NovelToon NovelToon
Menikah Dengan Dosen Killer

Menikah Dengan Dosen Killer

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Nikahmuda
Popularitas:7.4k
Nilai: 5
Nama Author: santi puspita

Naya, gadis kaya raya yang terkenal dengan sikap bar-bar dan pembangkangnya, selalu berhasil membuat para dosen di kampus kewalahan. Hidupnya nyaris sempurna—dikelilingi kemewahan, teman-teman yang mendukung, dan kebebasan yang nyaris tak terbatas. Namun segalanya berubah ketika satu nama baru muncul di daftar dosennya: Alvan Pratama, M.Pd—dosen killer yang dikenal dingin, perfeksionis, dan anti kompromi.

Alvan baru beberapa minggu mengajar di kampus, namun reputasinya langsung menjulang: tidak bisa disogok nilai, galak, dan terkenal dengan prinsip ketat. Sayangnya, bagi Naya, Alvan lebih dari sekadar dosen killer. Ia adalah pria yang tiba-tiba dijodohkan dengannya oleh orang tua mereka karna sebuah kesepakatan masa lalu yang dibuat oleh kedua orang tua mereka.

Naya menolak. Alvan pun tak sudi. Tapi demi menjaga nama baik keluarga dan hutang budi masa lalu, keduanya dipaksa menikah dalam diam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28

Pak Firman menempelkan ponselnya ke telinga, suaranya terdengar tenang namun penuh pertimbangan.

“Halo, Pak Hermawan. Maaf mengganggu waktunya sebentar.”

Pak Hermawan segera menjawab dengan nada ramah,

“Oh, tidak sama sekali, Pak Firman. Ada yang bisa saya bantu?”

“Begini, Pak...” suara Pak Firman terdengar sedikit berat.

“Tadi sore Naya pulang ke rumah. Tapi... dia terlihat sangat sedih. Bahkan menangis. Jadi saya ingin menanyakan, apakah Naya dan Alvan sedang ada masalah?”

Terdengar helaan napas panjang dari seberang.

“Sejujurnya saya belum sempat bicara langsung dengan Alvan, Pak. Tapi kalau memang ada sesuatu yang membuat Naya merasa tidak nyaman, saya benar-benar minta maaf. Mungkin ini hanya bagian dari penyesuaian... maklum, mereka baru saja menikah.”

Pak Firman mengangguk kecil meski tahu lawan bicaranya tak bisa melihat.

“Ya, saya mengerti. Tapi terus terang, ini pertama kalinya saya melihat Naya pulang dengan kondisi seperti itu. Biasanya tidak pernah.”

Pak Hermawan menanggapi dengan nada lebih serius,

“Saya bisa memahami kekhawatiran Bapak. Nanti akan saya bicarakan langsung dengan Alvan. Dan sekali lagi, saya mohon maaf kalau ada hal yang kurang berkenan dari pihak kami.”

“Tidak apa-apa, Pak. Terima kasih atas pengertiannya.” ujar Pak Firman dengan tenang.

“Tolong sampaikan juga salam saya untuk menantu saya.”

“Pasti, Pak. Salam kembali untuk Naya.”

___

Setelah sambungan telepon terputus, Pak Hermawan menarik napas panjang. Wajahnya tampak tegang, namun tetap berusaha tenang. Tanpa membuang waktu, ia segera melangkah cepat menuju kamar Alvan. Pintu kamar dibuka tanpa ketukan.

“Alvan!” panggilnya lantang.

Alvan yang tengah fokus di depan laptop sontak menoleh. Keningnya berkerut melihat ekspresi ayahnya yang tidak seperti biasa.

“Ada apa?” tanyanya singkat, sedikit waspada.

Pak Hermawan masuk lebih dalam dan duduk di pinggir ranjang, tepat di samping putranya. Suasana kamar seketika menjadi sunyi.

“Ayah baru saja ditelepon Pak Firman.” Suaranya pelan tapi menekan. “Katanya Naya pulang ke rumah orang tuanya sambil menangis. Kamu tahu artinya itu? Dia terluka, Van. Dan Pak Firman bertanya-tanya ada masalah apa di antara kalian.”

Alvan mengalihkan pandangan, kembali menatap layar laptopnya.

“Itu keinginan Naya sendiri, bukan urusanku lagi.” ucapnya datar, bahkan tak sedikit pun menoleh.

Pak Hermawan mengepalkan tangannya sejenak, berusaha menahan amarah.

“Jadi kamu diam saja? Biarkan istrimu pergi tanpa penjelasan? Kamu pikir pernikahan itu mainan, Van?” nada suaranya mulai meninggi. “Sebagai suami, kamu yang seharusnya jadi orang pertama yang membuat dia merasa aman. Tapi sekarang... kamu malah duduk di sini, bersikap seolah tak peduli!”

Alvan menghela napas panjang, matanya tetap pada layar.

“Aku lelah, Yah. Jangan paksa aku bicara.”

Pak Hermawan berdiri, sorot matanya tajam.

“Kalau kamu belum siap jadi suami, jangan bawa anak orang masuk dalam hidupmu. Tapi sekarang kamu sudah terlanjur menikah, dan ayah minta satu hal...”

Ia berhenti sejenak, menekankan kalimat berikutnya.

“Jemput istrimu. Bawa dia pulang. Malam ini juga. Tidak ada alasan. Tidak ada penolakan.”

Tanpa menunggu jawaban, Pak Hermawan melangkah pergi meninggalkan kamar dengan langkah tegas. Pintu tertutup. Alvan hanya duduk terpaku, menatap layar laptop yang kini terasa kosong.

Suara pintu kamar yang tertutup perlahan memudar, meninggalkan Alvan dalam keheningan. Ruangan terasa lebih sempit, seakan dinding-dinding mendekat dan menekan dadanya. Ia menatap layar laptop di depannya, tapi huruf-hurufnya kini tak lagi membentuk makna.

Tangannya terangkat, menutup wajah. Sesaat kemudian, ia menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, mendongak ke langit-langit.

“Kenapa semua ini terasa salah?” gumamnya lirih.

Bayangan wajah Naya muncul begitu saja dalam pikirannya—sorot mata marahnya, tangis tertahannya, tamparan yang mendarat di pipinya. Semua berputar di kepalanya seperti cuplikan film yang tak bisa di-pause.

Ia mengusap pipinya, tempat bekas tamparan itu masih terasa sedikit panas.

“Apa aku terlalu keterlaluan?”

Alvan memejamkan mata. Ia mengingat malam itu. Ingatan yang rumit, tak sepenuhnya bisa dia pahami. Ia tahu Naya dalam kondisi tidak sepenuhnya sadar. Ia tahu itu.

Dan itulah yang membuat hatinya tidak tenang.

“Aku suaminya, tapi… bukan begini caranya.” suara batinnya mulai goyah.

Untuk pertama kalinya, ia merasa bingung. Bukan karena skripsi mahasiswa, bukan karena jadwal sidang—tapi karena hati sendiri.

Alvan menghela napas berat. Ia berdiri dari kursinya, berjalan ke arah jendela. Langit Jakarta tampak cerah, tapi dadanya tetap terasa mendung.

Ponselnya ia ambil dari meja.

Ia membuka galeri. Foto Naya yang sedang tertidur dengan wajah kusut di hari pertama liburan—masih tersimpan.

Tanpa sadar, jari-jarinya menyentuh layar, lama.

“Apa aku benar-benar sudah menghancurkan semuanya?”

Ponsel itu ia genggam erat. Lalu ia menutup mata sejenak.

Beberapa detik kemudian, ia membuka kontak, mengetik nama "Naya", dan menatap layar sejenak sebelum akhirnya menekan tombol panggil.

Nada sambung terdengar. Sekali… dua kali… tidak diangkat.

Ia mencoba menahan rasa kecewa, lalu membuka aplikasi chat. Jari-jarinya sempat ragu, tapi kemudian mengetik:

📱 Alvan: Aku tahu kamu marah. Tapi kalau kamu siap bicara, aku di sini. Aku ingin dengar semuanya. Dan... kalau aku harus minta maaf, aku akan lakukan.

Ia menatap pesan itu. Lalu menghapusnya.

“Belum saatnya.” gumamnya.

Beberapa detik kemudian, ia menaruh ponsel kembali ke meja, lalu duduk dan memandangi layar kosong laptopnya.

Tapi satu hal sudah berubah.

Kali ini, wajah Naya benar-benar tak bisa ia singkirkan dari pikirannya.

"Ahhhhh kenapa jadi begini. Naya..."gerutu Alvan pada dirinya

"tidak bisa aku juga salah, mungkin benar kata ayah aku harus menjemput Naya sekarang juga"gumamnya pelan

Alvan berdiri dari kursi dengan gerakan cepat. Ia membuka lemari, meraih jaket jeans dan kunci mobil, lalu menatap pantulan dirinya di cermin sebentar.

Wajahnya tampak lelah, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda—keraguan itu perlahan berubah menjadi tekad.

"Kalau aku biarkan ini terus... Naya akan semakin jauh. Dan mungkin aku gak akan pernah bisa menebus semuanya," gumamnya lagi.

Langkahnya tergesa menuruni anak tangga.

Bu Rina yang sedang duduk membaca majalah di ruang tamu sempat menoleh, kaget melihat anaknya tiba-tiba muncul dengan wajah serius dan langkah cepat.

“Lho, Alvan? Mau ke mana kamu?” tanya ibunya.

Tanpa memperlambat langkah, Alvan hanya menjawab singkat.

"Ke rumah Pak Firman. Aku harus bicara dengan Naya."

Bu Rina menurunkan majalahnya, tatapannya mengikuti punggung putranya yang kini hilang di balik pintu utama. Ia menarik napas dalam.

"Semoga kalian bisa menyelesaikan semuanya dengan kepala dingin..." lirihnya penuh doa.

---

Di dalam mobil, Alvan menyandarkan kepalanya ke jok selama beberapa detik sebelum menyalakan mesin.

Udara di dalam mobil terasa panas, atau mungkin itu hanya pantulan dari hatinya yang mendidih oleh rasa bersalah dan kecemasan.

"Bagaimana kalau dia menolak untuk diajak pulang?" pikirnya.

"Bagaimana kalau dia benar-benar membenciku sekarang?"

Mobil melaju dengan cepat, membelah jalanan ibukota yang lengang di siang hari.

Dan di kursi pengemudi, untuk pertama kalinya Alvan terlihat bukan sebagai sosok yang dingin dan penuh prinsip melainkan sebagai laki-laki biasa, yang sedang mencoba memperbaiki kesalahan yang hampir menghancurkan segalanya.

1
Bidan Sumari
ditunggu kaka...upnya
Bungatiem
Thor namanya ko Gonta ganti terus jadi bingung
sanpus: oke kk terima kasih sudah memperhatikan mungkin memang ada kesalahan pas nulis kemaren,hehehe🤭
total 1 replies
Bungatiem
nama nya yang benar yang mana sih Thor
sanpus: nama siapa?
total 1 replies
Reni Anjarwani
bagus bgt ceritanya doubel up thor
sanpus: heheh iya
total 1 replies
Reni Anjarwani
buat naya jatuh cinta pak dosen dan buat dia bahagia
sanpus: copy 😀
total 1 replies
Reni Anjarwani
lanjut thor
sanpus: siap🙏😅
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!