Ketika seorang jenderal militer yang legendaris menghembuskan napas terakhirnya di medan perang, takdir membawanya ke dalam tubuh seorang wanita polos yang dikhianati. Citra sang jenderal, kini menjadi Leticia, seorang gadis yang tenggelam di kolam renang berkat rencana jahat kembarannya. Dengan ingatan yang mulai terkuak dan seorang tunangan setia di sisinya.
Pertempuran sesungguhnya dimulai, bukan dengan senjata, melainkan dengan strategi, intrik, dan perjuangan untuk memperjuangkan keadilan untuk dirinya...
apakah Citra akan berhasil?
selamat datang di karya pertamaku, kalau penasaran ikuti terus ceritanyaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kegelapan malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
Kekacauan di apartemen Max memuncak. Tim Bram yang datang tepat waktu berhasil meringkus Reza dan anak buahnya, namun perhatian utama Leticia hanya tertuju pada satu titik, yaitu Max. Tubuh kekar Max yang tadi gagah berdiri melindunginya, kini terhuyung. Max meraih bahunya yang berlumuran darah, wajahnya memucat pasi. Matanya yang tadi penuh tekad kini sayu, perlahan redup.
"Max! Max, bertahanlah!" Leticia menjerit, suaranya tercekat di tenggorokan, diiringi isak tangis yang mulai pecah.
Ia berlutut di samping Max yang mulai goyah, berusaha menopangnya. Tangan dingin sang jenderal, yang biasa memegang senjata dengan mantap, kini bergetar hebat saat menyentuh luka tembak di bahu Max. Darah merembes, membasahi kaus putih Max dan jari-jemarinya. Ia berusaha menekan luka itu dengan telapak tangannya, mencoba menghentikan aliran darah, namun rasanya sia-sia.
"Tia... aku..." Max mencoba berbicara, namun suaranya melemah. Pandangannya kosong, seluruh tenaganya terkuras habis untuk melindunginya.
Detik berikutnya, tubuh Max limbung, jatuh tak sadarkan diri dalam pelukan Leticia. Pistol yang tadi digenggamnya terlepas dari genggaman, tergeletak di lantai marmer yang dingin.
"MAX! TIDAK! BANGUN, MAX! KUMOHON!" Leticia menjerit histeris.
Kepanikannya melumpuhkan semua naluri jenderalnya. Air mata membanjiri wajahnya, bercampur dengan darah Max di tangannya. Ia memeluk tubuh Max erat-erat, seolah takut jika ia melepaskan, Max akan menghilang.
Ketakutan akan kehilangan Max, pria yang telah meluluhkan hatinya, jauh lebih besar daripada rasa takutnya akan kematian sendiri. Ia mengusap wajah Max yang pucat, mencoba membangunkan suaminya.
"Jangan tinggalkan aku, Max... jangan..."
Bram dan beberapa anggota timnya segera menghampiri. "Tuan Max! Nona Leticia, minggir sebentar!" Bram berseru, wajahnya menunjukkan kepanikan yang jarang ia perlihatkan. Ia segera memeriksa Max.
"Astaga... segera panggil paramedis! Cepat!"
Suara sirene ambulans terdengar beberapa menit kemudian, memecah keheningan malam yang mencekam. Paramedis segera masuk, membawa tandu dan peralatan medis darurat. Mereka dengan sigap memeriksa kondisi Max, memberinya pertolongan pertama, dan membawanya keluar dari apartemen. Leticia menolak melepaskan Max. Ia mengikuti di samping tandu, menggenggam erat tangan Max yang terasa dingin.
"Nona Leticia, biar kami yang mengurusnya!" salah seorang paramedis mencoba menahan.
"Tidak! Aku akan ikut! Aku tidak akan melepaskannya!" Leticia bersikeras, matanya merah sembab. Ia melompat masuk ke dalam ambulans, duduk di samping Max, terus menggenggam tangannya. Ia mengabaikan darah di pakaiannya sendiri, mengabaikan kekacauan yang terjadi di apartemen. Yang ia pedulikan hanyalah detak jantung Max.
Di dalam ambulans yang melaju kencang membelah jalanan Jakarta, Leticia terus menatap wajah Max. Paramedis sibuk memasang infus dan memantau detak jantung Max.
"Bagaimana keadaannya?" bisik Leticia, suaranya parau.
"Peluru sudah distabilkan, Nona. Tapi dia kehilangan banyak darah. Kita harus segera sampai ke rumah sakit," jawab paramedis, fokus pada pekerjaannya.
Leticia mengangguk, menekan tangan Max ke pipinya. Ia memejamkan mata, doa-doa yang tidak pernah ia panjatkan sebagai jenderal kini keluar begitu saja dari hatinya.
"Kumohon... kumohon, jangan ambil dia dariku..."
Rumah Sakit Internasional Jakarta. Ruang UGD mendadak ramai. Max langsung dibawa ke ruang operasi. Leticia dipaksa menunggu di luar, duduk di kursi tunggu yang dingin. Pakaiannya berlumuran darah Max, rambutnya acak-acakan, matanya bengkak. Ia sendirian.
Bram datang menghampirinya, wajahnya muram.
"Nona Leticia, Anda tidak apa-apa?"
Leticia hanya menggelengkan kepala, air mata kembali menetes.
"Max... bagaimana Max, Bram?"
"Dokter sedang mengurusnya. Dia di ruang operasi sekarang," Bram mencoba menenangkan.
"Nona, Anda harus ganti baju. Biar saya minta suster mengantar Anda ke kamar mandi dan memberikan pakaian bersih."
"Tidak! Aku tidak akan pergi dari sini sampai Max keluar," tolak Leticia tegas.
"Bram, bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana mereka bisa masuk? Pengamanan Max... Kalian bilang sudah diperketat!" Nada suaranya dipenuhi amarah bercampur kekecewaan.
Bram menghela napas berat.
"Maafkan saya, Nona. Ada pengkhianat di tim. Namanya Rendi. Dia adalah kepala bagian logistik. Dialah yang memasukkan obat tidur ke minuman dan makanan para penjaga malam. Dia juga yang memberikan denah dan titik buta keamanan. Kami sudah meringkusnya. Dia mengakui semuanya."
Leticia mengepalkan tangannya. "Rendi... pengkhianat itu." Amarah membakar hatinya. "Dan Reza?"
"Reza juga sudah kami amankan, Nona. Dia tidak akan ke mana-mana," jawab Bram.
"Kami akan menginterogasinya sekeras mungkin untuk mencari tahu siapa dalang di baliknya."
"Bagus," desis Leticia, matanya berkilat dingin.
"Pastikan dia tidak lolos. Dan pastikan Rendi juga menerima balasan yang setimpal." Ia terdiam sejenak, lalu menatap Bram lagi. "Apa yang harus kulakukan sekarang, Bram? Bagaimana dengan keluarga Max?"
"Saya sudah menghubungi keluarga Tuan Max dan keluarga Anda, Nona," Bram menjelaskan. "Mereka akan segera tiba. Nona, Anda harus kuat. Tuan Max pasti akan sembuh. Dia pria yang kuat."
Leticia hanya bisa mengangguk, memejamkan mata, mencoba menenangkan badai dalam hatinya. Kilasan-kilasan kebersamaan dengan Max di Maladewa, janji-janji masa depan mereka, tawa renyah Max... semua berkelebat di benaknya. Ia tidak bisa kehilangan Max. Tidak akan.
Fajar menyingsing, mewarnai langit Jakarta dengan semburat jingga yang pucat. Leticia masih duduk di kursi yang sama, kaku dan lelah, namun tak bergeming. Bau antiseptik rumah sakit menusuk hidungnya. Lampu di atas ruang operasi masih menyala merah.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki tergesa-gesa terdengar dari ujung koridor. Nyonya Clara dan Tuan Anderson tiba pertama kali, diikuti oleh Nyonya Emily dan Tuan Richard. Wajah mereka semua menunjukkan kecemasan dan kebingungan yang mendalam. Bram sudah memberikan kabar singkat, namun detailnya masih samar.
"Leticia! Sayang!" Nyonya Clara berseru histeris, berlari ke arah Leticia, memeluknya erat. "Apa yang terjadi? Apa Max baik-baik saja? Kenapa kau kotor sekali?" Ia melihat darah kering di pakaian Leticia.
Nyonya Emily juga segera memeluk Leticia dari sisi lain. "Tia, anakku... Astaga! Apa yang terjadi semalam?"
Leticia tak bisa menahan diri lagi. Dalam pelukan kedua ibu itu, pertahanannya runtuh. Ia menangis tersedu-sedu, membiarkan semua ketakutan dan kepanikannya keluar.
"Max... Max tertembak, Ma... Dia di dalam... Dia pingsan..."
Tuan Richard menatap Bram dengan sorot tajam.
"Bram! Jelaskan apa yang terjadi! Kenapa putraku bisa tertembak?!"
Bram dengan cepat menjelaskan situasi, menekankan bahwa ada pengkhianat dan Max melindungi Leticia, serta Reza sudah ditangkap.
"Kami sudah memperketat keamanan, Tuan. Ini murni pengkhianatan dari dalam."
Saat Bram menjelaskan, pintu ruang operasi terbuka. Seorang dokter keluar, wajahnya terlihat lelah namun ada senyum tipis.
"Dokter! Bagaimana keadaan putra saya?" Tuan Richard segera menghampiri.
Dokter melepas maskernya. "Operasi berhasil, Tuan Bailey. Peluru berhasil diangkat. Untungnya, peluru tidak mengenai organ vital atau tulang yang parah. beruntung peluru berhasil dihindari sehingga tidak sampai mengancam nyawa tuan Max. Dia kehilangan banyak darah, dan akan membutuhkan waktu untuk pemulihan, tapi kondisinya sekarang stabil dan di luar bahaya."
Mendengar itu, semua orang menghela napas lega. Terutama Leticia, yang merasakan beban berat terangkat dari dadanya. Air matanya kini adalah air mata kelegaan.
"Bisa kami melihatnya, Dokter?" Nyonya Clara bertanya, matanya berkaca-kaca.
"Bisa, tapi hanya satu per satu, dan jangan membuatnya terlalu lelah. Dia masih sangat lemah dan butuh istirahat total. Kami akan memindahkannya ke ruang perawatan VIP," Dokter menjelaskan.
Nyonya Clara dan Nyonya Emily segera memeluk Leticia lagi, mengucapkan terima kasih karena telah menyelamatkan Max. Leticia hanya bisa mengangguk, masih terlalu syok untuk bicara. Ia tahu Max selamat, tapi pertarungan belum berakhir, ini hanyalah awal.
Reza tertangkap, tapi dalang di baliknya masih bebas, dan Rendi telah membuktikan bahwa ancaman bisa datang dari mana saja. Perasaan cinta dan proteksi terhadap Max kini semakin kuat, bercampur dengan tekad baja untuk mengakhiri semua intrik ini.
semangat dan sehat selalu kak thor