Sekelompok siswa SMA dipaksa memainkan permainan Mafia yang mematikan di sebuah pusat retret. Siswa kelas 11 dari SMA Bunga Bangsa melakukan karyawisata. Saat malam tiba, semua siswa di gedung tersebut menerima pesan yang menunjukkan permainan mafia akan segera dimulai. Satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan menyingkirkan teman sekelas dan menemukan Mafia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jewu nuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gue Mafianya
“Sudah selesai”
Semua pasang mata tertuju pada layar komputer yang sepanjang hari di tatap Merah. Membuat Khalil dan Agil juga penasaran untuk bergabung.
“Rekaman yang udah dipulihin cuman bisa buat meriksa siapa yang masuk ke ruangan Sadam”
Saat semua orang fokus dengan layar. Justru derap pada komputer dan sesuatu yang meledak direkaman itu membuat semua orang tersentak. Bukan! Bukan hanya pada rekaman namun pada komputer itu.
Tanpa banyak bicara, Merah segera mengambil alat pemadam untuk menghentikan api yang tiba-tiba menyala. Menguasai komputer tanpa diketahui sebab dan akibatnya.
“Astaga, permainan macam apa ini”
Semua orang berbalik mendapati Hagian dan kedua temannya masuk tanpa aba-aba, “Kalian sengaja menghilangkan barang bukti karena dia adalah mafia yang sungguhan?”
Dion berdecak, “Jangan jadi solar pada kayu yang baru saja terbakar”
Hagian terkekeh, mengunci pandangannya pada Dion, “lo bahkan masih bisa mengatakan bahwa dia bukan mafianya, berapa kali lagi lo bakal belain dia?!”
“Hentikan!” Arsya berseru, membuat keduanya menatap Arsya.
“Tunggu, coba lihat!” Endru meunjuk pada layar, memicu semua mata menatap kembali layar yang sempat padam. Menyala dan menampilkan seorang gadis berseragam melayang diudara.
Intan memundurkan langkahnya, membuat tubuh mungil itu menabrak Agil tanpa sengaja, “Ada hantu?”
Arsya merogoh saku seragamnya dan mengeluarkan secarik foto yang entah dia dapat dari mana. Aish bahkan Khalil sempat tidak percaya bahwa gadis ini berani melakukan semuanya sendiri. Mencari letak pengintaian CCTV di basement dan sekarang secarik foto usang di tangannya.
“Lo dapet dari mana?”
Arsya menatap Khalil, “Orang ini, sama persis” Arsya menunjuk salah satu siswi pada foto itu. membuat Khalil semakin penasaran, “Itu adalah orang yang sama”
“Astaga, lo ngadi-ngadi lagi?”
Khalil berdecak sebal. Kenapa Hagian suka sekali memprovokasi? Padahal Arsya sempat membelanya dihadapan semua orang.
“Dia?”
“Dia bukan mafianya, selamatkan dia”
Pada saat yang bersamaan Khalil dan Intan memundurkan tubuhnya dengan kejut. Membuat Agil semakin khawatir karena lagi-lagi Intan mengejutkannya. Dan Khalil...
“Lo kenapa?”
Khalil menggeleng, kembali menyerahkan foto itu pada Arsya sebelum mulai beranjak, “Kita ke kolam sekarang”
Pada situasi yang lagi-lagi tidak mereka inginkan. Semua murid tersisa mengelilingi kolam untuk mencari seseorang yang sempat dia lihat di monitor. Jika saja bukan seperti yang mereka takuti, sekiranya bisa membantu mereka segera keluar dari tempat ini. Tapi jika sesuai dengan ucapan Intan, matilah mereka.
“Gue nggak nemu apapun”
“Nggak ada siapapun disini”
“Kalian nggak mau milih?!”
Semua pasang mata tertuju pada Hagian, “Ini udah tengah malam, cepat pilih atau kalian akan mati”
Kenapa kata itu selalu membuat telinga Khalil pengang, seperti menyebalkan saja untuk didengar.
“Gimana kalau kita memilih dengan cara berbeda?”
Kali ini semua mata tertuju pada Merah. Gadis dingn berambut pendek yang tidak haus validasi. Bahkan ditengah semua orang menuduhnya, dia masih bisa bersikap tenang dan menikmati setiap detik yang dia lalui.
“Kita nggak punya banyak waktu”
“Lo bahkan hampir bunuh semua orang sama temen lo yang brengsek itu,”
“Astaga gue muak banget sama lo, Hagian! Dengerin dulu kenapa sih?” kesal Khalil membuat semua orang hening, “Apa rencana lo?”
“Dari lima belas suara, Arsya baru nerima lima suara. Kita bisa bagi sisa suara buat gue dan Arsya biar seri”
“Lo gila?! Itu artinya lo bakal mati, gimana juga caranya lima belas suara di bagi dua, lo goblok matematika apa gimana?” bentak Wira.
“Astaga, lo yang nggak bisa matematika. Tapi kalau kondisinya kayak gini, ya matematika nggak berlaku” decak Khalil kesal, membuat Wira melirik malas.
Arsya menghela napas, memijat kepalanya untuk mencari jalan keluar yang masuk akal, “Gimana kalau sisanya pilih gue?” membuat gadis itu menoleh cukup kejut.
“Lo gila?! Jangan ngorbanin diri lo buat orang lain” decak Agil kesal. Bahkan dia hampir mendorong tubuh Khalil ke kolam.
“Bener, itu urusan mereka, lo nggak usah ikut campur” timpal Farhan.
“Cuman satu suara, kita coba dulu. Lagian gue nggak akan mati cuman karena satu suara doang kan?”
“Si brengsek ini, lo masih bisa percaya sama mereka? lo nggak belajar dari kejadian sebelumnya apa gimana?” kali ini Hagian membela. Semakin membuat Agil cemburu karena seakan pembelaan itu diberikan untuk sahabat dekat.
“Aish tenanglah, kita coba dulu”
“Kalau sampai lo mati, awas aja” timpal Agil.
Pemungutan Suara Selesai.
“Tapi setiap sesi harus ngorbanin satu atau bunuh mafianya, mana mungkin ini bakal berfungsi?”
Hening.
“Kita berhasil?”
“Serius?”
“Syukur puji Tuhan!”
Karena Arsya dan Merah menerima jumlah suara yang sama, diadakan pemungutan suara kedua untuk dua orang selama lima menit.
Kalian Semua Bisa Memilih Ulang.
Jika Seri, Semua Orang Akan Dieksekusi.
“Udah gue bilang, si anjing!” Agil memukul dinding yang tak jauh darinya. Membuat semua orang semakin panik dengan sirine bel yang berulang. Sementara Khalil, pria itu hanya diam sambil menatap kedepan, mengabaikan ponsel yang masih ada di genggamannya mengahadap ke atas.
Pria itu tidak mungkin mengorbankan temannya lagi, dia tidak bisa melihat salah satu temannya mati, dan penyesalan-penyesalan kembali bertumpuk dikepalanya. Walaupun ini semua bukan tanggung jawabnya, tapi sangat menyesal sekali kalau semua harus kehilangan nyawanya.
“Pilih gue”
Semua orang menatap Dion yang sembari tadi diam. Sebagai ketua kelas, dia juga harus berkorban, demi tanggung jawabnya kepada Pak Cipto, demi tanggung jawabnya kepada orang tua mereka, demi tidak melihat teman-temannya mati.
“Jangan, pilih gue!” Khalil menghadang tubuh Dion, “pilih gue sekarang!”
“Orang gila?!” Agil yang hampir mendorong tubuh Khalil sudah lebih dulu dihadang, “Lo gila mau ninggalin gue? Lo sinting Khalil?!”
“Cepet pilih gue, Arsya sama Merah punya peran penting buat kalian, cepet atau kalian semua mau mati?!” seruan Khalil membuat semua orang fokus dengan layar mereka.
Waktu terus berjalan bahkan disaat ketegangan membuat mereka takut kehilangan. Sejauh ini Khalil yang paling banyak membantu, bagaimana bisa Dion dan Arsya memilihnya. Tatapan sendu dan meyakinkan, Khalil hanya percaya bahwa gadis itu yang akan menyelamatkan semua orang bersama Dion.
“Cepet!”
Arsya menggeleng pelan, “Khal?”
Jihan memilih Arsya.
Hagian memilih Arsya.
Wira memilih Arsya.
“Lo punya banyak peran penting” Jihan berdesis.
“Lo gila, Khal. Gue nggak akan biarin lo mati!” sorot kemarahan Agil hanya disambut tatapan dingin. Kalau sampai salah satu dari dua orang itu mati, dia akan gagal.
Agil memilih Merah.
Farhan memilih Merah.
Intan memilih Merah.
“Mereka bukan mafia, gue mafianya, jadi pilih gue sekarang!”
Seruan suara Khalil membuat mereka membelalakkan mata. terutama Intan, bahkan gadis itu masih berusaha menerjemahkan kenapa Khalil melakukan hal ini. Dampak dari perilakunya sangat menolong semua orang. Bahkan Hagian dan kedua sahabatnya juga mengatakan demikian.
“Dia bukan mafia, kenapa dia gila, dan biarin gue jadi polisi sendirian?”
Khalil terdiam, menatap Intan yang masih menutup mulutnya tidak percaya. Sementara Agil masih memberontak dari genggaman teman-temannya dan terus membela Khalil.
Merah memilih Khalil.
Melanie memilih Khalil.
Yuna memilih Khalil.
“Mungkin setelah ini gue cuman bisa percaya kalau ini semua cuman permainan gila yang entah siapa yang buat, atau mungkin setelah ini gue bakal bangun dari mimpi, dan makan mie instan sampai puas”
Endru memilih Khalil.
Ditto memilih Khalil.
Olive memilih Khalil.
Nathan memilih Khalil.
“Bedebah! Khalil bukan mafianya! Kalian mau Khalil mati? Dia yang bantuin kita selama ini, dimana solidaritas kalian?!” sentak Agil.
“Dia bilang sendiri kalau dia mafianya” timpal Nathan masih menahan tubuh Agil untuk tidak mengapai Khalil.
“Pilih gue” gumaman Khalil sempat mendapat penolakan Dion, namun pria dengan tangan yang bergetar menekan wajah Khalil di layar ponselnya.
Dion Memilih Khalil.
“Ketua kelas sinting!”
Khalil menghela napas, menarik tengan Arsya yang masih memegang ponselnya, “Tekanlah, semuanya akan baik-baik saja setelah gue mati, gue percaya lo bisa keluar dari sini sama yang lain”
Setetes air mata jatuh tanpa aba-aba, disusul gelengan kecil, “Jangan”
“Cepetan, biar gue bisa mati dengan tenang nih” bahkan pria itu masih bisa tertawa disela penyesalan yang akan Arsya rasakan setelah ini. Disela kericuhan yang Agil lakukan demi mencegah sisa temannya tidak memilih Khalil.
“Minta Farhan dan Agil juga”
Arsya menggeleng, “Jangan tinggalin gue”
Lirihan itu, “Sya, cepetan!”
Dion mendongak saat Khalil berseru. Membuat semua orang terdiam kaku. Khalil hanya ingin menyelamatkan yang lain, kenapa mereka tidak pernah paham?
Arsya Memilih Khalil.
Farhan Memilih Khalil.
Agil Memilih Khalil.
Khalil Dengan Suara Terbanyak Akan Dieksekusi.
“Pergi sebelum mafia yang asli bunuh kalian”
Semua orang kembali mempusatkan perhatian ke Khalil, “Jadi lo bukan mafia yang asli?!” Hagian menggemakan suara pada kolam. Membuat tangis semakin pecah di kedua mata Arsya dan Agil.
“Pergi”
Jihan menarik lengan Hagian yang hampir menghampiri Khalil. Begitu juga dengan Endru, Ditto, dan Nathan yang menyeret tubuh Agil menjauh. meninggalkan Khalil tanpa teman, sendirian saja untuk membunuh dirinya sendiri.
Bagaimana dengan Arsya?
“Pergi, Sya”
Gadis itu masih menangis, mungkin akan sampai Khalil mati kalau Merah dan Dion tidak menarik tubuh gadis itu meninggalkan tempat ini.
“Setelah ini menangkan permainannya dan bawa gue balik, guys”