Cerita Mengenai Para Siswa SMA Jepang yang terpanggil ke dunia lain sebagai pahlawan, namun Zetsuya dikeluarkan karena dia dianggap memiliki role yang tidak berguna. Cerita ini mengikuti dua POV, yaitu Zetsuya dan Anggota Party Pahlawan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon A.K. Amrullah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lantai 10, Ogre Berserker
Setelah beristirahat, tim pahlawan kembali berkumpul. Persiapan dilakukan untuk menghadapi bos lantai 10, namun udara di antara mereka terasa berat, seolah ada kabut gelap yang menggantung di atas kepala semua orang.
Tidak ada yang benar-benar berbicara.
Hanabi duduk paling belakang, memegang busurnya seperti anak kecil memeluk boneka terakhir yang tersisa. Jemarinya gemetar. Nafasnya terdengar putus-putus. Sejak Hanzo mati, matanya seperti kehilangan cahaya.
Hanzo bukan siapa-siapa bagi sebagian orang. Tapi bagi Hanabi, Hanzo adalah jangkar yang menahannya agar tetap waras.
Dan jangkar itu kini sudah tenggelam.
Ryunosuke bersandar pada tembok, lengan terlipat seolah semua ini hanya beban kecil baginya. Namun kata-katanya kemudian menusuk semua yang mendengarnya.
"Heh. Ujung-ujungnya si ninja sampah itu mati juga. Dari awal aku sudah bilang dia beban."
Suara itu seperti belati.
Takeshi langsung menoleh dengan tatapan geram. Gojo mengepal tinju sampai buku jarinya putih. Tapi tidak ada yang menyerang. Mereka hanya menahan diri, meski amarah mendidih.
Hanabi tetap menunduk. Tidak membalas. Tidak bergerak. Hanya bahunya yang bergetar halus, seperti seseorang yang mencoba menahan tangis sampai tenggorokannya berdarah.
Rey hanya berkomentar singkat.
"Cukup, Ryunosuke. Kita fokus ke dungeon."
Lisa memalingkan wajah dari Ryunosuke, rahangnya mengeras. Dia tidak bicara, tetapi tatapan matanya menyayat.
Pintu besar lantai 10 pun terbuka.
Mereka memasuki ruangan luas dengan pilar-pilar raksasa menjulang seperti tengkorak purba. Di tengahnya berdiri makhluk mengerikan dengan kulit merah keras dan kapak besar berlumur darah kering.
Ogre Berserker. Level 42.
Pertempuran dimulai.
Kouji segera membagi barisan, mengatur garis depan, tengah, dan belakang. Formasi bergerak rapi, tapi dalam hati semua tahu energi mereka sudah tersedot sejak tragedi lantai 5. Mana menipis. Fokus terpecah. Trauma masih membekas.
Namun mereka tetap bertarung.
Pedang beradu, sihir meledak, anak panah meluncur.
Satu Ogre tumbang.
Ryunosuke tertawa.
"Hah! Segitu doang? Mudah sekali. Monster sampah."
Dan seolah kata-katanya memanggil bencana...
Lima Ogre Berserker lainnya keluar dari balik bayangan.
Tidak menunggu, tidak memberi jeda.
Mereka mengaum, mata terbakar seperti bara neraka.
Takeshi menjerit panik, tubuhnya bergetar. Akari mundur dengan wajah pucat. Para mage mulai putus asa.
Yui terjatuh. Nafasnya pendek.
"Aku... sudah tidak punya mana..."
Shimizu Akari mencoba menyalakan api, tapi hanya percikan kecil yang keluar.
Ini bukan pertarungan. Ini pembantaian.
Honoka berusaha menyembuhkan luka, tapi tangannya gemetar keras. Shirai Haruka hampir putus suara memanggil buff terakhirnya. Hikari kehilangan fokus, pupil matanya menyempit karena ketakutan.
Hanabi hampir tidak bisa menarik busur. Setiap kali dia mengingat wajah Hanzo yang terakhir dilihatnya, kekuatan lututnya hilang.
Dan Ryunosuke, yang barusan sombong, kini menatap lima Ogre itu dengan wajah pucat seperti kain kapur.
"Sial... ini... ini tidak mungkin..."
Lalu malapetaka datang seperti mimpi buruk yang direncanakan dewa kejam.
Suara tulang remuk terdengar sangat jelas.
Palu Ogre menghantam Nagasawa Sai. Tubuhnya melipat seperti boneka. Kapak lain langsung membelahnya tanpa jeda.
Satu detik. Satu tebasan. Satu nyawa hilang.
Tidak tersisa tubuh. Tidak ada untuk dikubur.
Keheningan menyelimuti semua.
"SAI!!!" Yamada Shin menjerit seperti binatang terluka. "Jangan bercanda... jangan bercanda..." Hikari menutup mulut, air mata jatuh tanpa disadari.
Tomoe berteriak mental.
"Kita harus lari! Kita akan mati di sini!"
Honoka berlutut, nafas terputus.
"Kenapa... kenapa seperti ini..."
Ryunosuke masih terpaku, tapi aura sombongnya hilang.
(Ini salah siapa? Salahku? Tidak mungkin. Tidak mungkin aku salah. Tidak mungkin aku lemah.)
Mereka harus memilih mati bersama atau melawan meski sia-sia.
Saat itu Rey dan Lisa akhirnya turun tangan.
Logam bertemu logam. Rey menahan kapak raksasa dengan satu tebasan yang menciptakan badai tekanan udara. Lisa membekukan tanah, memperlambat laju lima Ogre sekaligus.
Hanabi menatap mereka dengan mata yang terbakar marah.
Dan panah itu dilepaskan.
Bukan ke Ogre.
Tapi ke Lisa.
Darah mengalir. Lisa mundur selangkah.
Semua terkejut.
Hanabi hanya berdiri, bibirnya bergetar hebat.
"Ini salah kalian. Kalau kalian turun dari awal... Hanzo tidak akan mati. Sai tidak akan mati."
Lisa menahan luka sambil menatap lurus, tajam, menusuk balik.
"Jadi itu alasanmu? Menyalahkan orang lain karena kau tidak bisa menerima kehilangan?"
Hanabi menggigit bibir sampai berdarah.
"Kalau kalian mau, kalian bisa menyelamatkan mereka. Tapi kalian hanya melihat. Hanya diam. Menunggu!"
Rey maju selangkah, suaranya rendah tapi tajam seperti bilah dingin.
"Kau menyerang rekanmu sendiri. Sasaki Hanabi... mulai saat ini, kau dikeluarkan dari tim pahlawan."
Sena membeku, mata hijau bergetar.
"Hanabi... kau biasanya tenang. Kenapa seperti ini..."
Tapi Hanabi hanya membalas dengan lirikan kosong. Tidak menyesal. Hanya hancur.
"Terserah kalian."
Dia pergi tanpa menoleh.
Meninggalkan darah. Meninggalkan mayat. Meninggalkan kenangan terakhir Hanzo.
Dan Ryunosuke, dengan suara rendah penuh kesal dan penyesalan samar yang ia tutup-tutupi, hanya menyeringai pahit.
"Tsk. Dari awal dia seharusnya disingkirkan saja."
Kouji menarik napas keras.
"Fokus. Hanabi pengkhianat. Tidak ada waktu untuk drama. Kalau kita goyah, kita semua mati."
Rey mengangkat pedang.
"Perlahan atau cepat... kita akan berakhir sama seperti mereka jika kehilangan fokus."
Tidak ada yang membalas.
Tidak ada yang optimis.
Mereka hanya kembali mengangkat senjata, dengan hati yang jauh lebih berat dibanding sebelum memasuki dungeon ini.
Dan lantai 10 pun menjadi kuburan.
Kouji melangkah ke depan, memandang ke arah enam Ogre Berserker yang masih berdiri tegak, menunggu mangsa berikutnya.
"Bersiaplah! Kita harus menutup pertempuran ini sekarang juga!"
Dan setelah pertarungan yang panjang menghancurkan stamina serta mana mereka,
Enam Ogre Berserker yang awalnya membuat seluruh tim ketakutan... kini hanya tersisa satu.
Kouji berdiri di depan barisan, pedangnya bersinar dengan aura suci. Tubuhnya goyah, tetapi tatapannya masih tajam dan penuh tekad.
Lisa mengibaskan rambutnya yang sudah kacau, pedangnya berlumur darah monster. Napasnya teratur, percaya diri.
Rey menancapkan greatsword-nya ke tanah dan menarik napas panjang, armor penyok, tubuh memar, tapi tidak ada sedikit pun ketakutan.
Sena membalik pedangnya dengan elegan, darah Ogre menetes di ujung bilah. Teknik pedangnya indah dan terlatih.
Akari, tangan masih menyala api. Ogre terakhir yang ia bakar tadi masih mengepulkan asap hitam.
Kini hanya satu Ogre tersisa.
Monster itu menggeram dalam amarah, matanya penuh kebencian. Sedikit pun tak tampak ragu meskipun lima rekannya telah tumbang.
Kouji mengangkat pedangnya tinggi.
"Yang terakhir!"
Raungan Ogre itu menggema keras, begitu kuat hingga seluruh tim terkena efek stun. Tubuh mereka berat, sulit bergerak.
Mata Ogre menyala merah. Ia meraih mayat teman-temannya, lalu,
CRUNCH!
CRACK!
Tulang menghancur di mulutnya. Daging disobek, darah mengalir, suara mengerikan memenuhi dungeon.
Lalu tubuhnya berubah.
Tingginya naik hampir dua kali lipat.
Otot menggembung.
Dua tangan tambahan muncul, lalu dua lagi, dan dua lagi.
Delapan tangan.
Delapan senjata.
Taring memanjang, meneteskan liur beracun. Aura hitam membeludak.
Saat stun memudar, Hajime, Strategist tim, segera mengaktifkan skillnya.
[Appraisal Activated]
[Target: Ogre Berserker (Mutated)]
[Level: 150]
Wajah Hajime langsung pucat.
"Sial... ini bukan Ogre biasa lagi... LEVEL NYA 150!"
Seluruh tim terbelalak.
"APA?!"
Mereka baru saja selamat dari lima Ogre biasa dengan susah payah, sekarang muncul monster lvl 150?
Rey mengangkat greatsword birunya. Lisa mengangkat tongkat sihir, dikelilingi aura ungu yang berdenyut.
Sena melangkah maju, mata penuh tekad, pedang bersinar dingin.
"Aku akan membantu!"
"Jangan gegabah, Putri!" Rey menegur, tapi ia tahu Sena tidak akan mundur.
Di belakang mereka, hanya Kouji dan Takeshi yang masih stabil berdiri.
Mage dan support sudah habis mana.
Yang lain kelelahan.
Rey menggenggam pedangnya lebih kuat.
"Baiklah... kita hanya punya satu kesempatan."
Lisa mengangguk.
"Serang bersama!"
Kouji maju, pedang terangkat tinggi.
"HOLY SLASH!"
Tebasan cahaya suci raksasa menerjang udara, menghantam Ogre Mutated secara langsung. Daging monster terbelah, luka bersinar keemasan membakar dari dalam.
Raungan keras memecah dungeon.
Ogre mundur beberapa langkah, tubuhnya berasap.
Namun mana Kouji terkuras total. Napasnya acak, kakinya goyah.
"Urgh... sial..."
Tubuhnya roboh tak sadarkan diri.
"Kouji!!"
Takeshi segera menarik tubuhnya ke belakang.
Rey mengamuk.
Tebasannya cepat dan berat, bertubi-tubi, menghancurkan daging Ogre. Lisa membantu, Es membekukan dua tangan monster, Light Magic meledak di wajahnya, lalu Fire Magic menghancurkan salah satu kakinya hingga Ogre berlutut.
Saat monster itu tersudut,
Sena melesat maju.
Tekniknya presisi, setiap ayunan menusuk titik vital. Ia menari dalam badai darah.
"Jangan beri dia kesempatan!" Rey berteriak.
Namun tepat saat ia hendak mengakhiri monster,
Tubuhnya menjadi lebih lemah. Serangan balasan Ogre yang seharusnya ringan justru melempar Rey jauh.
"A-ARGH!! Kenapa jadi kuat tiba-tiba?!"
Lisa dan Sena terkejut.
Kaede di belakang hanya diam, kepala menunduk.
Tidak ada yang sadar,
(‘Minus Armor berhasil.’)
Ekspresinya datar. Ia menyembunyikan rasa puasnya.
"Rey! Kau baik baik saja?!"
"Tsk... Aku... Aku masih bisa bertarung!"
Sena menerjang, pedang menari satu ayunan indah
"HAAAAH!"
Crack, kepala Ogre terbang.
Dungeon Boss Lantai 10 tumbang.
Tapi Rey jatuh ke tanah. Tangan dan kaki tak bisa digerakkan. Luka internal parah.
"Rey! Jangan bergerak!" Lisa panik.
Honoka melakukan healing, wajahnya tegang.
"Tulangnya patah..."
Para pahlawan saling berpandangan pucat, salah satu yang terkuat kini hampir hancur.
Kaede tetap diam. Seolah tak bersalah.