Tamat
Di malam pertama pernikahannya, Siti mendengar hal yang sangat membuatnya sangat terluka. Bagaimana tidak, jika pernikahan yang baru saja berlangsung merupakan karena taruhan suaminya dan sahabat-sahabatnya.
Hanya gara-gara hal sepele, orang satu kantor belum ada yang pernah melihat wajah Siti. Maka mereka pun mau melihat wajah sebenarnya Siti dibalik cadar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Siti dan Asih sudah sama-sama kembali ke apartemen masing-masing. Keduanya begitu menikmati peran sebagai seorang Ibu. Walau sangat melelahkan tapi mereka sanggup menikmatinya.
Terutama untuk Asih, baru menjadi seorang Ibu tidak ditemani orang tua dari mana pun begitu juga tidak ada suami. Namun tidak menjadikan itu sebagai alasan untuk tidak memberikan yang terbaik untuk putri kecilnya. Dia akan belajar, belajar dan terus belajar menjadi seorang Ibu sekaligus Ayah untuk Chantika Ayana, nama putrinya.
Sangat lelah sebenarnya tapi ini sudah menjadi resikonya. Sudah harus banyak bergerak di tengah rasa sakit yang datang mendera akibat dari operasi caesar yang telah dilakukannya. Untuk memenuhi semua kebutuhan dirinya dan putrinya.
Sangat berbanding terbalik dengan kebahagiaan yang dirasakan oleh Siti, berlimpah kasih sayang dari suami tercinta yang selalu siap siaga didekatnya. Membantunya mengurus buah hati, saling bergantian menggantikan popok atau menggendongnya.
Belum lagi mertua yang sedang dalam perjalanan menuju ke apartemen mereka. Sebab kedua orang tua Gio sudah janji akan datang kalau cucu mereka telah lahir.
"Mumpung Ken tidur, kamu tidur juga, sayang." Gio merebahkan tubuh istri yang sedang duduk.
"Iya, tapi aku juga lapar." Siti membenarkan posisi tidurnya setelah menarik pelan rambutnya yang tertindih. Gio pun ikut membantunya lalu membelai rambut panjang istrinya.
"Mau makan apa biar aku ambilkan?," tanya Gio sambil menatap mata lelah istrinya.
"Buah saja, Mas, tolong apel sama pir."
"Oke, sayang."
Kemudian Gio segera memotong buah yang diminta istrinya lalu kembali duduk di dekat istrinya. Menyuapinya dengan telaten dan sabar, bahkan sesekali pria itu mendaftarkan kecupan pada pipi dan bibir istrinya.
Hanya itu yang bisa dinikmatinya untuk saat ini, memuaskan kerinduannya yang belum juga usai dan tidak akan pernah usai.
Tepat sore hore Mama Agatha dan Papa Denis sudah tiba di apartemen. Mereka bergantian menggendong Ken yang baru selesai menyusu.
"Kamu tampan sekali, Papa dan Kakekmu tidak ada apa-apanya." Puji Mama Agatha sambil terus menghirup aroma wangi dari tubuh baby Ken.
Papa Denis dan Gio hanya tersenyum, tidak ada yang berani mendebat apa yang dikatakan Mama Agatha. Sampai-sampai Ken tidur lagi dalam gendongan Mama Agatha lalu ditidurkan di tempat box bayi.
Kemudian Mama Agatha menemani Siti makan sambil berbincang santai.
"Kata Gio kamu masih mau bekerja?."
"Iya, Ma. Itu juga kalau enggak repot. Karena setelah kita diskusi bertiga, Aku, Gio dan Asih, kami bisa membawa anak-anak kami. Itu pun sebenarnya kalau memungkinkan, Ma. Kalau tidak, ya, tidak akan kami bawa. Aku dan Asih juga mau kenyamanan untuk anak-anak kami."
"Iya, betul. Tetap harus memberikan yang terbaik untuk anak-anak, itu yang lebih utama."
Meninggalkan Siti yang tengah tidur bersama Ken, Mama Agatha dan Papa Denis mengunjungi apartemen Asih. Mereka berdua tahu cerita tentang Asih, mereka pun sangat berterima kasih dan tentu saja bangga. Mama Agatha dan Papa Denis pun menganggapnya sebagai anak karena Teo. Menganggap cucu pula pada putrinya Asih dan Teo.
Bahkan Mama Agatha dan Papa Denis sudah mengatakan akan tinggal di sana menemani Asih, Siti dan Gio sangat mendukung karena memang harus ada seseorang yang menemani Asih dan putrinya.
*
Di tengah rasa haru bercampur bahagia yang berlimpah, Teo harus kembali bekerja karena sudah satu minggu ini berada di sisi Siti dan Ken. Rasanya tidak akan pernah merasa bosan, dekat dengan orang-orang yang sangat disayanginya.
Baru juga selesai dengan beberapa berkas yang menumpuk, Yessi sudah masuk ke ruangannya dengan membawa berkas yang banyak pula.
"Maaf, Pak Gio. Biasanya Ibu Asih yang mengajariku tapi karena masih belum masuk jadi maaf saya bawa ke sini. Ada yang tidak saya mengerti dari pekerjaan ini, bukan tidak mau belajar tapi saya takut melakukan kesalahan." Ujar Yessi panjang lebar.
"Sebenarnya aku juga sangat sibuk, tapi duduklah biar aku cek dulu."
Yessi mengangguk lalu menaruh berkas-berkasnya di atas meja kerja Gio. Kemudian dia duduk di sofa sesuai perintah Gio. Dari tempatnya dia terus memperhatikan Gio yang semakin tampan saja dari terakhir kali yang dilihatnya sewaktu di club.
Ya, dulunya Yessi adalah seorang mahasiswi yang sesekali menginjakkan kakinya di tempat hiburan. Pernah melihat Gio nge-DJ dan dia sangat menyukainya. Tak membuang kesempatan saat perusahaan yang dipimpin Gio membuka lowongan pekerjaan dia pun segera ikut melamar dan keberuntungan berpihak padanya. Bisa bekerja dan selalu melihat Gio dari dekat dan setiap saat.
Tapi sekarang dia harus mengenakan hijab karena tuntutan yang diberikan perusahaan. Mau tidak mau dia harus beradaptasi dengan pakaian-pakaian serba tutup yang membuatnya sangat gerah dan tidak menampillkan kecantikannya.
Tapi tenang saja, walau menggunakan hijab wajahnya tetap menarik dan sangat fresh. Tapi sayang Gio belum ada meliriknya.
"Sebenarnya tidak ada masalah dengan semua berkas ini. Tinggal saja di sini biar aku yang kerjakan." Kemudian Gio mempersilakan Yessi keluar dari ruangannya.
Tapi bukannya pergi, Yessi justru menghampiri Gio seolah-olah dia tidak mau merepotkan Gio. Dia menarik berkas yang dekat dengan tangan Gio hingga tangan pria itu benar-benar tersentuh olehnya.
Gio langsung menyingkirkan tangan Yessi.
" Maaf, Pak Gio," sambil tersenyum menggoda.
Tanpa kata Gio langsung menunjuk arah pintu dan Yessi pun segera keluar.
"Susah banget sih buat dekat sama Pak Gio," gerutunya sambil duduk.
"Padahal aku sangat cantik," sambil berkaca. Menatap wajah cantiknya di dalam cermin. Seharusnya dia bisa menarik Gio dengan mudah.
Tapi tidak apa, dia merasa semakin tertantang dengan Gio yang tidak pernah meliriknya. Berarti Gio pria type setia jika dia beruntung mendapatkannya.
"Kenapa melamun?," tanya Jun sambil tersenyum. Memperlihatkan deretan gigi putihnya.
"P-pak Jun," Yessi sedikit gugup tapi bisa cepat menguasai keadaan.
Di luar dugaannya Yessi, pria itu mengajaknya makan siang bersama. Sambil menatap pintu ruangan Gio dia mengiyakan ajakan Jun. Mungkin harus melalui Jun untuk bisa sampai pada Gio.
Mereka pun pergi makan siang bersama, di restoran yang tidak jauh dari kantor. Sebelumnya Jun mengajak Gio tapi pria itu menolak karena pekerjaannya sangat banyak.
Gio masih bisa menerima telepon dari Leo di sela-sela kesibukannya.
"Bicara saja, Leo, aku mendengarkan."
"Di sana aman?."
"Aman, pekerjaan masih bisa aku handle."
"Asih dan anaknya bagaimana?."
Sejenak Gio menjauh dari pekerjaan. Bicara lebih serius kepada Leo.
"Mama dan Papaku bilang, memang harus ada yang membantu Asih. Karena pekerjaan itu semua dilakukannya sendiri. Tengah malam dua hari yang lalu ada yang menekan bel, Pas Papaku yang buka pintu orang yang menggunakan masker itu langsung pergi begitu saja."
"Apa mungkin itu Papanya Teo?."
"Bisa iya bisa juga bukan, tapi dari ciri-ciri yang diceritakan Papaku mengarah padanya. Mereka pun sempat bingung."