⚠️ sebelum baca cerita ini wajib baca Pengantin Brutal ok⚠️
Setelah kematian Kayla dan Revan, Aluna tumbuh dalam kasih sayang Romi dan Anya - pasangan yang menjaga dirinya seperti anak sendiri.
Namun di balik kehidupan mewah dan kasih berlimpah, Aluna Kayara Pradana dikenal dingin, judes, dan nyaris tak punya empati.
Wajahnya selalu datar. Senyumnya langka. Tak ada yang tahu apa yang sesungguhnya disimpannya di hati.
Setiap tahun, di hari ulang tahunnya, Aluna selalu menerima tiga surat dari mendiang ibunya, Kayla.
Surat-surat itu berisi kenangan, pengakuan, dan cinta seorang ibu kepada anak yang tak sempat ia lihat tumbuh dewasa.
Aluna selalu tertawa setiap membacanya... sampai tiba di surat ke-100.
Senyum itu hilang.
Dan sejak hari itu - hidup Aluna tak lagi sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim elly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 19
“Jadi lo balikan lagi sama Kayla,” ucap Reno setelah keluar ruangan BK.
Suaranya tenang, tapi matanya menyimpan tatapan menantang.
“Sumpah ya, gue ingin bunuh lo dari dulu,” ucap Axel kesal.
Tangannya mengepal kuat, rahangnya mengeras seperti menahan amarah yang sudah lama dikubur.
“Kenapa?” tanya Reno dengan nada datar, seolah tak paham apa salahnya.
Pertanyaan itu malah membuat darah Axel mendidih.
“Lo udah hancurin keluarga gue, bangsat lo nanya kenapa? Dan sekarang lo ada di hadapan gue!” dada Axel naik turun tangannya mengepal.
Suaranya bergetar, napasnya memburu. Ada kebencian yang nggak bisa disembunyikan di matanya.
“Tapi ayah lo juga udah hancurin keluarga gue,” ucap Reno.
Nada suaranya merendah, tapi tatapan matanya keras. Luka lama ikut terbuka.
“Kalo lo nggak ganggu rumah tangga gue, mungkin Kayla masih hidup sampe sekarang,” ucap Axel sambil pergi.
Langkahnya berat, tapi penuh amarah. Setiap kata terasa seperti belati yang menusuk.
“Apa? Tunggu, Xel… Kayla... Kayla kenapa?” tanya Reno kaget.
Suaranya parau, tubuhnya kaku seolah seluruh dunia berhenti berputar.
Axel menghela nafas panjang. Bahunya bergetar menahan emosi.
“Kayla meninggal saat Aluna masih kecil. Dia punya penyakit tumor otak. Dan awal mulanya semua gara-gara lo, brengsek!”
BUGG
Axel tak tahan ia memukul Reno dengan keras ia ingin meluapkan kekesalannya beberapa tahun yang lalu.
Tinju itu bukan cuma karena marah — tapi karena kehilangan yang tak pernah bisa ia maafkan.
Reno diam saat Axel menghajarnya. Ia membeku, bukan karena sakit fisik, tapi karena syok mendengar Kayla sudah tidak ada.
Kata “meninggal” itu menamparnya lebih keras dari pukulan apa pun.
Axel melajukan mobilnya dengan kencang, emosi menggebu di dada. Tangannya menekan setir sampai buku jarinya memutih.
“Sial, kenapa Aluna tidak minta anaknya dikeluarkan,” ucap Axel kesal, matanya merah menahan amarah dan sesal.
Baskara masuk ke kelas Aluna siang itu.
“Ngapain dia di sini?!” teriak Davin kesal.
Kelas tetap hening semua menatap Baskara.
“Dia dipindahkan sesuai keinginan Aluna,” ucap guru di depan kelas dengan nada datar.
Kalimat itu bikin seluruh ruangan terdiam. Semua menatap Aluna.
“Tapi kelas penuh, Bu,” ucap Satria di belakang.
Aluna menendang kursi yang sudah lama kosong di sisinya. Tatapannya tajam, dingin seperti es.
Ia tak mau satu bangku dengan siapa pun.
“Duduk,” ucap Aluna dingin.
Nada perintahnya bikin suasana kelas makin tegang. Semua mata melongo melihat itu.
Baskara menghela napas lalu berjalan menghampiri kursi dekat Aluna.
“mau apa lo, jangan pernah berharap lo bisa duduk dekat dengan Aluna ,” ucap Ray sambil menarik kerah baju Baskara, tatapannya tajam emosinya masih membuncah ketika melihat Baskara.
Ray melepaskan pegangan tangannya lalu ia duduk di samping Aluna, suasana kelas sangat tenang dan dingin di ruangan itu.
Ketegangan memuncak, tapi Baskara diam. Ia memilih mundur dan pindah duduk ke belakang dekat Davin.
“Bertingkah, mati lo,” ucap Davin sambil menatap tajam.
Baskara cuma menunduk, menahan diri.
Pelajaran pun dimulai.
Aluna bersungguh-sungguh belajar. Ia selalu ingin mendapatkan nilai terbaik, seolah belajar jadi pelarian dari kekacauan hidupnya.
Saat istirahat mereka berjalan ke kantin.
“Al, olahraga hari ini, lo harus makan banyak,” ucap Risa.
“Males makan gue,” ucap Aluna datar, matanya sayu tapi tatapannya tetap dingin.
“Gue suapin, Al,” ucap Ray lembut, mencoba mencairkan suasana.
“Males makan,” ucapnya lagi tanpa ekspresi.
“Harus makan, nanti gue dimarahin papa lo,” ucap Ray.
Nada khawatir terdengar tulus. Ia takut Aluna jatuh sakit lagi.
“Ok, dikit aja,” ucap Aluna akhirnya menyerah.
Ray tersenyum kecil, lalu menyuapi Aluna spageti. Ia memberi jus mangga kesukaan Aluna.
Momen sederhana, tapi Ray terlihat lega.
Aluna mendapatkan chat dari Axel.
Al, papa mau kenalin temen papa nanti sore, janjian di cafe ya.
“Ok,” balas Aluna singkat.
Siang itu, kelas Aluna berolahraga beberapa murid sudah santai tinggal memilih olahraga apa yang akan mereka mainkan.
“Gue mau panahan,” ucap Aluna dengan malas, tapi tetap berjalan ke lapangan.
“Lo udah sehat kan, Al?” tanya Tari khawatir.
“Udah, tapi lemes,” ucap Aluna sambil menggenggam busur panahnya.
Ia mulai memanah. Fokus. Tegas. Tenang.
Satu tembakan — tepat sasaran.
Angin siang berhembus lembut, rambutnya berayun, dan semua mata menatap kagum.
Saat itu, Baskara yang berada di lapang basket menatapnya.
“Gila, jago dia,” ucapnya kagum tanpa sadar.
“Jangan liatin pacar gue, atau gue hajar lo,” bisik Ray di belakang Baskara, "asal lo tau gue ingin bunuh lo karna lo sudah celakain pacar gue brengsek."
“Ok,” ucap Baskara mengangkat tangannya pasrah, ia menatap Ray lalu berkata, "sorry,"
Sore nya, Aluna duduk dengan anggun di restoran mewah.
Ia menunggu Axel yang akan membawa temannya.
Matanya menatap jam, lalu menatap pintu. Elegan tapi dingin.
“Hay,” ucap seorang perempuan cantik menyapa Aluna.
“Siapa?” ucap Aluna dengan tatapan tajam.
Aura dinginnya langsung membuat suasana canggung.
“Saya Laura, teman pak Axel,” ucapnya sambil tersenyum gugup.
“Oh, Aluna,” ucap Aluna datar sambil memberikan salam setengah hati.
“Papa mana?” tanya Aluna dingin.
“Lagi di jalan,” ucap Laura gugup, tangannya gelisah memainkan ujung tasnya.
“Tinggal di mana?” tanya Aluna.
“Dekat sini,” ucap Laura pelan.
“Punya anak?”
“Ada satu,” ucap Laura.
“Berapa tahun?” ucap Aluna sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.
“Seumuran Aluna,” jawab Laura dengan suara nyaris tak terdengar.
“Apa, cewek apa cowok ?” ucap Aluna sinis.
Ya, benar-benar sinis.
Laura terdiam, senyumnya menegang.
“laki-laki Aluna,” ucap Laura sambil tersenyum kaku, mencoba ramah.
“Kenal di mana sama papa?” tanya Aluna lagi, menatap tanpa berkedip.
“Di pabrik, saya kerja di pabrik papa kamu,” ucap Laura jujur.
“Bagian apa?” tanya Aluna sambil minum.
"Sa-saya bagian admin," Laura gugup setengah mati, rasanya lebih dari saat sedang di interview kerja.
“Kenapa mau sama papa saya? Papa saya yang langsung ajak anda? Anda nggak gatel kan? Anda kerja jadi admin biar bisa dapat bosnya, kok bisa dekat sama papa.” tiba-tiba Aluna terus bertanya tanpa jeda, membuat Laura ketakutan.
Suasana restoran berubah hening. Beberapa orang mulai melirik ke arah mereka.
“Saya... saya tadinya cuma iseng bercanda sama Pak Axel, tapi Pak Axel ngajak ke sini,” ucap Laura tergagap.
“Ngajak nya buat apa?” ucap Aluna tajam.
“Makan aja,” jawab Laura cepat.
“Ya sudah, nunggu papa,” ucap Aluna sambil bersandar di bahu sofa. Dingin. Tak peduli.
Tak lama Axel datang ia tersenyum pada Aluna.
“Lama, Pah,” ucap Aluna dengan kesal.
“Maaf, sayang, jalanan macet,” ucap Axel menatap putrinya dengan senyum menahan tegang.
“Oh,” ucap Aluna singkat.
“Udah kenalan?” tanya Axel.
“Udah. Siapa dia?” tanya Aluna tegas.
“Dia teman papa, sayang,” ucap Axel.
“Teman dari mana?” tanya Aluna.
“Papa kerja godain karyawan?” tanya Aluna lagi, nadanya tajam seperti pisau.
“Lagian dia udah tua, nggak cocok buat ayah,” ucap Aluna to the point.
“Sayang, jangan gitu,” ucap Axel gugup, mencoba menenangkan.
“Saya pulang ya, Pak,” ucap Laura ketakutan, suaranya nyaris pecah.
“Iya, jangan balik lagi. Jangan kerja lagi di kantor papa,” ucap Aluna tanpa menoleh sedikit pun.
Laura pun pergi dengan mata berkaca-kaca. Ia menutup mulutnya menahan tangis.
“Aluna, kenapa kamu gitu?” ucap Axel dengan lembut, mencoba tetap sabar.
“Nggak suka. Norak, miskin lagi,” ucap Aluna sambil cemberut, menatap ke arah lain.
“Sayang, kok kamu gitu...” ucap Axel sambil menggenggam tangan Aluna.
“Cari yang lain, jangan yang kayak gitu,” ucap Aluna sambil mendelik.
“Iya,” ucap Axel mengalah.
Mereka pun makan sore itu dalam keheningan yang canggung.
Usai makan, Aluna dan Axel pulang dengan mobil masing-masing.
Bersambung.....
tapi aku suka ama anaknya🤣