasiakan kamu darinya"
"Okay, sepuluh menit lagi aku turun, aku juga penasaran seperti apa temanmu itu. Semoga saja dia bukan teman seperti yang kemarin menghinamu di acara reuni"
"Tidak, dia tidak begitu"
"Baik, aku segera turun"
"Aku duduk di meja nomor sepuluh"
"Hmm" Sahutnya.
Panggilan langsung ku akhiri, aku kembali ke meja di mana sudah ada calon suami bulenya Belinda duduk bersama wanita berkelas itu.
"Sorry, lama" Kataku tak enak hati.
"Nggak apa-apa, Malea. Oh iya, Malea. Ini Wilson, calon suamiku"
"Willson"
"This is my best Friend. Malea" Lanjut belinda ketika aku dan Wilson saling berjabat tangan.
"Malea" Balasku.
Sepuluh menit kemudian, aku melihat Arga tengah berjalan ke arahku. Dia datang dari arah belakang Belinda dan Willson yang duduk bersebrangan denganku.
"Nah itu dia, suamiku" Kataku ketika Arga hampir sampai di meja makan kami.
Aku, Belinda dan Wilson langsung berdiri menyambut Arga yang tahu-tahu sudah berdiri di sisi meja.
Dan aku tak tahu kenapa wajah Belinda tampak memerah saat melihat Arga. Dia seperti terkejut hingga syok. Tak hanya Belinda, Arga pun sama terkejutnya, namun itu terjadi hanya sesaat. Setelah tiga detik berlalu, Arga kembali ke gestur tenang.
"Bel. Ini suamiku Arga"
"B-Belinda" Dia mengulurkan tangannya.
"Arga" Balas suamiku seraya menerima juluran tangan Belinda.
"Dan ini Wilson, calon suami Belinda" Tambahku memperkenalkan Wilson pada Arga.
"Willson"
"Arga"
Ku persilahkan Arga duduk usai sesi perkenalan.
Melihat ekspresi Belinda yang berubah total, reflek alisku menukik tajam.
"Kalian apa sudah saling kenal?" Tanyaku hati-hati.
Lalu Arga meresponku. "Tidak, Le. Kami baru saja berkenalan, sebelumnya kami tidak saling kenal"
"Oh" Sahutku, namun terdengar ragu di telingaku.
Tapi bagaimana mungkin mereka saling kenal, keduanya ada di belahan bumi yang berbeda, status Belinda dan Arga juga beda kelas.
masih pengen di peyuk2 kan sama Arga
hormon bumil tuh Dede utunya masih pengen di manja2 sama ayah nya,,
kebat kebit ga tuh hati kmau
Ayo thor lanjut lagi yg byk ya...penanasaran bgt kelanjutannya...
kenapa ga jujur aja seh.
tapi Lea takut ngomongnya,takut ga di akui sama mas arga
ayo Lea jujur aja aaah bikin gemes deeh