Baron sudah muak dan mual menjadi asisten ayah kandungnya sendiri yang seorang psikopat. Baron berhasil menjatuhkan ayahnya di sebuah tebing dan berhasil melarikan diri. Di tengah jalan Baron tertabrak mobil dan bangun di rumah baru yang bersih dan wangi. Baron mendapatkan nama keluarga baru. Dari Baron Lewis menjadi Baron Smith. Sepuluh tahun kemudian, Baron yang sudah menjadi mahasiswa hukum kembali dihadapkan dengan kasus pembunuhan berantai yg dulu sering dilakukan oleh ayah kandungnya. Membunuh gadis-gadis berzodiak Cancer. Benarkah pelaku pembunuhan berantai itu adalah ayah kandungnya Baron? Sementara itu Jenar Ayu tengah kalang kabut mencari pembunuh putrinya yang bernama Kalia dan putri Jenar Ayu yang satunya lagi yang bernama Kama, nekat bertindak sendiri mencari siapa pembunuh saudari kembarnya. Lalu apa yang terjadi kala Baron dipertemukan dengan si kembar cantik itu, Kama dan Kalia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lizbethsusanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesan Text
Kama dan Baron berada di pantai sampai sore, karena Kama terlalu terpukau dengan keindahan dan suasana pantai dan Kama butuh waktu sejenak untuk menghangatkan diri setelah berhasil sampai ke tepian dengan selamat. Namun, mereka tidak berada di bibir pantai lagi. Mereka menghangatkan diri di depan tungku api yang tersedia di setiap kios makanan. Mereka berdua menghangatkan diri sambil mengisi perut mereka. Kama berkata kalau dirinya bisa merasakan keberadaannya Kalia di pantai. Itulah kenapa Kama enggan pergi.
"Aku kangen banget sama Kalia"
"Dia tersenyum ke aku tadi dan nitip kamu ke aku"
"Kenapa dia nitipin aku ke kamu?"
Baron tersenyum tengil lalu berkata dengan sebelah alis terangkat, "Karena aku tampan"
Kama menepuk keras bahu Baron sambil berkata, "Pede ish!"
Baron tersenyum geli dia memang suka menggoda Kama. Dia suka melihat hidung Kama yang sedikit berkerut dan bibir mengerucut ketika gadis pujaan hatinya itu, kesal.
Keduanya saling pandang lalu merasa canggung dan keduanya bergegas membuang wajah mereka ke arah pantai.
Kenapa wajahku tiba-tiba terasa panas dan jantung kembali berdegup aneh seperti ini? Aku nggak mungkin suka sama Baron, kan? Batin Kama.
Kama dan Baron duduk berhadapan di kios makanan tersebut sedangkan Damian duduk di meja sendirian.
Mentari sore memancarkan jingga keemasan di ufuk barat, melukis siluet pepohonan yang melambai di Pantai yang jernih dan bersih itu.
Deburan ombak seolah menjadi melodi pengiring sore itu, namun bukan melodi yang bisa menenangkan detak jantungku yang berpacu kencang. Batin Baron
Pasalnya, di samping Baron, dengan kaus putih polos dan celana pendek selutut yang tersingkap sedikit saat angin berhembus, duduklah Kama. Ya, Kama mengganti setelannya yang basah dengan membeli kaos polos dan celana pendek bermotif pemandangan pantai. Sedangkan Kama membelikan Baron setelan kaos dan celana pantai untuk cowok.
Kama si pemilik senyum paling menawan dan tawa paling renyah yang selalu berhasil membuat logikaku hilang entah ke mana. Batin Baron sambil menautkan kedua ujung jempol kakinya di sandal yang dibelikan oleh Kama.
"Pemandangannya indah, ya?" suara Kama memecah keheningan. Baron mengangguk kaku, berusaha keras agar tidak terlihat seperti robot yang baru diisi ulang baterainya. Padahal, yang ingin Baron bilang adalah, "Lebih indah kamu, Kam!" Tapi, tentu saja, kalimat itu hanya berputar-putar di dalam kepalanya Baron, siap meledak jika tidak ia tahan.
"Ron, kok diam aja? Keselek biji lemon, ya?" Kama tertawa kecil, tawanya yang renyah itu sukses membuat pipi Baron menghangat. Baron menggeleng cepat dan terkekeh geli.
"Enggak, kok. Cuma... lagi nikmatin aja." Baron menunjuk ke arah laut, berharap Kama tidak melihat rona merah di wajahnya.
Beberapa saat kemudian, sebuah ide gila melintas di kepala Baron. Ide yang entah kenapa terasa sangat brilian pada saat itu. "Kam, mau coba bikin istana pasir?"
Damian langsung nyeletuk, "Bikin istana pasirnya di dekat sini saja jangan di bibir pantai!"
"Siap, Pak" Baron memberi hormat ke Damian dan Damian mendengus kesal.
Kama langsung berdiri dan menarik Baron, "Ayo! Kita bikin istana pasir di situ aja" Kama menunjuk ke arah depan.
Mereka kemudian berjalan satu setengah meter dari kios makan lalu berjongkok di depan pasir pilihan mereka.
Baron merasa seperti anak kecil berusia lima tahun, tapi entahlah, dia hanya ingin melakukan sesuatu yang bisa mengalihkan perhatiannya dari wajah Kama yang semakin memikat hatinya.
Kama menaikkan satu alisnya, lalu tersenyum. "Boleh juga ide kamu, Ron! Tapi aku kurang jago, nih. Aku, kan, nggak pernah pergi ke pantai dan nggak pernah bikin istana pasir"
"Tenang aja, ada aku! Aku akan ajari kamu" ucap Baron penuh semangat, seolah dia adalah arsitek istana pasir paling terkenal sedunia. Baron berjalan jongkok mendekati Kama.
Kama dan Baron pun mulai menggali pasir. Baron mencoba fokus pada gunungan pasir di depannya, tapi pandangannya seringkali mencuri-curi ke arah Kama. Bagaimana rambutnya jatuh ke dahi saat dia membungkuk, bagaimana jari-jari lentik mungilnya menonjol tipis saat dia menumpuk pasir, bagaimana dia sesekali tertawa saat pasir yang dia kumpulkan runtuh begitu saja. Semua detail kecil itu semakin membuat jantung Baron tidak karuan.
Sampai pada satu momen, tangan mereka berdua rak sengaja bersentuhan saat sama-sama akan mengambil pasir. Rasanya seperti ada sengatan listrik kecil yang menjalar ke seluruh tubuh Baron. Begitu pula dengan Kama. Mereka berdua buru-buru menarik tangan mereka dan saling pandang dengan wajah terkejut.
"Eh, maaf!" kata Baron gugup.
Kama menatapku, senyumnya sedikit berbeda kali ini. Ada semacam... geli di matanya. "Santai aja, Ron. Bukan setrum, kok," katanya sambil terkekeh.
Baron hanya bisa membalas dengan senyum kikuk. Sejak saat itu, setiap kali tangan Baron akan mendekat ke arah pasir yang sama dengan tangan Kama, pemuda tampan itu pasti akan sedikit ragu, kemudian mengalihkan arah atau bahkan menunggu Kama selesai.
Kelakuanku pasti aneh sekali di matanya. Batin Baron.
Kama memberikan senyum cantiknya dan dada Baron berdegup semakin kencang seketika itu juga.
Saat istana pasir mereka hampir selesai, sebuah ombak besar tiba-tiba menerjang dan menghancurkan sebagian besar bangunan kami. Kama terpekik kaget, sedangkan Baron tertawa terbahak-bahak. Di saat itulah Damian mendekat dan berkata, "Nyonya sudah menelepon. Kita harus segera ke bandara, Non"
Kama berdiri dan langsung berlari kecil mengikuti langkah lebarnya Damian sementara Baron melangkah pelan dan menatap punggung Kama dengan hati yang rasanya seperti dicubit-cubit tanpa jeda.
Kenapa harus secepat ini kita berpisah, Kam? Kamu bahkan belum menerima cintaku. Lalu, bagaimana dengan janjiku pada diriku sendiri kalau aku akan selalu melindungi kamu, Kam? Pikiran Baron kembali berisik.
Sesampainya di bandara, Baron menahan pundak Kama dan Kama memutar badannya ke Baron, "Ada apa?"
Baron menatap intens wajah cantik pujaan hatinya. Dia masih belum rela Kama meninggalkannya.
"Ron? Ada apa? Aku harus segera menyusul Mama, Om Akira, Pak Damian, dan Om Hugo. Mereka menunggu aku, tuh" Kama menoleh ke belakang lalu menoleh kembali ke Baron dengan cepat.
Baron menghela napas panjang lalu berkata, "Kita hidup di jaman yang mana kebahagiaan kita membuat orang lain marah dan masalah kita membuat orang lain senang. Di luar sana juga ada manusia iblis yang lebih buas daripada iblis itu sendiri dan manusia iblis itu sangat mengerikan juga sangat berbahaya. Kamu harus selalu berhati-hati, Kam"
Kama tersenyum lalu berkata, "Aku akan kembali ke tanah kelahiranku. Aku tahu dan kenal betul tanah kelahiranku. Tanah kelahiranku hanyalah kota kecil nan asri dan damai. Kenapa kamu sangat mengkhawatirkan aku? Seharusnya aku yang berkata seperti itu ke kamu karena kita juga belum tahu kepastiannya, manusia iblis itu beneran ada di Indonesia apa masih di sini"
Baron menepuk kedua bahu Kama dan berkata, "Kalau sudah sampai kabari aku, ya, please?! Kita sudah bertukar nomer ponsel kan tadi"
Kama menepuk kedua bahu Baron, "Iya, aku akan langsung kabari kamu begitu aku sampai di depan pintu rumahku. Jaga diri baik-baik dan terima kasih untuk kebaikan kamu, kamu sudah sering menolongku lepas dari maut. Aku akan membalas budi baik kamu nanti"
"Tidak usah balas budi, Kam, cukup pikiran dengan baik pernyataan cintaku ke kamu. Aku tulus mencintai kamu dan benar-benar ingin menjadi pacar kamu"
Kama hanya tersenyum lalu menepuk kembali kedua bahu Baron sambil berkata, "Aku harus pergi. Kalau aku ke sini lagi aku akan membalas budi dengan baik"
Baron menghembuskan napas berat dan dengan terpaksa dia melepaskan Kama lalu melambaikan tangan ke gadis pujaan hatinya itu.
Sementara itu, si pria tinggi besar berwajah tampan, berkacamata dan ramah, tengah masuk ke dalam mobil yang menjemputnya. Dia menoleh ke putra tirinya yang sudah dia ijinkan menyandang nama marganya setelah pria tinggi besar itu menikah dengan ibu dari anak laki-laki itu.
"Ada apa, Pa?"
"Kamu merindukan siapa? Kenapa dari awal perjalanan kamu sering diam dan melamun?"
"A....aku tidak merindukan siapa pun"
"Kamu punya pacar, ya? Orang Paris asli, campuran, apa orang Asia? Kamu sepertinya mirip Mama kamu, suka sama orang Asia karena Mama kamu orang Asia, kan?"
"A....aku belum punya pacar"
"Baguslah kalau belum punya pacar. Punya pacar itu ribet kalau kamu masih kuliah. Lulus dulu, kerja, baru cari pacar"
"Iya, Pa"
Ting! Notifikasi masuk di ponselnya dan itu membuat si pria tinggi besar, berwajah tampan, berkacamata, dan ramah itu menunduk ke ponselnya. Sebuah senyuman puas tersungging di wajahnya yang tampan.
Bagus! Dia membalas budi baikku dengan sangat baik dan sangat benar. Batin si pria tinggi besar, berwajah tampan, berkacamata, dan ramah itu.
Ting! Notifikasi di ponselnya membuat Akira menunduk dan pria berwajah khas Jepang itu sontak mengangkat kedua alisnya ke atas setelah dia membaca pesan text yang dia terima. Beberapa detik kemudian Akira menghela napas panjang lalu meneruskan pesan text itu ke ponselnya Jenar Ayu karena Jenar Ayu duduk dua bangku di depannya.
Ting! Notifikasi di ponselnya membuat Jenar Ayu menunduk dan setelah membaca pesan text dari Akira itu, dia menutup mulutnya dengan telapak tangan.
Kama menoleh kaget ke mamanya, "Ada apa, Ma?"
Jenar menoleh ke Kama lalu berkata dengan suara setengah berbisik, "Si pemburu Zodiak Cancer sudah tertangkap"
"Tidak mungkin" Kama menggeleng cepat.
"Dengarkan Mama dulu!"
Kama mengangguk cepat.
"Dia menyerahkan diri ke kantor polisi lalu menyerahkan kotak yang berisi koleksi pribadinya........." Jenar mengusap wajah manisnya dengan kasar lalu melanjutkan ucapannya tadi, "Kotaknya berisi potongan jari jemari milik korban yang dia tandai dengan simbol Zodiak Cancer, lalu.......lalu dia menembak kepalanya sendiri di depan kantor polisi"
Kama langsung menutup mulutnya dengan telapak tangan.