NovelToon NovelToon
TUMBAL TERAKHIR

TUMBAL TERAKHIR

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Horor / Iblis / Fantasi Timur
Popularitas:447
Nilai: 5
Nama Author: pena biru123

Ini adalah kisah wanita bernama Ratih, yang pulang dari merantau tiga tahun yang lalu, dia berniat ingin memberi kejutan pada neneknya yang tinggal disana, namun tanpa dia ketahui desa itu adalah awal dari kisah yang akan merubah seluruh hidup nya

bagaimana kisah selanjutnya, ayok kita baca

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pena biru123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18

Begitu langkah pertama menginjak Lembah Bayangan yang bergema, dingin yang menusuk dari Pegunungan Kaca terasa seperti sapaan ramah dibandingkan dengan hawa yang menyelimuti mereka sekarang. Ini adalah jenis dingin yang merayap di bawah kulit, bukan hanya membekukan darah, tetapi juga menghisap harapan. Liontin Api Biru di tangan Ratih, yang sebelumnya bersinar terang melawan salju, kini terasa meredup, seolah kekuatannya tersedot oleh kabut abu-abu kehijauan.

Bisikan-bisikan—"Gema" yang disebut Aria—bukanlah sekadar suara. Itu adalah potongan-potongan pikiran putus asa, ketakutan yang menjerit, dan keputusasaan yang tertanam di udara itu sendiri.

"Kau tak akan menemukannya..." "Semua akan berakhir di sini..." "Mati... biarkan saja mati..."

Ratih menggertakkan giginya. "Abaikan gema itu. Itu hanya trik Penguasa Kegelapan untuk memecah fokus kita."

Mereka bergerak di bawah langit yang tidak pernah benar-benar fajar, hanya diselimuti warna kelabu kotor. Di sekeliling, pepohonan mati berdiri seperti kerangka yang melukiskan ketakutan. Wijaya, yang memimpin dengan indra pejuangnya, tiba-tiba mengangkat tangan.

"Berhenti. Ada yang tidak beres," bisiknya, suaranya serak.

Jaring. Ratih melihatnya. Bukan jaring laba-laba biasa, tetapi jalinan serat abu-abu tebal yang memancarkan kilau minyak, membentang di antara pepohonan seperti tirai kusam. Serat itu begitu padat hingga hampir menyatu dengan kabut.

"Laba-laba yang menari," gumam Ratih, teringat peringatan Luna.

Tiba-tiba, Aria menarik napas tajam dan menunjuk ke atas. Di dahan pohon layu yang besar, menggantung sebuah bentuk. Itu adalah Bolu, boneka kain Dara, tetapi sekarang ditutupi lapisan serat yang berkilauan.

"Bolu!" Dara hampir berteriak, tetapi Jaya sigap menutup mulutnya.

Dari kegelapan di balik pohon, muncul monster itu. Ia bukan sekadar laba-laba. Tubuhnya sebesar seekor kuda nil, ditutupi cangkang gelap yang tampak seperti kaca retak. Delapan kakinya yang panjang dan kurus, diakhiri dengan cakar-cakar yang mengilat, menyentuh tanah dengan gerakan yang anehnya anggun—menari, seperti yang diperingatkan Luna. Namun, hal yang paling mengerikan adalah wajahnya: bukan mata majemuk yang khas, melainkan satu mata besar di tengah, memancarkan cahaya ungu samar, dan di bawahnya, dua taring raksasa yang meneteskan cairan kental berwarna hijau lumut. Arachne Penenun Malam.

Wijaya mengacungkan pedangnya. "Aku akan memotongnya jaring-jaring nya, Kalian ambil Bolu!" Perintahnya.

"Tidak, Wijaya, jangan sentuh jaringnya!" teriak Ratih. "Jaring itu pasti beracun atau melumpuhkan! Kita tidak tau apa yang akan terjadi, tapi pikirkan cara lain"

Arachne itu mengeluarkan suara klik tajam, seperti tulang yang beradu. Dengan kecepatan yang tak terduga, ia melompat maju, menembakkan benang serat dari perutnya yang kembung.

"Ratih, rencanamu!" desak Aria, mengayunkan belatinya untuk membelokkan satu utas jaring yang melesat ke arah Dara.

Ratih memejamkan mata, api birunya menyala kembali dengan tekad. Ia ingat pelajaran dari Sang Penjaga: Api Biru tidak membakar benda, ia membakar energi.

"Jaya, Wijaya! Arahkan dia menjauh dari Bolu! Aria, lindungi Dara! Aku akan membersihkan jalannya!"

Wijaya dan Jaya melompat, pedang mereka mengiris udara. Mereka tidak menyerang monster itu, melainkan mengalihkan perhatian nya agar menjauh, mereka berlari dalam pola zig-zag di antara kabut mengecoh laba-laba monster itu.

Arachne Penenun malam ( itu adalah sebutan pada monster laba-laba ) mengikuti mereka, kakinya yang menari bergerak cepat, meninggalkan jejak cairan lengket di tanah. Ia mengeluarkan suara desisan yang mengerikan saat menyadari rombongan itu tidak takut padanya.

Sementara monster itu teralih, Ratih melangkah maju. Ia mengangkat tangan kanannya, dan Api Biru di liontinnya melonjak, tidak dalam bentuk bola api, tetapi sebagai gelombang energi murni.

Ia menyentuh jaring tebal yang menjerat Bolu. Bukannya terbakar, serat itu langsung layu. Energi yang menahannya, sifat melumpuhkannya, lenyap, dan seratnya hancur menjadi debu abu-abu.

"Dara! Ambil Bolu! Cepat!"

Dara berlari, wajahnya pucat, tetapi tekad untuk menyelamatkan bonekanya lebih besar dari rasa takut. Ia meraih Bolu, yang terasa dingin dan kaku, dan segera kembali ke barisan belakang.

Pada saat yang sama, Wijaya melakukan putaran tajam, mengayunkan pedangnya ke kaki Arachne. Kaki itu terluka, tetapi tidak terputus. Cairan hijau beracun menyembur keluar, dan Arachne menjerit dengan suara yang menggema—jeritan yang penuh dengan gema ketakutan dari Lembah itu sendiri.

"Pergi! Aku akan menahan sebentar!" teriak Wijaya.

"Tidak! Kita bersama!" balas Ratih, kini mengarahkan Api Birunya ke tanah, menciptakan dinding asap biru tipis yang menghalangi pandangan Arachne. "Lari! Ikuti aku!"

Mereka berlari secepat mungkin, napas mereka terengah-engah, bau cairan hijau Arachne masih menusuk hidung mereka. Mereka terus dikejar oleh Arachne itu, dia bagaikan monster yang kelaparan menatap pada rombongan Ratih.

Setelah beberapa saat berlari , kini mereka berhenti di balik formasi batu hitam yang terasa dingin dan kasar.

"Kita... kita berhasil," kata Jaya, terengah-engah, memeluk lengan Wijaya.

"Belum," sela Aria, matanya tajam. "Penguasa tidak akan mengirim hanya satu bidak."

Tiba-tiba, kabut di depan mereka mulai berputar, membentuk pusaran kegelapan yang pekat. Dari pusaran itu, terdengar tawa yang dingin dan tajam, tawa yang mampu memekakkan telinga serta sangat menyeramkan.

Di tengah pusaran itu, muncul sesosok Bayangan. Ia tinggi, diselimuti jubah yang terbuat dari kegelapan yang bergerak-gerak, dan di tangannya, ia memegang tongkat dari tulang yang berkilauan. Wajahnya tidak terlihat, hanya ketiadaan yang berbentuk mata merah menyala, dua lubang api murni yang menatap lurus ke arah Ratih. Sang Penguasa Kegelapan tidak repot-repot menyembunyikan dirinya.

"Api Merah," suara Sang Penguasa berbisik, tetapi bergema di setiap sudut Lembah. "Kau berani menginjakkan kaki diwilayahku, bearti kau sudah siap aku habis* " teriak nya.

Ratih melangkah maju dengan wajah datar dan dingin, ada kegugupan dalam hatinya, dan rasa takut, dia mencoba mengengam leotin nya dengan tangan kanannya, seolah dia merasa tenang dengan itu. "Di mana Kael? Kami tahu dia ada di sini!" Ucap Ratih lantang.

Tawa itu kembali, kali ini lebih dingin. "Kael? Oh, bidak kecilku yang baru. Dia sedang beristirahat. Beristirahat sebelum aku mengubahnya menjadi sesuatu yang .. lebih berguna."

Bayangan itu mengayunkan tongkat tulangnya. Batu-batu hitam di sekitar mereka bergetar, dan dari celah-celah tanah, muncul tangan-tangan kurus berwarna putih pucat, seperti akar busuk, mencoba menjerat kaki mereka.

"Kau tidak akan mengubahnya, dia adalah teman kami sekarang!" seru Ratih, memancarkan gelombang api biru yang membakar tangan-tangan itu menjadi debu.

"Begitu impulsif," cibir Sang Penguasa. "Kau pikir kehangatanmu yang lembut bisa melawanku? Aku adalah ketiadaan, kebalikannya dari hidup! Dan aku telah menciptakan hadiah untukmu."

Di belakang Sang Penguasa, kabut terbuka lagi. Kali ini, ia memperlihatkan sebuah ruang lapang di mana ratusan bentuk menggantung di udara. Itu adalah orang-orang dan makhluk yang diculik, tergantung tak berdaya, terbungkus serat hitam tebal, menyerupai kepompong.

Dan di tengah-tengah semua itu, ada Kael. Ia tergantung di sana, tubuhnya yang gagah terbungkus jaring hitam yang sama, liontin pelindungnya yang dulu bersinar kini redup. Di sekelilingnya, Bayangan lain mulai berputar, seolah sedang melakukan ritual mengerikan.

"Lepaskan dia!" perintah Ratih.

"Coba saja ambil," tantang Sang Penguasa Kegelapan. "Tapi ingat, Ratih. Jika kau bergerak ke sini, jaring-jaring itu—yang kini terisi penuh dengan ketakutan mereka—akan meledak, menghancurkanmu dan kawanmu Kael menjadi serpihan jiwa. Kau harus memilih. Menyelamatkan dirimu, atau menyaksikan kehancuran kawanmu, yang saat ini berada di ambang transformasi. Tik... tok..."

Ratih menoleh ke arah teman-temannya. Wajah Wijaya dan Jaya keras, Aria memegang belati dengan cengkeraman putih, dan Dara memeluk Bolu, air matanya jatuh tanpa suara. Mereka terperangkap. Pilihan Ratih adalah hidupnya, atau harapan terakhir untuk menyelamatkan Kael.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!