Mulia adalah seorang wanita sukses dalam karir bekerja di sebuah perusahaan swasta milik sahabatnya, Satria. Mulia diam-diam menaruh hati pada Satria namun sayang ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Tiba-tiba Mulia mengetahui bahwa ia sudah dijodohkan dengan Ikhsan, pria yang juga teman saat SMA-nya dulu. Kartika, ibu dari Ikhsan sudah membantu membiayai biaya pengobatan Dewi, ibu dari Mulia hingga Mulia merasa berutang budi dan setuju untuk menerima perjodohan ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siasat Iblis
Bau kopi basi dan kertas-kertas usang menusuk hidung Bu Hanim saat ia duduk di kursi keras ruang interogasi. Meski berada di kantor polisi, Bu Hanim tidak menunjukkan sedikit pun rasa takut. Ia mengenakan setelan desainer yang mahal, terlihat kontras dengan suasana ruangan yang suram.
Di hadapannya, Komisaris Besar Haris, seorang perwira tinggi yang dikenal jujur, menatapnya dengan pandangan tajam. Haris membalik halaman laporan, laporan tentang teror bersenjata di pernikahan Ikhsan dan Mulia yang menyebabkan beberapa orang terluka.
"Bu Hanim, kami memanggil Anda untuk dimintai keterangan terkait insiden penembakan yang terjadi di pernikahan Ikhsan dan Mulia Anggraeni," ujar Haris, suaranya datar.
Bu Hanim tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. "Saya sudah mendengar berita mengerikan itu, Pak Komisaris. Sungguh tragis. Saya turut prihatin atas apa yang menimpa Tuan Ikhsan dan Nona Mulia."
"Anda tahu bahwa Anda memiliki konflik pribadi yang mendalam dengan kedua belah pihak, terutama Nona Mulia," Haris menekan. "Bahkan ada saksi yang mengklaim pernah melihat Anda mengancam Nona Mulia secara terbuka."
Bu Hanim mengangkat bahu, gestur pura-pura acuh tak acuh. "Tentu saja ada konflik, Pak Komisaris. Kami adalah rival bisnis, dan di dunia bisnis, terkadang ada gesekan emosional. Tapi ancaman? Saya rasa itu hanya drama yang dibuat-buat. Anda tahu, Nona Mulia itu wanita yang sangat dramatis."
"Dramatis?" Haris mengambil foto dari berkas, menunjukkannya—foto close-up luka tembak di bahu Ikhsan. "Apakah ini juga drama? Anda adalah tersangka utama dalam insiden penembakan Tuan Ikhsan beberapa waktu lalu, dan kami memiliki bukti sidik jari—"
"Tunggu dulu, Pak Komisaris," Bu Hanim memotong dengan nada tinggi, "Anda salah. Saya sudah memberikan alibi yang kuat untuk insiden penembakan Tuan Ikhsan. Saya sedang berada di luar kota saat itu. Dan soal pernikahan? Saya bahkan tidak diundang. Bagaimana mungkin saya merencanakan serangan di tempat yang bahkan saya tidak tahu di mana lokasinya?"
Bu Hanim memainkan perannya dengan sempurna, mengabaikan fakta bahwa ia tahu lokasi itu dari undangan online yang dikirim Dinda sebagai bentuk pengawasan.
****
"Orang suruhan Anda sudah melarikan diri, Bu. Tapi kami akan menemukan mereka," kata Haris.
"Itu adalah tugas Anda, Pak Komisaris. Saya harap Anda segera menemukan pelakunya. Kasihan Nona Mulia, dia pasti sangat terpukul. Tapi, sungguh, saya tidak tahu apa-apa tentang teror ini," kilah Bu Hanim. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, tatapannya dingin. "Jika Anda benar-benar fokus pada pekerjaan Anda, Anda tidak akan menyalahkan orang tak bersalah seperti saya. Anda seharusnya mencari pembunuh sebenarnya."
Haris terdiam. Ia tahu Bu Hanim berbohong, tetapi ia juga tahu, tanpa bukti fisik yang mengarah langsung ke Bu Hanim di lokasi kejadian, semua hanya sebatas spekulasi.
Setelah interogasi selesai, Bu Hanim diizinkan pulang. Ia tidak langsung kembali ke rumah. Ia naik ke mobil mewahnya, yang kali ini dikemudikan oleh seorang bodyguard yang juga merangkap sebagai kaki tangan.
"Hubungi Bapak F, sekarang," perintah Bu Hanim.
Di sebuah restoran mewah, Bu Hanim bertemu dengan Faisal, seorang perwira polisi berpangkat menengah yang memiliki akses luas dalam sistem. Faisal menyambutnya dengan senyum basa-basi.
"Nona Mulia itu sudah keterlaluan, Faisal," ujar Bu Hanim, tanpa basa-basi. "Dia terus menerus mencoba menjatuhkan saya dan keluarga saya. Termasuk fitnah penembakan itu."
"Saya mengerti posisi Anda, Bu Hanim," jawab Faisal, matanya tertuju pada tas tangan Hermes Bu Hanim yang diletakkan di meja.
Bu Hanim tahu kelemahan Faisal. Ia membuka tasnya, mengeluarkan sebuah amplop tebal. Isinya adalah tumpukan uang tunai yang jumlahnya sangat besar.
"Saya tidak mau kasus ini berlarut-larut. Saya tidak mau nama saya terseret lagi," kata Bu Hanim, mendorong amplop itu ke arah Faisal. "Saya ingin Anda memastikan, kasus penembakan di pernikahan itu, dan kasus penembakan Tuan Ikhsan, tidak akan pernah mengarah kepada saya. Saya ingin semua saksi bungkam. Saya ingin semua bukti menguap."
Faisal melihat amplop itu, matanya berkilat serakah. Jeda sejenak, ia melihat ke sekeliling, lalu menarik amplop itu ke pangkuannya.
"Anda tidak perlu khawatir, Bu Hanim," janji Faisal, senyum liciknya terukir. "Saya akan mengurus semua berkasnya. Kami akan menyimpulkan bahwa pelaku adalah orang tak dikenal yang memiliki masalah pribadi dengan Rumah Sakit Medika Sejahtera. Tidak ada bukti yang mengarah kepada Anda."
"Bagus," Bu Hanim membalas senyum. "Saya akan mengirimkan lebih banyak dana untuk biaya operasional Anda."
****
Bu Hanim kembali ke rumahnya dengan rasa puas yang dingin. Hukum tidak bisa menyentuhnya. Kekuatan uangnya telah memastikan bahwa ia kebal. Ia berjalan ke jendela ruang kerjanya, menatap langit malam yang gelap.
"Mulia Anggraeni," bisiknya, namanya terdengar seperti kutukan. "Aku bisa menghindari polisi dengan mudah. Tapi kamu? Kamu tidak akan bisa menghindariku."
Ia mengambil foto Mulia yang tersenyum dari berita lama dan merobeknya menjadi serpihan kecil.
"Kamu pikir dengan kekayaan Ikhsan, kamu akan aman? Kamu pikir dengan status calon istrinya, kamu akan kebal?" Bu Hanim tertawa parau. "Aku akan tunjukkan padamu. Aku akan menghancurkan Ikhsan, rumah sakitnya, kehormatan Kartika, dan kemudian, aku akan menghancurkanmu. Aku tidak akan pernah berhenti, Mulia. Aku bersumpah, aku akan terus meneror hidupmu sampai kamu gila dan mati di kakiku."
Dendam Bu Hanim telah mencapai tahap obsesi klinis. Ia tidak lagi peduli pada risiko; yang ia pedulikan hanyalah melihat Mulia Anggraeni menderita. Ia tidak akan membiarkan siapa pun, bahkan aparat hukum sekalipun, merusak keinginannya. Mulia kini tidak hanya menghadapi ancaman fisik, tetapi juga kekuatan hukum yang telah dibeli. Pertempuran sesungguhnya baru saja dimulai.
****
Ruangan rapat di kantor Ikhsan terasa pengap. Udara tegang menyelimuti Ikhsan dan Kartika saat mereka menonton siaran langsung konferensi pers kepolisian di layar besar. Wajah Komisaris Besar Haris terpampang jelas, memberikan keterangan akhir mengenai insiden penembakan di hari pernikahan.
Ikhsan duduk tegak, tangan kanannya menggenggam tangan Mulia yang tampak pucat. Ia yakin, kali ini kebenaran akan terungkap. Kartika duduk di sampingnya, wajahnya dipenuhi harapan.
"Setelah penyelidikan mendalam," ujar Komisaris Haris dengan nada resmi, "kami menyimpulkan bahwa insiden teror bersenjata yang terjadi di acara pernikahan Saudara Ikhsan dan Saudari Mulia Anggraeni, serta insiden penembakan Saudara Ikhsan sebelumnya, dilakukan oleh orang tak dikenal."
Jantung Ikhsan mencelos. Mulia tersentak. Kartika memejamkan mata sejenak, seolah menahan napas.
Komisaris Haris melanjutkan, kata-katanya menusuk seperti belati dingin. "Kami menemukan indikasi kuat bahwa motif pelaku adalah dendam pribadi terhadap Rumah Sakit Medika Sejahtera terkait kasus dugaan malpraktik yang tidak terselesaikan."
DUGAAN MALPRAKTIK. Dua kata itu menghantam Ikhsan dan Mulia.
"Dan saya tegaskan," kata Haris, menatap lurus ke kamera, "bahwa dugaan tersangka utama adalah Nyonya Hanim Wibowo, tidak memiliki keterkaitan langsung dengan serangkaian teror dan kekerasan ini. Kami menganggap klaim-klaim yang beredar hanyalah spekulasi tanpa dasar hukum."
Layar dimatikan. Ruangan itu sunyi sejenak, hanya ada suara napas berat.
"Tidak!" Ikhsan membanting tangannya ke meja. Wajahnya memerah padam. "Ini tidak mungkin! Mereka berbohong! Bu Hanim berbohong dan menyuap mereka!"
"Ikhsan, tenang!" Kartika mencoba menenangkan, meskipun suaranya sendiri bergetar. Ia menatap putranya dengan keputusasaan.