Sudah 12 tahun sejak Chesna Castella Abram tidak lagi pernah bertemu dengan teman dekatnya saat SMA, Gideon Sanggana. Kala itu, Gideon harus meninggalkan tanah air untuk melakukan pengobatan di luar negeri karena kecelakaan yang menimpanya membuat ia kehilangan penglihatan dan kakinya lumpuh, membuatnya merasa malu bertemu semua orang, terutama Chesna. Di tahun ke 12, saat ia kini berusia 27 tahun, Gideon kembali ke tanah air, meski kakinya belum pulih sepenuhnya tapi penglihatannya telah kembali. Di sisi lain, Alan saudara kembar Chesna - pun memiliki luka sekaligus hasrat mengandung amarah tak terbendung terhadap masa lalunya sejak lima tahun silam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Sore itu suasana klinik sedikit lebih ramai dari biasanya. Para perawat berbisik-bisik, menyebut nama yang cukup dikenal di kalangan bisnis, Tuan Gideon Sanggana. Sudah berbulan-bulan pria itu tidak pernah muncul.
Chesna, yang baru saja selesai menangani pasien, tertegun ketika mendengar nama itu dari asisten pribadinya. “Tuan Sanggana… minta jadwal pemeriksaan, Dok,” ucap Lidya hati-hati.
Sejenak, Chesna terpaku. Ia menatap berkas di tangannya, menimbang harus menolak atau menyambut. Tapi akhirnya ia mengangguk, menata napasnya.
“Baik. Persiapkan ruang pemeriksaan tiga.”
Tak lama kemudian, pintu terbuka.
Gideon masuk, mengenakan kemeja putih rapi dan tongkat hitam di tangan kanannya. Tatapannya datar, tenang, seolah kedatangannya hanya urusan medis.
“Pagi dokter,” sapanya pelan, datar namun cukup untuk membuat dada Chesna bergetar.
“Ya,” jawab Chesna, berusaha menjaga nada profesional. “Silakan duduk, Tuan Sanggana. Saya akan lihat hasil pemindaian terakhir Anda.”
Ia membuka berkas rekam medis. Gideon memperhatikannya diam-diam, wajah itu masih sama, lembut dan teliti.
“Saya pikir Anda tak akan memeriksakan kondisi kaki Anda ke klinik ini,” ujar Chesna tanpa menatap, pura-pura sibuk memeriksa hasil MRI di layar.
Gideon mengangkat alis, suaranya tenang tapi mengandung nada tajam.
“Sebelumnya saya pikir juga begitu. Tapi kaki saya tertarik untuk mencoba sejauh apa profesional dokter saraf disini.”
Chesna terdiam, tak tahu harus tersenyum atau tersindir. “Berarti ini bentuk kepercayaan… atau coba-coba?”
“Entahlah.” Gideon menatap lurus ke arah depan. “Mungkin keduanya.”
Keheningan menggantung. Hanya suara jam dinding dan detak halus alat medis yang terdengar.
Dalam hatinya, Chesna ingin bertanya banyak hal? Tapi bibirnya memilih diam.
Sementara Gideon, di balik wajah dingin itu, menahan dorongan untuk sekadar berkata, aku tidak pernah berhenti memikirkanmu. Tapi apa gunanya? Bagi dunia, ia hanyalah pria cacat dengan tongkat, bukan pria yang pantas mengulang masa lalu. Tapi berada di de sekitar Chesna, adalah kebahagiaan besar untuknya.
“Baiklah,” ujar Chesna akhirnya. “Mari kita mulai pemeriksaannya, Tuan Sanggana.”
Chesna mempersilakan Gideon duduk di ranjang periksa, lalu berlutut pelan di depannya, memeriksa bagian pergelangan kaki kanan yang dulu sempat lumpuh.
Sentuhan jemarinya ringan, profesional, tapi Gideon bisa merasakan hangatnya menembus kulit.
Ia berusaha menjaga wajah tetap datar, namun dadanya terasa sesak oleh sesuatu yang sulit dijelaskan.
“Masih terasa kaku?” tanya Chesna tanpa menatap ke atas.
“Sedikit,” jawab Gideon pelan. “Tapi masih bisa digerakkan.”
Chesna mengangguk, masih fokus. “Sepertinya pak Gideon sering memaksakan diri berjalan tanpa bantuan.”
"Aku ingin segera sembuh."
Lalu Chesna menekan lembut titik saraf di bagian tumit. Gideon sedikit tersentak, dan spontan tangannya terulur, memegangi sisi meja agar tak kehilangan keseimbangan.
“Maaf,” kata Chesna cepat. “Refleksnya masih cukup sensitif.”
“Tidak apa,” gumam Gideon. “Saya hanya… kaget.”
Kata-kata itu menggantung di udara.
Chesna berhenti sejenak, jemarinya masih berada di dekat pergelangan kaki itu, lalu perlahan menarik diri. Ia menelan ludah, menahan napas agar tetap profesional.
“Anda jangan melewatkan sesi terapi lagi, ya,” katanya lembut, berusaha mencairkan suasana.
“Kamu bersedia lakukan terapi untukku?” balas Gideon.
Tatapannya menurun, tapi kemudian naik, bertemu pandangan mata Chesna yang kini menatapnya langsung.
Sekilas, dunia di sekeliling mereka seolah berhenti berputar.
“Kalau pak Gideon percaya sama saya, saya bersedia,” ujar Chesna, tersenyum samar. Senyum itu terlalu menenangkan bagi pria yang sedang berusaha melupakan.
Beberapa detik keduanya hanya diam.
Akhirnya Chesna berdiri, menuliskan sesuatu di berkas pasien. “Saya akan atur jadwal terapi berikutnya. Dan janji, jangan melewatkannya, Gideon.”
Nama itu keluar tanpa embel-embel Tuan.
Gideon menunduk sedikit, menahan senyum tipis yang sulit ia sembunyikan. “Baik, Dokter Chesna.”
Chesna berpura-pura sibuk menutup berkas, menahan debar yang tiba-tiba melonjak di dadanya.
"Pak Gideon, sudah selesai. Anda boleh pergi."
Gideon menatapnya lama, lalu berdiri dengan sedikit senyum di sudut bibirnya.
“Sampai ketemu lagi,” ujarnya pelan sebelum berbalik pergi.
Dan saat pintu tertutup, Chesna menatap ruangan yang rasanya begitu hangat. Ia menyadari, itu karena pria yang ia anggap spesial di hatinya baru saja mampir ke ruangan ini, menambah semangat baru. Ya, meskipun tidak mungkin bersama, tapi setidaknya bisa saling menyapa, pikir Chesna.
__
Sore menjelang malam. Langit di luar jendela tinggi mulai berwarna jingga keunguan.
Gideon baru saja tiba dari klinik, tongkatnya tergeletak di samping meja kerja saat ia melepas jas.
Tapi langkahnya terhenti ketika melihat seseorang duduk santai di sofa ruangannya.
Pria itu menatapnya sambil tersenyum, elegan, rapi, tapi dengan gaya santai khasnya.
“Lama nggak ketemu, bro,” sapa Alan ringan.
Gideon menaikkan sebelah alis. “Lihat siapa yang akhirnya ingat kalau aku masih hidup.”
Alan tertawa pelan. “Ayolah, jangan meledekku.”
Ia berdiri dan menghampiri, menepuk pundak sahabat lamanya itu. “Kau kelihatan… lebih dingin dari terakhir kali aku lihat.”
“Dan kau kelihatan makin menyebalkan,” balas Gideon tanpa senyum, tapi nada suaranya jelas menandakan keakraban lama yang belum pudar.
“Kau datang bukan untuk nostalgia, kan?”
Alan mendesah pelan, lalu duduk kembali. “Sayangnya, bukan. Aku butuh bantuanmu. Lebih tepatnya, informasi.”
“Informasi?” Gideon melangkah pelan ke kursinya. “Seorang Alan Abram datang ke sini hanya untuk informasi? Dunia benar-benar sudah berubah.”
Alan mengangkat bahu. “Boleh saja kau bercanda dulu, tapi aku serius. Ini soal Shenia.”
Begitu nama itu disebut, ekspresi Gideon berubah sedikit.
Ia menatap Alan, tajam tapi penasaran. “Sepupuku?”
“Yup.” Alan mengangguk cepat, tapi wajahnya menegang. “Dan tolong jangan kaget dulu… dia—uhm—mungkin… sempat—yah, aku nggak tahu gimana bilangnya dengan sopan…”
“Langsung saja,” potong Gideon datar.
Alan menatapnya, menyerah. “Dia… tidur denganku.”
Keheningan.
Lalu, Gideon menatap Alan lama, sangat lama, sebelum akhirnya menyandarkan diri ke kursi.
“...Tuhan, kalian tidur bersama tanpa menikah?” gumamnya pelan, “dunia benar-benar kecil dan sangat kejam.”
Alan mendesah. “Jadi sebaiknya sekarang kau jujur saja dimana dia.”
"Alan, Kau tahu aku ini masih terhitung baru kembali ke negara ini. Sebelum ini duniaku gelap. Aku tidak tau apa-apa tentang Shenia. Yang keluarga tau, dia melarikan diri dan tidak pernah terlihat lagi. Bahkan mamanya yang lagi mendekam di penjara pun tidak tahu keberadaannya."
Alan mendengar dengan cermat.
"Tapi mendengar kalian bertemu baru-baru ini, seharusnya dia baik-baik saja. Kau tenang saja, Alan, nanti juga muncul lagi."
"Tapi aku kuatir dan terus kepikiran. Dia muncul tiba-tiba lalu menghilang seenaknya, apa dia pikir aku ini mainan?"
Gideon terbahak.
Alan menghela napas panjang, memijit pelipis. “Aku datang ke sini buat cari petunjuk, bukan buat diolok.”
“Tapi jujur,” kata Gideon sambil menahan tawa, “ini pertama kalinya aku dengar kisah cinta tidak sah yang melibatkan pil penyubur. Klasik.”
Alan menatapnya sebal. “Kau benar-benar menyebalkan, Gideon.”
Gideon mengangkat bahu, masih dengan senyum geli. “Setidaknya sekarang kita imbang, aku punya kaki pincang, dan kau punya reputasi kacau. Dunia adil juga rupanya.”
Alan tak tahan, akhirnya ikut tertawa.
Untuk sesaat, ruangan itu terasa seperti masa muda mereka kembali, dua sahabat lama yang sama-sama menanggung beban besar, tapi masih bisa menertawakan hidup.
___
bukannya nikmatin hr tua,ehh malah ikut campur urusan cucu2 nya/Left Bah!/
thor lidya biang gosip ya,apa2 selalu aja tau/Facepalm/
thor kapan giliran alan??