Ongoing
Lady Anastasia Zylph, seorang gadis muda yang dulu polos dan mudah dipercaya, bangkit kembali dari kematian yang direncanakan oleh saudaranya sendiri. Dengan kekuatan magis kehidupan yang baru muncul, Anastasia memutuskan untuk meninggalkan keluarganya yang jahat dan memulai hidup sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#18
Salju turun lebih padat dari biasanya malam itu, seolah langit berusaha menimbun benteng Utara di bawah gunung es. Dari sela jendela berwarna hitam keperakan, cahaya bulan yang pucat menyelinap masuk, memantulkan kilatan dingin pada dinding batu.
Keheningan itu terasa tidak wajar seperti ada sesuatu yang bergerak di baliknya. Anastasia berdiri di balkon kamar yang diberikan Aloric. Angin dingin menerpa rambut peraknya, tetapi tubuhnya tetap hangat—kekuatan sihir kehidupan di dalam dirinya membuat suhu beku bukan lagi musuh. Ia menatap ke bawah, ke arah pelataran benteng. Para prajurit berjaga dengan formasi ketat. Api pada obor berkedip tertiup angin, tapi tidak padam.
Suara langkah berat terdengar dari belakang. “Kau tidak seharusnya di luar malam-malam begini.” Anastasia menoleh. Aloric berdiri di ambang pintu, menjulang dengan jubah hitam berbulu salju. Aura dinginnya terasa menusuk, tapi suaranya… tidak sedingin biasanya. “Udara dingin tak lagi menggangguku, Yang Mulia,” jawab Anastasia pelan.
Aloric mendekat. Tatapannya turun ke tangan Anastasia yang memegang pagar besi berlapis frost. “Karena kekuatanmu.” Itu bukan pertanyaan. Anastasia mengangguk. “Sejak hari itu… sejak aku membangkitkanmu.”
Mata hitam Aloric tidak berkedip. Ia begitu dekat hingga Anastasia bisa membaui aroma salju dan logam pada dirinya. “Anastasia,” ucapnya akhirnya, suaranya rendah dan berat. “Kekuatanmu… bukan kekuatan biasa. Aku merasakannya menembus tubuhku saat kau menghidupkanku kembali. Itu bukan sihir penyembuhan biasa. Itu—”
“Tolong jangan bertanya terlalu jauh.” Anastasia memotong dengan suara sedikit gemetar. “Aku belum siap menjawabnya.” Hening. Angin malam menyusup di antara mereka. Aloric sebenarnya ingin mendesak. Itu bukan sifatnya menahan diri. Tapi untuk pertama kalinya, ia… mengekang. Untuk perempuan itu.
“Baik,” katanya akhirnya. “Tapi ketahuilah, semua hal di Utara yang tidak dipahami… suatu hari akan meminta harga.” Anastasia menunduk. Ia tahu itu benar. Ia juga tahu Aloric-lah harga terbesar yang harus ia bayar.
Malam yang sama, benteng gempar. Prajurit berlari-lari di lorong, derap sepatu menghantam batu. Anastasia baru saja hendak kembali ke kamar ketika suara dentuman keras terdengar dari arah lapangan latihan.
BRAAAAK!
“Apa itu?!” serunya. Seorang penjaga bergegas melewatinya, wajahnya tegang. “Lady Anastasia, tetap di dalam! Ada penyusup di sisi barat benteng!” Anastasia mengejarnya, tidak peduli. “Penyusup? Di tengah malam?”
“Ya. Tapi orang itu… tidak seperti manusia.” Perasaan dingin merambat naik di tulang belakang Anastasia. Ia berlari.
Lapangan latihan penuh dengan aura gelap yang berputar seperti asap. Beberapa prajurit terlempar ke dinding, tubuh mereka membeku seperti diselimuti es hitam. Aloric berdiri di tengahnya, pedangnya menyala dengan energi kehancuran. Napasnya beruap berat.
Di depan Aloric berdiri sosok berjubah hitam dengan simbol kerajaan di bahunya simbol yang telah diputar dan dicoret dengan tinta darah. Sihir Kegelapan. “Jadi rumor itu benar,” gumam Anastasia, terengah.
Pria berjubah itu menoleh, memperlihatkan mata merah menyala. “Ah… Lady yang membawa keajaiban Utara.” Suaranya berat dan melengking sekaligus, seperti dua suara tumpang tindih. Aloric mendengus. “Jangan sentuh dia.”
Penyusup itu terkekeh. “Duke Silas, kau tidak tahu apa pun. Kau dilahirkan untuk perang, tapi kau buta terhadap apa yang sedang terjadi di istana. Kekuatan Putra Mahkota jauh melampaui—”
“Diam.” Pedang Aloric menghantam lantai, retakan es membelah tanah. Keheningan mencekam. Kemudian… Penyusup itu melompat, melesat seperti bayangan hitam. Pertempuran meledak. Pedang Aloric bertabrakan dengan sihir gelap dalam percikan cahaya putih dan merah. Udara bergetar, serpihan es beterbangan seperti pisau-pisau kecil. “ALORIC!” Anastasia ingin mendekat.
“JANGAN DEKAT!” teriak Aloric tanpa menoleh. Tapi penyusup itu terlalu cepat. Bayangan hitam melesat melewati Aloric menuju Anastasia. Jantung Anastasia seakan meledak. Tubuhnya membeku sedetik.
Kemudian… sesuatu di dirinya pecah. Sihir kehidupan menyembur dari tubuhnya, membentuk lingkaran cahaya yang memukul mundur bayangan itu.
BLAAAAAAR!
Penyusup itu terpental beberapa meter. Untuk pertama kalinya, ekspresinya terkejut. “Cahaya… kehidupan…” bisik penyusup itu. “Kau… keturunannya…” Anastasia terdiam. “Keturunan… siapa?” Penyusup itu tidak menjawab. Aloric muncul di belakangnya dalam sekejap.
Tangan besar dan kuatnya meraih tengkuk penyusup dan menghantamkan tubuhnya ke tanah. Suara retakan tulang terdengar. “Siapa yang mengirimmu?” suara Aloric begitu rendah dan mengancam. Penyusup itu tidak bisa bergerak, tetapi bibirnya melengkung tipis. “Yang Mulia… Putra Mahkota… menginginkan Lady Anastasia.” Darah Anastasia membeku. Aloric membeku. Apa—?
“Kenapa Putra Mahkota menginginkan aku?” bisik Anastasia, hampir tidak terdengar. Penyusup itu tertawa kecil. “Karena kekuatanmu, tentu saja. Karena kau… bisa menghidupkan apa pun kembali. Bahkan masa depan yang ia inginkan.” Mata Aloric berubah gelap. Suara beku. “Kau sudah cukup bicara.” Dengan satu gerakan, ia menghantamkan gagang pedangnya dan membuat penyusup itu pingsan.
Beberapa saat kemudian, lapangan menjadi sunyi. Para prajurit membawa penyusup pergi. Anastasia berdiri di dekat Aloric, tubuhnya gemetar hebat. Bukan karena dingin tapi karena ketakutan. “Duke…” Suaranya pecah. Aloric tidak langsung menatapnya. Ia hanya berkata dengan nada yang tidak pernah Anastasia dengar sebelumnya bukan dingin, bukan marah.
Tapi… takut. “Mulai malam ini,” katanya pelan, “kau tidak boleh pergi dari sisiku.” Anastasia terdiam. “Kau akan tinggal di ruangku.” Suaranya tidak menerima penolakan. Bagai baja dingin. “Ini… demi keamananmu.” Anastasia menatapnya. “Atau demi apa yang bisa kulakukan?”
Aloric akhirnya menoleh. Tatapan mereka bertemu. Tidak ada kebohongan di mata hitam yang biasanya tak terbaca itu. “Demi kau.” Kata-katanya begitu sederhana. Tapi napas Anastasia terhenti. Ketakutan Aloric bukan pada musuh. Bukan pada perang. Tetapi pada kemungkinan… kehilangan dia. Untuk sesaat, wajah Aloric yang keras dan dingin itu tampak begitu manusiawi. Namun sebelum Anastasia sempat menjawab apa pun—
Suara trompet peringatan mengguncang benteng. Prajurit berteriak dari kejauhan
“LAPORAN DARURAT! PERBATASAN UTARA SELATAN DITUTUP TOTAL! PASUKAN PUTRA MAHKOTA BERGERAK MENUJU ARAH UTARA!” Dunia Anastasia dan Aloric retak dalam sekejap. Perang baru saja dimulai.