Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.
Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.
Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.
Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.
Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.
Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 - Seratus Siklus Pulang
Datang seorang pria tua, berjanggut panjang yang dikuncir tiga hingga menyentuh dada, dan kumisnya hampir menutupi mulut.
Rambutnya sebagian memutih diikat bulat, menandakan usia dan kebijaksanaan yang panjang.
Di lehernya tergantung kalung dari rahang bawah serigala raksasa, menampakkan dua taring putih tajam tanda bahwa ia pernah menaklukkan ketakutan yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Ia berjalan perlahan membawa tas dari kayu yang dililit serat dan dibungkus kain rami.
Tas membentuk kotak itu tampak berat dan sesak oleh barang-barang, hasil perjalanan yang panjang.
Pakaiannya dari serat rami panjang yang sudah lusuh, beberapa bagian berlubang dimakan waktu dan perjalanan.
Dialah Kakek Sanu’ra, pengelana yang telah mengelilingi dunia selama hampir seratus siklus atas perintah Rahu Beren Ama untuk mempelajari bahasa, tradisi, dan ilmu pengetahuan dari bangsa-bangsa jauh demi kemajuan Negeri Lakantara.
Kini, pada usianya yang menembus seratus empat puluh siklus, ia akhirnya pulang.
Sanu’ra berjalan kaki melewati musim kemarau ke 9 dan 10.
Jalan yang ia tapaki telah retak oleh angin panas dari timur, dan bumi tampak telanjang, tak lagi diselimuti kabut dan hijau daun.
Kelembapan yang tersisa kini lenyap bersama embusan kering
meninggalkan bau tanah tua yang merekah di bawah langkahnya.
Banyak pohon tumbuh berbaris rapih seperti pohon jati, sengon, pinus dan pohon lainnya yang tumbuh di dataran tinggi.
Kini daun-daunnya luruh, sebagian hampir meranggas.
Dahulu, para Rasi menanamnya sebagai penanda waktu, menyepakati perubahan daun pohon itu sebagai tanda datangnya musim kemarau.
Kini ia berjalan menapaki jalan berbatu, hingga dari kejauhan tampak Kota Kerajaan Lakantara berdiri megah.
Di tengah lingkarannya tampak sesuatu berkilau nyala api yang menari di bawah cahaya, memantul seperti bintang di bumi.
Sanu’ra bertekuk lutut, matanya basah menahan haru.
Setelah seratus siklus lamanya, akhirnya ia pulang ke tanah kelahirannya.
Sanu’ra tertegun memandang tanah kelahirannya.
Banyak yang telah berubah.
Dahulu, sebelum ia berangkat, hanya ada dua lapis tembok besar Lakantara dibentuk dari lumpur sungai yang dicampur lempung dari lereng gunung dan pasir halus dari lembah dataran rendah.
Campuran tiga unsur bumi ini, bila dijemur lalu dibakar, mengeras seperti batu merah, tahan pada waktu dan hujan.
Kini, lima tembok lingkaran berdiri kokoh mengitari kota di tengah danau, menjalar hingga ke pemukiman rakyat.
Lima jembatan batu menjadi jalan masuknya, dan di sisi laut tampak satu lagi bukan jembatan biasa, melainkan kanal raksasa yang menembus hingga tembok ketiga.
Di tengahnya, istana berdiri megah, bersinar terang seperti api merah senja. Dua lapis tembok dalam pun tampak berkilau, seolah api senja membeku di permukaannya.
Sanu’ra hanya bisa berlutut.
Dalam hatinya bergemuruh rasa haru dan bangga tanah kelahiran yang dulu ia tinggalkan kini telah menjadi kemegahan Lakantara.
Sanu’ra berdiri lama di tempatnya, membiarkan matanya menyesap setiap perubahan.
Udara yang lembap kini terasa kering, membawa debu halus yang menempel di kakinya.
Ia menarik napas panjang untuk mengingat kenangan aroma tempat tinggalnya terasa masih seperti dulu.
Langkahnya perlahan menuruni jalan berbatu yang mengarah ke danau lewati jembatan ke gerbang luar .
Jalan itu dulu hanya berupa tanah liat yang keras di musim kemarau, namun kini tertata dari batu-batu lempung merah yang disusun rata, seolah setiap pijakan menyimpan ingatan para pekerja Lakantara.
Di kejauhan, dua sosok penjaga berdiri di bawah lengkung gerbang pertama.
Kota yang dulu sederhana kini berdenyut seperti jantung batu
Di depan gerbang batu itu berdiri para penjaga berpakaian sederhana.
Tubuh mereka berbalut kain kusam dari serat rami, dililitkan silang di dada dan diikat tali kulit di pinggang.
Bahu mereka terbuka, memperlihatkan lengan besar hasil latihan disiplin keras.
Beberapa mengenakan pelindung dada dari anyaman rotan layaknya jirah, sementara yang lain hanya membawa perisai kayu bundar dan tombak batu rijang dengan ujung yang dipoles halus.
Mata mereka awas, tajam namun tenang mereka menyapa setiap pendatang dengan tatapan curiga namun hormat,
karena dari pintu inilah arus dunia keluar masuk, membawa kisah, perdagangan, dan kadang bahaya.
Sanu’ra tersenyum kecil.
Tak satu pun dari mereka mengenal wajahnya wajar, seratus siklus bukan waktu yang singkat.
Beberapa warga berbaris rapi di depan gerbang, sebagian membawa tas anyaman, gerobak kecil, dan ada pula yang datang tanpa beban.
Mereka menyerahkan tongkat kecil dari batang kayu sebesar jari, di tengahnya tertanam bulatan logam berwarna tiga rupa abu-abu dari timah, merah dari tembaga, dan coklat terang dari perunggu.
Tongkat itu bukan sekadar tanda identitas.
Ia menjadi alat tukar dan tiket masuk ke dalam lingkar kota, bukti sah transaksi bagi setiap warga dan pedagang.
Sanu’ra memperhatikan dengan dahi berkerut, matanya mengikuti setiap warga yang menyerahkan tongkat itu kepada penjaga.
Yang memegang bulatan perunggu dipersilakan masuk tanpa antre, sementara lainnya harus menunggu giliran.
Ia terdiam lama, menatap tangannya yang kosong.
Sanu’ra tak memiliki satu pun dari ketiga tongkat itu.
Kini sudah gilirannya di depan penjaga, tangan sang penjaga menadah, menunggu pembayaran yang tak kunjung datang.
Debu berputar di antara kaki mereka, udara siang menekan seperti bara.
Salah satu penjaga menatap curiga , menurunkan tombak.
“Berhenti! Katakan siapa kau, orang tua,” ujar penjaga dengan nada tegas namun hormat.
Sanu’ra menatap penjaga itu dengan tenang, lalu berkata pelan namun mantap,
“Aku warga Lakantara. Keluarga dari kasta Rana.”
Ia tersenyum tipis.
“Tentu saja aku tak punya tongkat pembayaran. Aku telah berkelana seratus siklus lamanya. Dunia sudah banyak berubah sejak aku pergi.”
Penjaga itu menyipit curiga.
Ia merasa sedang dibohongi.
Dengan kasar ia mendorong tubuh Sanu’ra namun langkah sang kakek tak bergeser sedikit pun, seolah tubuhnya seberat batu besar yang menancap ke bumi.
Penjaga itu mundur setapak, wajahnya berubah bingung.
Sanu’ra menurunkan tas kayu dari punggungnya, menaruhnya perlahan di tanah, lalu menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada.
“Aku bukan pengelana sembarangan. Aku diutus oleh Rahu Beren Ama sendiri, untuk mengumpulkan ilmu dari bangsa-bangsa jauh. Kini tugasku selesai aku pulang ke Lakantara.”
Namun penjaga tetap tak percaya.
Ia memungut tas Sanu’ra dengan kasar, berniat melemparnya, tapi mendadak wajahnya menegang tas itu terlalu berat untuk diangkat, seolah berisi batu.
Ia mengerang, lalu menatap heran.
Sanu’ra menatapnya tanpa marah, hanya letih.
Tapi ketika penjaga itu kembali mendorongnya, Sanu’ra bergerak cepat tangannya mencengkeram kerah sang penjaga dan mengangkat tubuhnya dari pijakan hanya dengan satu tangan.
Penjaga lain berderak, untuk membantu, Sanu’ra menampar pipi penjaga itu keras hingga tubuhnya terpental dan jatuh pingsan.
“Anak muda,” katanya dengan suara berat dan tenang,
“tidakkah kalian diajarkan tata krama kepada yang lebih tua? Lakantara bukanlah negeri yang menghina pengelana, apalagi yang membawa pulang pengetahuan.”
Di halaman latihan tembok ketiga, Rana Karu berdiri tegap mengawasi para prajurit muda.
Suara benturan kayu dan langkah serempak menggema di antara barisan.
Tiba-tiba, seorang penjaga berlari tergesa menghampiri.
Napasnya memburu saat memberi hormat.
“Tuan Rana! Ada kegaduhan di gerbang masuk! Beberapa penjaga tumbang… hanya melawan satu orang tua yang mengaku berasal dari keluarga Rana!”
Alis tebal Rana Karu berkerut tajam.
“Satu orang tua?”
Nada suaranya berat dan dingin.
Ia meraih kerah penjaga yang melapor itu, mengangkatnya dengan mudah.
“Apakah kalian selembar daun hingga roboh ditiup angin tua?”
Namun matanya tiba-tiba menatap wajah penjaga itu tampak bekas tamparan lebar yang mulai membengkak.
Kini ia percaya laporan itu bukan bualan.
Tanpa banyak bicara, Rana Karu melepaskan kerah penjaga itu dan melompat ke atas kudanya.
Suara derap langkah kuda menggema keras di jalan batu menuju gerbang luar.
Begitu tiba, pandangannya terbelalak.
Puluhan penjaga tergeletak di tanah sebagian pingsan, sebagian hanya mampu duduk lemah bersandar ke dinding.
Di tengah mereka, seorang kakek tua berdiri tegak, masih memegang kerah seorang penjaga muda yang gemetar.
Suaranya tenang namun tegas, menasehati tentang tata krama dan penghormatan kepada yang lebih tua.
Rana Karu menarik napas dalam, antara heran dan marah.
Ada sesuatu dalam sikap lelaki tua itu… sesuatu yang tidak asing.
Aura yang membuat dadanya bergetar seperti mengenali darahnya sendiri.
Rana Karu turun dari kudanya, menatap sosok tua yang masih berdiri tegak di tengah para penjaga yang tergeletak.
Tubuh lelaki itu mungkin telah renta, namun auranya seperti batu purba yang tak lekang waktu.
Setiap gerakannya tenang, namun menyimpan kekuatan besar yang sulit dipercaya.
Rana Karu menggenggam gagang pedangnya, menariknya perlahan hingga suara logam berdesis di udara.
Ia mengangkat pedang itu ke depan dada, ujungnya mengarah pada si tua.
“Siapa kau, wahai orang tua?”
“Berani sekali membuat kegaduhan di tanah agung milik Yarun Rahu Ama, penguasa Lakantara!”
Lelaki tua itu menatap Rana Karu tanpa gentar.
Ia melepaskan kerah penjaga dari genggamannya, lalu menautkan kedua telapak tangan di depan dada salam hormat khas para leluhur Lakantara.
“Maaf, tuan muda,” ucapnya dengan suara dalam dan tenang.
“Saya tidak bermaksud menimbulkan gaduh. Hanya menegur mereka yang lupa sopan santun pada yang lebih tua.
Nama saya Sanu’ra, pengelana yang diutus Rahu Beren Ama seratus siklus lalu untuk membawa pulang pengetahuan dunia.”
Seketika mata Rana Karu membesar.
Pedang di tangannya bergetar, lalu jatuh ke tanah dengan bunyi nyaring.
Darahnya seperti berhenti mengalir.
Ada sesuatu di sorot mata tua itu… seperti bayangan dari cerita masa kecilnya
“Kakek…?!”
Suara itu nyaris bergetar.
Ia berlutut, menautkan kedua telapak tangan di depan wajah sebagai bentuk penghormatan tertinggi.
Sanu’ra menatapnya lembut, seolah melihat masa lalu yang hidup kembali di depan matanya.
“Karu… cucu dari putra Rahna,” katanya perlahan.
“Waktu memang panjang, tapi darah tak pernah lupa jalan pulangnya.”
Sanu’ra menunduk, matanya menangkap sesuatu berkilau di tanah bilah berwarna coklat kemerahan yang memantulkan cahaya senja.
Ia memungutnya perlahan. Bukan batu, bukan kayu. Bilah itu terasa padat dan dingin di tangan, namun ringan saat diangkat.
Ketebalan hampir dua jari, panjangnya selengan dari gagang sampai ujung bilah melengkung, lebarnya hampir tapak tangan.
Jempolnya tergores ujung tajamnya, darah menetes di permukaannya, memantul seperti bintik rubi.
Sanu’ra terpana.
“Ini… bukan ciptaan biasa. Tak satu pun bangsa di luar sana mampu membuat senjata sehalus ini,” gumamnya kagum.
Kilau perunggu itu seolah menyimpan rahasia api purba di dalamnya.
Ia menatap cucunya dan berkata lembut,
“Bangkitlah, wahai cucuku… Ceritakan padaku. Seratus siklus berlalu, dunia ini telah berubah jauh.
Banyak hal yang belum kupahami, dan aku ingin mendengarnya darimu.”
"Baiklah, Kakek" ucap Rana Karu singkat karena grogi
Rana Karu segera berdiri, lalu membungkuk mengambil tas besar milik sang kakek.
Awalnya hampir tak terangkat tas itu seolah berisi batu-batu berat dari pegunungan.
Namun harga dirinya sebagai prajurit membuatnya menggertakkan gigi, menyalakan seluruh tenaganya.
Dengan satu hentakan kuat, tas itu terangkat ke pundak.
Mereka berjalan berdampingan berjalan sampai menuju tembok ketiga, di mana langit maruyung menyelimuti kota Lakantara.
Dua generasi berjalan beriringan satu membawa masa lalu, satu membawa masa depan.
Rana Karu berjalan di sisi kakeknya sambil menatap jauh ke arah tembok ketiga.
Suara langkah kuda, tiupan angin, dan debu kemarau mengiringi percakapan mereka.
Pemandangan gerbang pertama berisi rakyat biasa, banyak warga lalu lalang begitu sibuk, banyak pasar berjualan berbagai jenis ada di dalamnya.
Menuju gerbang ke dua membutuhkan 140 langkah kaki, gerbangnya dari kayu jati besar dan kokoh setinggi 3 pria dewasa disusul sama temboknya.
Kini gerbang ke tiga tampak berbeda karena warna merah terang tampak agak berjamur biru kehijauan, Rana Karu mengatakan "dari tambang dari kerajaan Tambangga" yang artinya daei logam tembaga.
“Rahu Beren Ama...” ucap Sanu’ra pelan. “Apakah beliau masih memimpin Lakantara?”
Rana Karu terdiam sejenak, lalu menunduk hormat.
“Beliau telah tiada, Kakek. Telah kembali ke rahim bumi sejak delapan puluh siklus yang lalu.”
Sanu’ra menarik napas dalam, matanya redup namun tak kehilangan cahaya kebijaksanaan.
Rana Karu melanjutkan dengan suara berat,
“Sebelum wafat, beliau meninggalkan tiga istri dan lima anak.
Kelima anak itu mendirikan kerajaan masing-masing:
di barat berdiri Kerajaan Suralah, kini telah musnah;
di barat laut, Timangga;
di utara, Bayak;
di timur laut, Maritara;
dan di timur Tambangga”
Rana Karu menarik napas lagi, seolah mengingat sejarah panjang yang diwariskan melalui darah dan perang.
“Sepuluh siklus setelah itu, Rahu Beren Ama mengambil istri keempat.
Dari rahimnya lahirlah seorang anak laki-laki yang kini berdiri dan berkuasa di tahta Lakantara.”
Sanu’ra menatap cucunya tajam.
“Siapa namanya?”
“Yarun Rahu Ama,” jawab Rana Karu dengan nada tegas.
“Dialah kini Sang Yarun Agung, penerus darah terakhir dari Rahu Beren Ama.”
Rana Karu menatap jauh ke arah istana di balik gerbang ketiga.
Nada suaranya berat, seolah ada sesuatu yang tertahan di dadanya.
“Awalnya aku ragu pada Yarun Rahu Ama,” katanya pelan.
“Ketika Rahu Beren Ama gugur di medan perang Gunung Barumba, Yarun belum genap dewasa.
Tapi ia menolak menjadi ksatria seperti ayah dan leluhurnya.
Ia memilih jalan yang lain jalan para Rasi.”
Sanu’ra menoleh, alisnya sedikit terangkat.
“Rasi? Jalan Wahyu?”
Rana Karu mengangguk.
“Iya. Ia belajar wahyu lisan dari guru ke guru menyambung sampai Sang Ranu Lahu, menghafal ajaran yang bahkan sebagian besar prajurit Lakantara anggap hanya dongeng.
Aku dulu mengira itu kelemahan. Tapi setelah ia naik takhta sebagai Ama, negeri ini berubah.”
Langit mulai menggelap; bayangan tembok ketiga menjulang di depan mereka.
Rana Karu melanjutkan, suaranya kini bercampur kagum dan bingung.
“Yarun Rahu Ama membawa kemajuan yang belum pernah kulihat.
Ia menciptakan senjata dari tambang dan timang bercampur bara menyala, yang jauh lebih kuat dari batu.
Ia membangun jembatan, menata tembok baru, dan memerintahkan para pandai untuk mengukir ilmu ke dalam ini.” sambil tunjukkan senjata perunggu.
Sanu’ra mengangkat kepala, memandangi gerbang yang berkilau seperti bara.
“Jadi darah Rahu Beren Ama kini bersatu dengan cahaya wahyu,” gumamnya lirih.
“Barangkali... inilah masa yang dulu dijanjikan.”
Sanu’ra menatap bara di gerbang tembaga itu, dan tahu api masa lalu belum padam, hanya berubah bentuk.