~Menikah karena cinta itu indah. Tapi bagaimana jika menikah karena wasiat?~
Raga Putra Mahesa tak pernah menyangka, amanat terakhir dari almarhum ayahnya akan menuntunnya ke pelaminan—bukan dengan wanita pilihannya, melainkan dengan Miky Cahya Murni. Gadis 19 tahun yang terlalu cerewet, terlalu polos, dan terlalu jauh dari bayangannya tentang seorang istri.
Apalagi … dia masih belum selesai berduka. Masih hidup dalam bayang-bayang mendiang istrinya yang sempurna.
Miky tahu, sejak awal dia bukan pilihan. Dia hanya gadis culun dengan suara cempreng, langkah kikuk, dan hati yang terlalu mudah jatuh cinta pada sosok lelaki dingin yang tak pernah memberinya tempat.
“Dia mencintai mendiang istrinya. Aku hanya bayang-bayang.” – Miky
“Menikahimu adalah kesialan bagi saya!” – Raga.
Di tengah usaha Miky dalam mengejar cinta Raga, sebuah rahasia terungkap. Rahasia yang selama ini disembunyikan oleh Raga.
Mampukah Miky bertahan dalam pernikahan tanpa cinta ini? Atau akankah ia menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kacan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mimpi Fika
Melihat keterkagetan di wajah Abian membuat Miky tersenyum canggung.
"Miky, nggak mungkin kan kamu hamil saat umur 15 tahun?"
Miky tertawa seketika. Ia memegangi perutnya. "Ya ampun! Yakali hamil umur segitu, Kak." Miky geleng-geleng kepala.
Kedua alis Abian terangkat, sorot matanya menunjukkan tanda tanya.
Lantas bagaimana bisa Miky memiliki anak seusia itu?
Melihat kebingungan di wajah Abian, Miky tak tahan untuk segera menjelaskan.
"Miky nikah sama Mas ganteng, Kak. Eh maksudnya mas duda anak satu," jelas Miky.
Lagi-lagi Abian dibuat terkejut oleh fakta yang baru diketahuinya. Seketika raut wajah Abian berubah mendung.
Kecewa.
Sakit.
Semua perasaan tak mengenakan itu menyelimuti diri Abian.
"Maaf jika aku lancang bertanya hal ini ...." Abian menatap lekat wajah Miky. "Berapa umur suamimu, Miky?"
"34 tahun, Kak," sahut Miky santai, tak sesantai wajah Abian saat ini.
Wajah Abian merah padam.
"Kak Abian kenapa?"
"Kenapa, kenapa kamu mau menikah dengannya Miky?" Abian balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan dari Miky.
Miky berpikir sejenak, kepala sedikit ia miringkan. "Karena ganteng," sahutnya enteng.
Hahhh.
Suara hembusan napas panjang terdengar berat, dan itu berasal dari Abian.
"Kamu masih nggak berubah ya. Polos dan—"
"Tapi sekarang alasannya bukan sesederhana kegantengan suami Miky, Kak. Miky cinta sama mas Raga," potong Miky.
Deg.
Cinta?
Gadis yang disukainya mencintai pria lain?
Abian tertawa hambar, membuat Miky keheranan karena ia merasa tak ada yang lucu dari deretan kalimat yang dirinya ucapkan.
"Aku terlambat rupanya." Abian mengalihkan tatapannya ke arah lain, menatap jalanan yang dilalui beberapa kendaraan .
Miky mengernyitkan dahi. Ia tak mengerti apa maksud perkataan Abian.
"Emmm, Kak Abian. Sebenernya selain keluarga dan beberapa tetangga, temen-temen di kampus belum ada yang tau kalau Miky udah menikah," ungkap Miky.
Entah kenapa Miky ingin mengungkapkan kegundahan di hatinya. Ia begitu nyaman berada di dekat Abian, sehingga tak sulit baginya untuk terbuka dengan pria hangat itu.
Abian menoleh ke arah Miky. Wanita di dekatnya benar-benar polos, sampai-sampai tak mengerti apa yang baru saja diucapkannya.
"Suamimu yang menyuruh?" Mata Abian memicing.
Kepala Miky langsung menggeleng cepat.
"Enggak, Kak. Ini kemauan Miky kok. Miky takut satu kampus pada heboh, apalagi kalau tau Miky nikahnya sama Raga Putra Mahesa."
Raga Putra Mahesa? Pembisnis yang usaha kulinernya sudah menjamur di mana-mana.
Abian tampak terkejut. Terlalu banyak kejutan yang ia dapatkan hari ini sampai-sampai ia kesulitan untuk berkata-kata.
"Sudah terlalu sore, perlu tumpangan?" Abian mengangkat kedua alis tebalnya, menawarkan diri pada Miky sebagai bentuk pengalihan topik pembicaraan di antara mereka.
Miky tanpa pikir panjang langsung menyetujui tawaran dari Abian.
Pria itu lantas berdiri, disusul oleh Miky yang melakukan hal serupa.
Abian berjalan terlebih dahulu, ia membukakan pintu mobil untuk Miky. Begitu wanita itu masuk, ia langsung memutari mobil dan ikut duduk di sebelah Miky, tepatnya di kursi kemudi.
"Jadi, sekarang kamu tinggal di mana?" tanya Abian seraya menyalakan mesin mobil.
"Di jalan Green nomor 31, Kak."
Abian mengangguk paham.
Sepanjang perjalanan menuju kediaman Miky, Abian banyak bicara tentang masa lalu mereka, masa-masa di mana Miky selalu mengikuti ke manapun dirinya pergi.
Miky ikut terhanyut dalam pembicaraan panjang yang membuatnya beberapa kali tersenyum malu.
Abian merasa senang bisa bertemu kembali dengan Miky, wanita yang selalu memberinya energi positif.
"Sudah sampai," ucap Abian tepat ketika mobil berhenti di depan pagar besar yang mengelilingi seluruh kediaman Raga.
Miky menoleh ke kanan dan ke kiri. "Eh keasyikan ngobrol sama Kak Bian jadi nggak berasa udah sampai," selorohnya sambil tertawa kecil.
Abian hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan Miky yang tidak pernah berubah.
"Oh iya, Makasih ya, Kak," pamit Miky, ia hendak membuka pintu mobil, namun urung ketika suara Abian mengintrupsinya.
"Boleh aku minta nomor ponselmu?" tanya Abian seraya menyodorkan ponsel miliknya.
Miky mengangguk sambil memasang senyum simpul. "Boleh dong, Kak," sahutnya langsung menyambar ponsel Abian, lalu mengetik nomor selulernya pada ponsel itu.
"Ini, Kak." Miky mengulurkan ponsel itu pada Abian, yang diterima Abian dengan perasaan senang.
"Suamimu nggak marah kalau aku menghubungimu?"
Miky diam sejenak. Ia berpikir untuk beberapa saat. Tidak mungkin Raga akan marah kan? Pria itu bahkan tak peduli padanya.
Akhirnya Miky menggerakkan kepalanya sebagai jawaban.
Abian tersenyum hangat akan jawaban Miky.
"Yaudah deh, Miky turun ya, Kak. Lain kali kita ngobrol lagi," ucap Miky sebelum akhirnya turun dari mobil milik Abian.
Mata Miky menatap kepergian mobil Abian dengan senyuman yang tak kunjung surut di bibirnya.
Saat mobil itu tak lagi terlihat barulah Miky menekan bel, sampai pintu gerbang terbuka.
"Makasih, Pak Jarwo," ucap Miky saat melewati pos satpam di rumah Raga.
Sesampainya di dalam rumah, Miky disambut dengan suara tangisan kencang Fika.
Huaaa.
Huaaa.
Mendengar itu Miky berlari menuju sumber suara. Kakinya berhenti di ruang keluarga, tempat di mana Raga tengah berusaha menenangkan Fika yang menangis histeris dalam gendongan pria itu.
"Mimi!" jerit Fika saat melihat kehadiran mimi-nya.
Raga langsung berbalik saat itu juga, menatap tajam sosok Miky yang tengah berdiri di dekatnya.
"Mimi!" Fika merentangkan tangan, berusaha menggapai Miky.
Miky yang tak tega melihat mata sembab bocah imut itu lantas langsung mengajukan diri dengan membalas rentangan tangan anak sambungnya.
"Anak cantik kok nangis?"
Raga yang tak ingin anaknya terus menangis, lantas langsung memindahkan anaknya ke tangan Miky.
Miky tersentak mundur ketika Fika memeluk lehernya kuat.
"Fika takut cekali, waktu tidul ciang Fika mimpi Mimi dibawa pelgi cama pangelan. Pangelannya lebut Mimi dali Fika, huaaa." Anak itu menangis histeris seakan apa yang diceritakan benar-benar terjadi.
"Cup, cup! Itu cuma mimpi, Sayang. Nih buktinya Mimi ada di sini sama Fika." Miky menepuk-nepuk punggung kecil anak sambungnya.
Semua itu tak lepas dari lirikan mata Raga.
Bagaimana bisa Fika sedekat itu dengan Miky? Hingga ketika pulang kerja dirinya langsung disambut dengan tangisan kencang anaknya hanya karena mimpi aneh.
Lama-kelamaan suara tangisan Fika mereda, bahkan anak itu kembali tertidur dalam gendongan Miky.
"Dasar tidak becus," hardik Raga dengan suara tertahan.
Miky yang tengah menimang-nimang anak dalam gendongannya langsung mendongakkan kepala.
"Mas ngomong sama, Miky?" Miky menatap suaminya dengan tatapan polos.
Seketika rahang Raga mengeras, ia hendak membalas Miky. Namun, urung ketika suara ponselnya berbunyi.
Raga merogoh saku jasnya, melihat layar itu dengan mata menyipit.
Pupil mata Raga melebar, wajahnya berubah tegang seiring tangan mengepal kuat saat sebuah pesan masuk.
Bersambung ....
Apa ye isi pesannya? Komuk mas Raga kok langsung berubah?🧐🧐🧐🧐 Pesan apaan tuh ya.
jedeeerrrrrr
sambungin lagu thor
zigizaga zigi to zaga zigzig to zagzag
welcome to our family