Di kehidupan sebelumnya, Nayla hidup dalam belenggu Adrian.
Tak ada kebebasan. Tak ada kebahagiaan.
Ia dipaksa menggugurkan kandungannya, lalu dipaksa mendonorkan ginjalnya kepada saudari kembarnya sendiri—Kayla.
Ia meninggal di atas meja operasi, bersimbah darah, dengan mata terbuka penuh penyesalan.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua.
Di kehidupan ini, Nayla bersumpah: ia tidak akan jatuh di lubang yang sama.
Ia akan membuka topeng dua manusia berhati busuk—mantan kekasih dan saudari tercintanya.
Namun kali ini... apakah ia bisa menang?
Atau akan ada harga baru yang harus ia bayar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julie0813, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 - Panik dan Kebingungan
Di dalam kamar Kayla.
Pipi Kayla masih membengkak meski sudah diolesi salep semalaman. Tamparan keras dari Nayla semalam membuat wajahnya memar jelas. Melihat bayangannya sendiri di cermin, Kayla mendesis kesal. Ia menyesal tak memberi Nayla pelajaran yang lebih berat.
Saat ini, Kayla masih belum tahu bahwa rencananya semalam gagal total.
"Halo? Rayyan, gimana di tempatmu?" Kayla bertanya sambil merapikan riasan. Ia mengoleskan concealer ke bekas tamparan di wajahnya, berniat berdandan cantik untuk keluar dan menyaksikan wajah menderita Nayla. Membayangkannya saja sudah membuat hatinya senang.
"Kay, semalam Nayla nggak datang. Orang yang seharusnya mengantar dia ke sini juga hilang kabar, Kay." suara Rayyan terdengar seperti baru saja bangun tidur.
Tangan Kayla gemetar. Concealer yang dipegangnya terjatuh ke lantai. Wajahnya langsung pucat pasi. Bekas tamparan di pipinya yang belum tertutup sepenuhnya kini tampak lebih menyeramkan.
"Apa?! Gimana bisa?! Di mana letak kesalahannya?!" Kayla hampir tak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Kay, tolong tenang dulu. Aku juga baru tahu. Siapa tahu dia salah masuk kamar atau dibawa ke tempat lain," Rayyan terdengar menyesal karena tidak berhasil menjalankan rencana Kayla dengan sempurna.
"Rayyan! Kamu sendiri yang bilang semua sudah pasti! Aku seharusnya nggak percaya kamu dari awal!" Kayla membentak penuh emosi.
Semalam, ia jelas melihat Nayla meminum jus yang sudah dicampur obat. Dia bahkan menyuruh dua pria besar berbadan kekar untuk membawa Nayla ke hotel tempat Rayyan menginap. Dan sekarang Rayyan bilang tak pernah melihat Nayla?!
Apa Nayla bisa tumbuh sayap dan terbang begitu saja?!
Rayyan mendengar amarah membara dari Kayla di seberang telepon. Ia juga mulai membenci Nayla dalam hati. Tapi sekarang, semuanya sudah telanjur. Satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan adalah mencari tahu ke mana Nayla pergi semalam.
"Kayla, aku akan coba cek rekaman CCTV bar dari semalam. Mungkin bisa kasih petunjuk."
Kayla panik bukan main. Ia sangat menyesal karena tidak ikut memastikan sendiri bahwa Nayla benar-benar dibawa ke kamar Rayyan.
Segera, ia mengeluarkan kartu SIM sekali pakai yang rencananya akan dibuang, dan langsung menelepon salah satu pria yang bertanggung jawab membawa Nayla semalam.
“Tut... tut... tut...”
Telepon tersambung, tapi yang terdengar hanyalah keheningan. Tak ada satu kata pun dari seberang.
Jantung Kayla berdegup kencang. Ia langsung menutup telepon dengan panik.
Dengan gelisah, Kayla berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, menunggu hasil dari penyelidikan Rayyan. Hatinya dipenuhi kecemasan.
Kalau Nayla benar-benar diselamatkan seseorang, apa rencanaku akan terbongkar?
“Enggak, enggak mungkin! Semua sudah kuatur dengan sangat rapi. Tidak akan ada yang tahu,” Kayla meyakinkan dirinya sendiri.
Namun, genggaman tangannya yang memucat dan langkah kakinya yang kacau mengungkapkan kegelisahan yang ia coba sembunyikan.
Tut... tut... tut...
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Nama Rayyan muncul di layar. Tangan Kayla bergetar saat meraih ponselnya dan langsung menekan tombol jawab.
“Halo? Gimana?!” tanya Kayla dengan suara tegang dan napas tak teratur.
“Kay, tenang dulu. Dengar aku baik-baik. Dari rekaman CCTV Hotel Anna, terlihat jelas Nayla memang diselamatkan seseorang semalam. Bahkan orang-orang yang kita kirim untuk membawanya juga ikut ditangkap,” suara Rayyan terdengar berat dan penuh kekhawatiran.
BRAK!
Tubuh Kayla seketika membeku. Ponsel di tangannya terjatuh ke lantai.
“Kay? Kay, kamu dengar nggak?! Kayla!” suara Rayyan yang panik terus terdengar dari ponsel yang kini tergeletak di lantai.
Tapi Kayla sudah terpuruk di atas sofa. Seluruh tubuhnya lemas, matanya kosong menatap lantai, tak lagi mendengar apapun. Ruangan terasa hening membeku, hanya suara lirih dari ponsel yang terus menyala.
“Kay, kamu harus tenang... Mungkin saja mereka belum tahu apa-apa,” Rayyan mencoba menenangkan, meskipun suaranya sendiri terdengar penuh keraguan.
Kayla mulai bergumam pelan, mengulang-ulang kata yang sama, seolah sedang meyakinkan dirinya sendiri.
“Iya... Nayla itu bodoh... Dia pasti nggak sadar apa-apa...”
“Iya! Dia pasti percaya sama aku! Aku harus telepon dia sekarang, cari tahu reaksinya!” Kayla berkata dengan penuh tekad, seolah melihat secercah harapan.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu meraih kembali ponselnya dari lantai dan segera menekan nomor Nayla.
“Halo?”
Suara perempuan yang sedikit serak, seperti baru bangun tidur, terdengar dari seberang.
