Pernikahan Adelia dan Reno terlihat sempurna, namun kegagalan memiliki anak menciptakan kekosongan. Adelia sibuk pada karir dan pengobatan, membuat Reno merasa terasing.
Tepat di tengah keretakan itu, datanglah Saskia, kakak kandung Adelia. Seorang wanita alim dan anti-laki-laki, ia datang menumpang untuk menenangkan diri dari trauma masa lalu.
Di bawah atap yang sama, Reno menemukan sandaran hati pada Saskia, perhatian yang tak lagi ia dapatkan dari istrinya. Hubungan ipar yang polos berubah menjadi keintiman terlarang.
Pengkhianatan yang dibungkus kesucian itu berujung pada sentuhan sensual yang sangat disembunyikan. Adelia harus menghadapi kenyataan pahit: Suaminya direbut oleh kakak kandungnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini Nuraenii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Malam bersepakat dengan sunyi,
Mengukir janji di lantai dingin apartemen.
Dua jiwa terikat oleh benih yang tersembunyi,
Memilih neraka bersama demi surga orang lain.
Cinta menjadi pagar, dosa menjadi perisai,
Demi seorang wanita yang terlelap dalam buta.
Pesan pengkhianatan telah terkirim.
Malam itu, di tengah ibu kota yang lelap, Reno berdiri di ambang pintu, bersiap melangkahkan kaki keluar dari rumahnya. Ia bukan sedang mengejar bisnis ia sedang melarikan diri dari kesetiaan, menuju sebuah janji yang diselimuti dosa.
Adelia tidur nyenyak, memegang bantal di sisinya, tak menyadari bahwa ketiadaan suaminya adalah kebenaran yang lebih mengerikan daripada mimpi buruk mana pun.
Reno berpakaian serba hitam. Ia telah meninggalkan pesan singkat di meja samping tempat tidur, menjelaskan bahwa urusan mendadak di luar ibu kota menuntutnya pergi tengah malam. Ia mencium kening Adelia ciuman yang terasa dingin, seperti logam yang berkarat sebagai perpisahan dan permintaan maaf yang tak terucapkan.
Keluar dari rumah, ia memilih mengendarai mobilnya sendiri, menghindari supir yang terlalu banyak tahu. Perjalanan menuju apartemen studio Saskia terasa seperti perjalanan menuju pusat gempa. Setiap lampu merah, setiap jalan sepi, adalah kesempatan untuknya menarik napas dari tekanan yang mencekik.
Ia tiba di apartemen studio itu. Bangunan baru itu sunyi dan dingin. Reno naik ke lantai atas, jantungnya berdegup seperti genderang perang.
Saskia membuka pintu.
Wajahnya pucat pasi. Ia mengenakan sweater tebal, seolah ingin menyembunyikan kenyataan yang kini menetap di tubuhnya. Ia tidak lagi memancarkan kehangatan seorang kekasih ia adalah seorang korban yang menyambut algojonya.
Reno menutup pintu, menguncinya, dan segera memeluk Saskia. Pelukan itu bukan lagi hasrat, melainkan kebutuhan mendesak untuk berbagi ketakutan yang mencekik.
"Aku takut, Reno," bisik Saskia, tubuhnya bergetar. "Aku merasa seperti tanah yang menahan air bah."
"Aku tahu, Kak. Aku juga takut. Tapi kita harus kuat. Kita punya waktu satu jam. Duduk."
Mereka duduk di lantai kayu yang dingin, di tengah ruangan yang hanya dihiasi dua kardus dan janji yang baru lahir.
Reno mulai dengan suara rendah dan teratur, menggunakan tone bisnis yang biasa ia gunakan untuk mengambil keputusan besar.
"Kita sudah tahu faktanya. Hamil," kata Reno,
menyebut kata itu dengan pahit. "Janin ini adalah sumbu yang menyalakan dinamit."
"Kita hanya punya tiga pilihan. Tidak ada yang indah, Kak. Semuanya neraka."
Reno mengangkat tiga jari.
"Pertama, pengakuan. Aku katakan pada Sayang sekarang juga. Kita berdua akan hancur.
Keluargamu hancur. Karierku hancur. Adelia..." Reno terdiam, tidak sanggup melanjutkan.
"Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkannya," potong Saskia, suaranya dingin dan tegas. "Pilihan itu mati dan terkubur di malam itu. Aku tidak akan membiarkan Sayang menjadi debu karena keegoisan kita."
Reno mengangguk. "Kedua, mengakhiri kehamilan."
Saskia mundur seketika. Matanya memancarkan horor yang sesungguhnya. "Jangan pernah sebutkan itu lagi, Reno! Ini adalah darah dagingku, buah dari kebodohan terbesarku, tapi aku tidak akan membunuhnya! Aku sudah terlalu banyak menanggung dosa, aku tidak mau menjadi seorang pembunuh."
Reno menunduk, ia merasakan rasa lega yang pahit. Ia juga tidak ingin membunuh anaknya.
"Baik," kata Reno, suaranya mengendur. "Tersisa pilihan ketiga. Penyembunyian. Kamu akan membesarkannya sendirian. Kita harus menciptakan alibi yang sempurna."
Saskia mendengarkan, wajahnya ditekuk oleh rasa sakit.
"Kamu harus pergi dari ibu kota untuk sementara waktu. Pindah ke tempat yang jauh. Kamu harus mengatakan pada Adelia dan semua orang bahwa janin ini adalah... adalah anak dari mantan kekasih di masa lalu yang baru kamu temui lagi saat kamu berada di pinggiran kota.
" Reno menghela napas. "Kamu hamil sebelum kamu pindah kemari, Kak. Itu harus menjadi ceritanya. Sebuah dongeng yang akan menyelamatkan kita semua."
Saskia menatap kosong pada tembok. "Dan kamu? Kamu akan datang, mengunjungi anakmu sebagai... sebagai apa?"
"Sebagai paman yang baik. Atau aku akan datang secara rahasia. Aku akan menanggung semua biaya. Aku akan menjadi ayah bayangan, yang hanya hidup dalam rahasia.
" Reno meraih tangan Saskia. "Ini satu-satunya cara kita bisa menyelamatkan Adelia, menyelamatkan karierku, dan yang terpenting, menyelamatkan janin ini."
Saskia memejamkan mata, membiarkan air mata mengalir. Alibi itu terdengar mengerikan, tetapi itu adalah jalan keluar paling tidak destruktif bagi Adelia.
"Aku akan melakukannya," bisik Saskia. "Aku akan pergi dari ibu kota dan membangun cerita itu. Tapi ada satu syarat, Reno."
Reno menatapnya tajam.
"Kamu harus kembali pada Sayang. Kamu harus menjadi suami yang sempurna. Kamu tidak boleh menyentuhku lagi. Kamu hanya boleh datang untuk anak kita. Jangan pernah mencariku sebagai kekasih, Reno. Perjanjian kita adalah tentang janin ini, bukan tentang dosa kita yang sudah mati. Jauhkan aku dari nerakamu."
Penolakan Saskia kali ini terasa seperti besi panas yang dicap ke jiwanya. Ia mendapatkan anaknya, tetapi ia kehilangan Saskia selamanya.
"Aku janji, Kak," jawab Reno, suaranya serak. "Aku akan menjadi suami yang terbaik bagi Adelia. Aku akan melupakan malam itu. Demi anak kita, dan demi Adelia."
Mereka berdua berdiri. Perjanjian itu telah terukir. Perpisahan kali ini adalah perpisahan yang abadi.
Reno memeluk Saskia untuk kali terakhir pelukan perpisahan yang terberat, pelukan yang diselimuti kesepakatan dosa.
Reno meninggalkan apartemen studio itu sekitar pukul 03.30 pagi, membawa beban janin yang disembunyikan dan janji yang membelenggu.
Ia mengemudi kembali ke rumah dengan kecepatan tinggi, berusaha tiba sebelum fajar. Di tengah fokusnya, ia nyaris tidak menyadari ketika ia secara tidak sengaja mengemudikan ban mobilnya melalui genangan lumpur kecil di pinggiran jalan sebelum memasuki area perumahannya. Lumpur itu adalah sidik jari kebohongan.
Reno memarkir mobilnya di garasi. Ia menyelinap masuk ke kamar, berganti pakaian, dan berbaring di samping Adelia, berpura-pura baru saja kembali. Adelia menggeliat, tapi tidak terbangun sepenuhnya.
Di luar, fajar mulai menyingsing.
Adelia akhirnya bangun dan melihat Reno di sisinya.
"Mas! Kamu sudah kembali? Bagaimana urusan di luar ibu kota?" tanya Adelia, suaranya mengantuk.
"Sudah, Sayang. Sudah selesai," jawab Reno, memeluk Adelia erat.
"Aku sangat merindukanmu, seperti seorang musafir merindukan rumahnya yang sah. Aku sangat lelah. Ayo kita tidur sebentar."
Saat Adelia beranjak ke kamar mandi, Reno menyelinap ke garasi untuk memastikan semuanya aman. Ia melihat sepatu boots kulitnya, yang ia gunakan saat menyelinap keluar.
Sepatu itu bersih. Tapi saat ia menoleh ke arah mobilnya, ia melihat detail kecil ada cipratan lumpur kecoklatan tipis di bagian bawah ban mobil, lumpur yang kering dan baru. Lumpur itu terlihat khas, seperti lumpur tanah merah yang ada di daerah pinggiran kota atau lokasi proyek yang ia kunjungi.
Reno panik, tetapi ia tidak punya waktu untuk membersihkannya. Ia hanya bisa berdoa Del tidak akan pernah memerhatikan detail kecil dan tidak penting itu.
Namun, beberapa jam kemudian, saat Adelia sibuk mencari barang di bagasi mobil Reno sebelum mereka pergi, matanya yang tajam tanpa sengaja menangkap noda lumpur kering di ban mobil yang seharusnya bersih setelah perjalanan jauh. Adelia mengerutkan kening.
Lumpur ini terlihat seperti lumpur di sekitar proyek pembangunan perumahan pinggiran kota.
Mas Reno bilang dia terbang ke luar pulau. Kenapa ada lumpur ini di ban mobilnya?
Adelia menggeleng, menganggapnya hanya kesalahan kecil.
Tapi jejak itu, noda lumpur kering itu, kini telah tertanam di memorinya. Kecurigaan kecil Reno yang seharusnya hilang, kini memiliki bukti fisik yang dingin.