NovelToon NovelToon
Buddha Asura: Sang Pelindung Dharma

Buddha Asura: Sang Pelindung Dharma

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Epik Petualangan / Fantasi Timur / Balas Dendam
Popularitas:11k
Nilai: 5
Nama Author: Kokop Gann

Di puncak Gunung Awan Putih, Liang Wu hanya mengenal dua hal: suara lonceng pagi dan senyum gurunya. Ia percaya bahwa setiap nyawa berharga, bahkan iblis sekalipun pantas diberi kesempatan kedua.

Namun, kenaifan itu dibayar mahal. Ketika gurunya memberikan tempat berlindung kepada seorang pembunuh demi 'welas asih', neraka datang mengetuk pintu. Dalam satu malam, Liang Wu kehilangan segalanya: saudara seperguruan dan gurunya yang dipenggal oleh mereka yang menyebut diri 'Aliansi Ortodoks'.

Terkubur hidup-hidup di bawah reruntuhan kuil yang terbakar, Liang Wu menyadari satu kebenaran pahit: Doa tidak menghentikan pedang, dan welas asih tanpa kekuatan adalah bunuh diri.

Ia bangkit dari abu, bukan sebagai iblis, melainkan sebagai mimpi buruk yang jauh lebih mengerikan. Ia tidak membunuh karena benci. Ia membunuh untuk 'menyelamatkan'.

"Amitabha. Biarkan aku mengantar kalian ke neraka, agar dunia ini menjadi sedikit lebih bersih."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tanah Abu dan Besi

Perjalanan ke selatan memakan waktu satu bulan penuh.

Liang Wu tidak menggunakan jalan raya kekaisaran. Jalan itu penuh dengan pos pemeriksaan dan mata-mata Sekte Pedang Azure yang masih memburu "Hantu Gunung". Sebaliknya, dia menempuh jalan tikus, mendaki bukit terjal, dan menyeberangi sungai deras di malam hari.

Semakin ke selatan dia berjalan, semakin berubah wajah dunia.

Hutan hijau dan berkabut khas Provinsi Qing perlahan menghilang. Rumput menjadi kuning dan kering. Pohon-pohon menjadi jarang, digantikan oleh kaktus batu dan semak berduri.

Dan udaranya... udaranya mulai berasa logam.

Pada hari ketiga puluh dua, Liang Wu berdiri di atas punggung bukit perbatasan.

Di hadapannya, terbentang Provinsi Yan.

Pemandangan itu seperti lukisan neraka yang indah. Langit di sini tidak biru, melainkan abu-abu kemerahan karena asap vulkanik yang terus-menerus dimuntahkan oleh Gunung Api Napas Naga di kejauhan. Tanah di bawahnya berwarna hitam legam—pasir besi yang panas. Sungai-sungai tidak mengalirkan air jernih, melainkan lumpur panas yang mendesis.

"Panas..." gumam Liang Wu.

Dia menyeka keringat di dahinya. Bahkan Qi Emas di dalam tubuhnya terasa gelisah, merespons elemen api yang pekat di udara. Luka bakar di wajah kirinya terasa gatal, bereaksi terhadap belerang.

Liang Wu membetulkan letak capingnya dan topeng kulit barunya. Dia turun dari bukit, melangkah masuk ke wilayah Sekte Tungku Dewa dan bawahan-bawahannya.

Di kaki bukit, dia melihat sebuah pemandangan yang lazim di provinsi ini.

Sebuah konvoi panjang sedang bergerak lambat di jalan berdebu. Puluhan gerobak besar yang ditarik oleh Kerbau Api (binatang buas tingkat rendah) mengangkut bijih besi mentah.

Di samping gerobak, ratusan pria berjalan kaki dengan rantai di kaki mereka. Mereka kurus, kulit mereka terbakar matahari dan debu arang, punggung mereka penuh bekas cambukan.

Budak tambang.

"Cepat jalan, Anjing Malas!"

Seorang mandor bertubuh raksasa memecutkan cambuk api ke punggung seorang budak tua yang terjatuh.

CTAR!

Kulit punggung budak itu melepuh seketika. Dia menjerit, mencoba bangkit, tapi kakinya terlalu lemah.

"Ampun, Tuan... air... seteguk air..."

"Air itu mahal! Air hanya untuk mereka yang bekerja!" Mandor itu mengangkat cambuknya lagi, berniat memberikan pukulan mematikan.

Mata Liang Wu menyipit di balik caping. Tangannya bergerak ke arah pisau bedah di balik lengan bajunya.

Namun, sebelum dia bertindak, sebuah pikiran menahannya.

Dia melihat tangan mandor itu. Tangan itu besar, berkulit tebal seperti kulit badak, dan berwarna merah tembaga. Saat mandor itu mencengkeram gagang cambuk, kayu gagang itu berasap karena panas tubuhnya.

Itu adalah teknik Tangan Besi Merah. Teknik dasar penempaan tubuh.

Liang Wu melihat tangannya sendiri. Jari-jari kanannya masih sedikit kaku akibat pertarungan. Saat dia menggunakan Tapak Vajra dengan kekuatan penuh, tulang tangannya sendiri ikut retak karena tubuh fisiknya tidak sekuat energi yang dikeluarkannya.

Wadahku retak, batin Liang Wu. Aku punya Qi yang kuat karena kebencian, tapi tubuhku masih tubuh biksu yang makan sayur.

Jika dia ingin membunuh Duan—yang kini dilindungi Putri Kekaisaran. Liang Wu butuh tubuh yang tidak bisa dihancurkan.

Dia butuh tubuh sekeras besi.

Liang Wu menyimpan kembali pisaunya. Dia tidak menolong budak tua itu. Dia membiarkan mandor itu memukul sampai budak itu pingsan dan dilempar ke pinggir jalan seperti sampah.

Liang Wu berjalan mendekati konvoi itu, bukan sebagai pahlawan, tapi sebagai pencari kerja.

Dia mendekati gerobak paling belakang, di mana seorang pencatat sedang duduk malas di atas tumpukan bijih.

"Oy," panggil Liang Wu dengan suara serak.

Pencatat itu menoleh, matanya menilai penampilan Liang Wu yang lusuh tapi berotot. "Mau apa, Pengembara? Kalau mau minta air, pergi ke sungai lumpur sana."

"Aku butuh kerja," kata Liang Wu. "Dan aku butuh teknik untuk memperkuat kulit."

Pencatat itu tertawa terbahak-bahak. "Kau mau teknik? Kau pikir ini perpustakaan? Di sini, teknik ditukar dengan nyawa!"

Dia melempar sebuah lencana kayu kasar ke kaki Liang Wu.

"Sekte Besi Hitam—cabang bawahan Sekte Tungku Dewa—sedang butuh 'Umpan Tungku' baru di Kawah Selatan. Kerjanya sederhana: Mengambil 'Bunga Api' dari dalam gua magma. Kalau kau selamat sebulan, kau dapat mangkuk nasi dan teknik dasar kulit besi. Kalau kau mati... ya, kau jadi abu."

Liang Wu memungut lencana kayu itu. Terasa panas di tangannya.

"Umpan Tungku..." gumam Liang Wu.

Pekerjaan bunuh diri. Sempurna.

"Aku ambil," kata Liang Wu.

"Namamu?"

Liang Wu berpikir sejenak. Dia tidak bisa menggunakan nama 'Ah Wu' lagi di sini. Dia butuh nama yang keras. Nama yang tidak memiliki masa lalu.

Dia melihat ke arah pedang parang karatannya.

"Tie," jawabnya. "Panggil aku Tie (Besi)."

"Baiklah, Tie. Naik ke gerobak belakang. Selamat datang di neraka."

Liang Wu melompat naik ke atas tumpukan bijih besi yang tajam dan panas. Dia duduk bersila, membiarkan debu arang menutupi wajah dan topengnya.

Gerobak bergerak lagi, membawa Liang Wu semakin dalam ke jantung Provinsi Yan. Ke arah Kawah Besi Hitam.

Di sana, dia tidak akan hanya menempa besi.

Dia akan menempa dirinya sendiri menjadi senjata yang tidak bisa dipatahkan.

1
azizan zizan
jadi kuat kalau boleh kekuatan yang ia perolehi biar sampai tahap yang melampaui batas dunia yang ia berada baru keluar untuk balas semuanya ..
azizan zizan
murid yang naif apa gurunya yang naif Nih... kok kayak tolol gitu si gurunya... harap2 si murid bakal keluar dari tempat bodoh itu,, baik yaa itu bagus tapi jika tolol apa gunanya... keluar dari tempat itu...
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yeaaah 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Waooow 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Misi dimulai 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Cerita bagus...
Alurnya stabil...
Variatif
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Sukses 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Sapu bersih 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Hancurken 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yup yup yup 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Jlebz 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Rencana brilian 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Dicor langsung 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Bertambah kuat🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Semangat 🦀🍄
Wiji Lestari
busyet🤭
pembaca budiman
saking welas asihnya ampe bodoh wkwkwm ciri kas aliran putih di novel yuik liang ambil alih kuil jadiin aliran abu² di dunia🤭
syarif ibrahim
sudah mengenal jam kah, kenapa nggak pake... 🤔😁
Wiji Lestari
mhantap
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Keadilan yg tidak adil🦀🍄
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!