NovelToon NovelToon
Pengkhianat Yang Ditendang Ke Dunia Modern

Pengkhianat Yang Ditendang Ke Dunia Modern

Status: tamat
Genre:Romantis / Transmigrasi / Permainan Kematian / Tamat
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Carolline Fenita

Di sudut kota Surabaya, Caroline terbangun dari koma tanpa ingatan. Jiwanya yang tenang dan analitis merasa asing dalam tubuhnya, dan ia terkejut saat mengetahui bahwa ia adalah istri dari Pratama, seorang pengusaha farmasi yang tidak ia kenal.

Pernikahannya berlangsung lima tahun, hanya itu yang diketahui. Pram ingin memperbaiki semuanya. Hanya saja Caroline merasa ia hanyalah "aset" dalam pernikahan ini. Ia menuntut kebenaran, terlebih saat tahu dirinya adalah seorang bangsawan yang dihukum mati di kehidupan sebelumnya, sebuah bayangan yang menghantuinya

Apakah mereka akan maju bersama atau justru menyerah dengan keadaan?

p.s : setiap nama judul adalah lagu yang mendukung suasana bab

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Carolline Fenita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chinoiserie- Clouds Beyond the Mountain

Tubuhnya berjalan di dalam kegelapan, Ada sebongkah cahaya di ujung sana. Matanya berbinar seperti kunang-kunang dan langkah kakinya melaju cepat. Ia berlari kea rah cahaya hanya untuk menemukan bahwa sinar besar di ujung sana hanyalah tipuan belaka. Semakin ia berusaha kuat menggapainya, semakin cahaya itu menghindarinya jauh.

Frustasi menyisip ke dalamnya dan perasaan ingin menyerah tiba-tiba saja hadir.

“Kamu tidak sendiri, Lin. Aku di sini. Kita akan mencari tahu ini bersama. Mungkin besok kita bisa coba lagi hal lainnya.”

“Tidak, itu tidak akan berhasil!”

“Kita bisa melakukannya, percayalah padaku.”

“… Terakhir kali kau mengatakan hal yang sama, lalu apa yang terjadi?”

Buntalan kegelapan itu seolah menyingkap tabir yang seharusnya belum diterima Caroline saat ini. Wanita itu mendengarkannya seraya melihat kegelapan tanpa berujung. Ia meraba kehangatan yang berganti menjadi rasa dingin berkali-kali.

Beban akan ketidakpahaman dan ingatan yang terkunci masih sangat berat. Kepalanya terasa sakit.

“Mungkin, aku... butuh waktu.”

Tiba-tiba kegelapan itu memudar, berganti menjadi sekumpulan mesin entah kapan.

Caroline sendiri merasa bingung mengapa tangannya bergerak menunjuk titik itu. Intuisinya terasa familiar, seolah itu adalah naluri kuno tentang kecacatan, tentang sebuah ketidaksempurnaan yang bisa berakibat fatal.

Saat ia menatap grafik, kilasan itu datang, lebih terang dari sebelumnya. Bukan tentang ramuan atau penyembuhan, melainkan

sebuah panggung kayu yang tinggi, di bawah langit yang murung. Riuh rendah suara kerumunan yang menghakiminya. Aroma tajam besi karatan. Ia bisa merasakan tali kasar mengikat pergelangan tangannya, dan bisikan-bisikan yang tak ia pahami, namun sarat akan kemarahan dan tuduhan.

Kilasan-kilasan mengerikan itu terus datang, silih berganti dengan gambar-gambar aneh dari pabrik obat yang modern. Otaknya berjuang keras untuk menyatukan fragmen-fragmen itu, namun hasilnya hanya rasa sakit kepala yang luar biasa.

“Tidak, berhenti!”

Napasnya sedikit tercekat, wajahnya memucat, namun ia menekan gejolak itu dengan keras. Ini tidak seimbang seperti ada sesuatu yang mengganggu. Ia bisa merasakan panas yang mendekat, ketakutan yang mencekam. Namun, ia tidak bisa mengingat detail penting.

Mengapa ia terlempar kemari? Apa maksud dari butuh waktu?

Ia meracau dalam tidur, menyebutkan kata-kata dalam bahasanya, kadang menjerit ketakutan, seolah sedang melarikan diri dari sesuatu yang tak terlihat. Di pagi hari, kilasan mengerikan tentang hukuman mati itu lenyap.

Benaknya terasa lebih ringan, namun juga lebih kosong. Menyisakan pengamatan, intuisi, dan ketenangan yang menyembunyikan kebingungannya.

Hanya satu yang ada dalam benaknya, ia harus meluruskan semua. Secepatnya.

Caroline memutuskan untuk mengambil inisiatif. Ia menyadari, meski ia masih beradaptasi dengan dunia baru, naluri dan kemampuannya untuk mengamati tidak hilang. Pram jelas menghindar, dan ia butuh pemahaman. Penjelasan akan tindakan tak beralasan itu, menciptakan alasan yang jauh lebih jelas antara keduanya.

Di meja makan, Caroline sudah terbiasa dengan rumahnya dan mengoleskan roti tawar dengan selai yang ada di atas meja.

Pelayan berlalu-lalang namun wanita itu mengkhususkan mereka agar memotong pekarangan rumput di taman depan. Kini lantai pertama kosong, sengaja ia kosongkan.

“Lin?” Pratama keluar dari ruangan kerjanya dan berpapasan dengan Caroline yang sedang duduk di meja makan. Istrinya mengarahkan pandangannya ke piring di atas meja.

“Kau tidak akan menolak sarapan yang dibuat istrimu bukan, Pram?”

Lelaki itu tidak berkutik. Dia duduk di depan

Caroline dan tangannya mengambil satu helai roti panggang. Caroline mengawasinya dalam diam. Kemejanya terlihat kusut. Rambutnya belum tersisir rapi. Tidak ada bau tidak enak darinya, hanya penampilan yang agak kacau.

Pratama mengunyah sekali dua kali, seolah berambisi untuk menghabiskannya secepat mungkin, fokusnya tertuju pada makanan.

“Terima kasih untuk sarapannya,” ucapnya setelah menelan potongan terakhir.

Caroline memberikan secangkir teh susu yang dikatakan oleh pelayan senior sebagai minuman kesukaan suaminya. Membiarkan lelaki itu menandaskannya tanpa memotong apapun. Ia tidak ingin pertanyaannya membuat lelaki itu tidak berselera makan dan minum. Ia sengaja menunggu.

"Pram," panggil Caroline lembut, suaranya tenang namun mengandung sedikit ketegasan yang tak biasa. Tepat setelah lelaki itu meletakkan cangkir ke meja.

Pratama sedikit tersentak, mendongak ke istrinya. "Ada apa?"

"Aku merasa ada yang salah di antara kita." Ia memilih kata-kata yang paling lugas yang ia tahu. "Semenjak aku terbangun dari ranjang, kau bilang kita sudah menikah, dan adikmu juga tahu. Namun ada sesuatu yang rasanya tidak sesuai. Apakah aku melewatkan sesuatu?"

Ia tidak mengungkit pigura itu lagi, dia langsung masuk ke inti permasalahan.

Pratama menghela napas panjang. Ekspresinya menunjukkan campuran kelelahan dan keengganan. Ia menatap

Caroline, matanya mencari sesuatu yang ia sendiri tidak yakin apa itu. Wanita yang ditatapnya merasa sedikit bersalah. Karena bukan hanya ia yang tidak tidur begitu nyenyak.

"Caroline," Pratama memanggil nama lengkapnya, bersuara pelan "Keadaan kita... memang rumit.”

“Seberapa rumit?” tanya Caroline balik.

“Malam itu, kondisimu benar-benar parah. Tubuhmu begitu panas, hampir kejang. Aku melihat belasan pil yang terjatuh bersebelahan denganmu. Kamu kolaps bukan karena kecapaian, namun keracunan obat.”

Pratama mengulik ingatan lamanya. Awan gelap menutupi cahaya bulan. Di balik tirai itu ia menemukan pisau berlumuran darah dan beberapa tali Jerami untuk mengikat sesuatu. Tidak jauh disana, bercak darah menyatu dengan lantai marmer dan berakhir di siku istrinya sendiri.

Tidak perlu menyalakan lampu. Dia merengkuh tubuh yang menyisakan secercah kehangatan penuh gemetaran. Ingin berteriak, memanggil pelayan disana. Namun tidak ada suara yang keluar darinya. Hanya nafas tersenggal.

“Aku terjatuh lima atau enam kali. Mencegah dirimu jatuh lebih dulu, aku menekukkan lututku agar aku yang menghantam lantai.”

Saat itu yang ia pikirkan hanya ambulans dan rumah sakit. Keluar dari kamar, ia meminta bantuan pada pelayan untuk membuka smartphone dan memanggil nomor darurat.

Di dalam ambulans ia melihat infus dan alat peraga yang ia kenal, digunakan ke tubuh mungil wanitanya.

“Dokter mengatakan bahwa kamu mengonsumsi obat stimulan berlebihan hingga berhalusinasi dan lukamu mungkin tersayat tanaman penelitianmu memborok lebih dari satu hari sehingga mengalami demam.”

Wajah Pratama memburuk seiring ucapan yang ia lontarkan. “Aku tidak tahu bahwa kau mengembangkan kebiasaan menelan obat itu. Padahal kita berdua sama-sama tahu resiko penggunaannya, terlebih kamu yang mengagungkan obat alami. Namun aku tidak tahu mengapa malam itu kau begitu impulsif. Telat beberapa menit, kurasa aku sudah harus bersiap menyiapkan peti kayu untukmu.”

Tangan Caroline mendingin. Ia merasakan kepedihan dari jiwa tubuh ini sekaligus kepanikan dari Pratama. Tangannya yang sedikit gemetar disadari oleh Pratama, lelaki itu menghentikan ucapannya dan meletakkan telapak tangannya ke sang istri.

Menghangatkan tangan dingin itu.

“Apakah kamu ingin aku melanjutkannya?”

Dia tahu Pram sedikit kesulitan, tapi dia tidak bisa menghentikannya. “… lanjutkan,” jawab

Caroline dengan suara serak. Pram memandangnya beberapa saat dan mengelus punggung tangannya naik turun. Beberapa detik kemudian kembali melanjutkan bayangan peristiwa dari sudut pandangnya.

“Aku membawamu pergi ke rumah sakit, dirawat inap beberapa minggu.” Pram terdiam sejenak. “Kamu sempat bangun, namun tidak ada reaksi apapun. Matamu hanya terbuka kosong, tanganmu begitu kaku dan dingin. Saat itu aku menyesal mengutamakan projek hingga telat pulang rumah. Aku kira kau akan bersibuk diri dengan acara sukarelawan dan sejenisnya.”

Caroline mendengarkan dalam diam. Ia menduga bahwa saat itu, jiwa asli dalam tubuh ini tampaknya antara ingin pergi dan tidak. Seolah ditahan karena ada obsesi atau hal yang belum ia gapai. Namun ia tidak buka mulut, matanya terpaku dan telinganya mendengarkan tajam.

Tangan Pram mengelus punggung tangannya tanpa henti. Sinar Mentari pagi beralih tempat dari sudut meja ke genggaman tangan mereka berdua.

“Kau kehilangan ingatan. Dokter bilang amnesia disosiatif, semacam mekanisme pertahanan diri dari trauma. Aku tidak tahu trauma apa yang kamu alami, Lin. Aku saat itu hanya berpikir untuk membawamu pulang.

Aku mengabari sekaligus meminta keluargaku dan keluargamu tidak terlalu banyak bertanya."

“Aku menekankan pada mereka, aku suamimu. Aku tahu apa yang terbaik…” Pram menjedanya. “…hanya aku yang sadar, bahkan sejengkal jarimu pun, aku tidak sanggup menyentuhnya lebih dari dua puluh detik saat itu.”

Caroline diam, mencerna setiap kata. "Apakah kita benar-benar pasangan suami-istri?" tanyanya, suaranya nyaris seperti bisikan. Ketegangan di antara mereka terasa begitu nyata, seperti benang tipis yang bisa putus kapan saja.

Pratama menatapnya lekat-lekat. "Kita memang sudah menikah.”

“Itu benar. Adikku, semua orang dekat kita tahu itu. Tapi ada yang kompleks. Hubungan kita sedang tidak baik-baik saja." Ia melihat raut wajah Caroline yang tetap tenang namun menyimpan gejolak. "Aku tahu ini sangat mengejutkan. Aku seharusnya memberitahumu lebih awal, tapi aku takut kau akan syok, atau bereaksi keras dan histeris."

Adiknya, ia panggil di detik terakhir hanya untuk mengawasi istrinya di akhir bulan ini karena projek batch yang tak dapat ia lewatkan. Siapa tahu selang lima hari kemudian, Caroline bangun dan justru mengatakan sesuatu yang berkaitan dengan kematian. Membuatnya hampir terkena serangan jantung.

“Kukira aku bisa memberikan waktu hingga ingatanmu kembali. Namun kemarin aku sudah memikirkan kembali, setelah kamu menanyakan pigura itu. Aku berjanji selama kau bertanya, aku akan menjawabmu jujur.”

Selama kau bertanya, aku akan menjawabmu jujur..

1
Cherlys_lyn
Hai hai haiii, moga moga karyaku bisa menghibur kalian sekalian yaa. Kalau ada kritik, saran, atau komentar kecil boleh diketik nihh. Selamat membaca ya readerss 🥰🥰
Anyelir
kak, mampir yuk ke ceritaku juga
Cherlys_lyn: okeee
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!