NovelToon NovelToon
Daisy

Daisy

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Persahabatan / Romansa / Kriminal dan Bidadari / Chicklit
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Inisabine

Hidup Singgih yang penuh kegelapan di masa lalu tanpa sengaja bertemu dengan Daisy yang memintanya untuk menjadi bodyguard-nya.


Daisy
Penulis: Inisabine
Copyright Oktober 2018

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Inisabine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18

"Apa-apaan," umpat Daisy saat melangkah keluar dari mobil. "Jadi dia masih berhubungan sama mantannya itu rupanya," omelnya yang sudah bertingkah mirip salah satu klien yang ada di acara realitas teve yang akan menciduk pacarnya. "Secantik apa sih dia?"

Ponsel Daisy berdering bersamaan dengan langkahnya yang hendak memasuki selasar Hotel Caisar. Nama Azka berkedip-kedip di layar ponsel. Sontak diangkat.

"Lo ngapain di Hotel Caisar?" sambar Azka sebelum Daisy sempat menyapa.

"Kok tahu?" Daisy celingukan.

"Nggak usah celingukan."

Makin celingukan saja Daisy.

"Yang jelas gue bisa lihat lo. Sikap lo bisa dikondisikan? Pura-pura lo nggak tahu kalau sedang diawasi."

"Pura-pura gimana?" Daisy mengerut bingung.

"Rolan." Azka menyebutkan sebuah nama. "Dia sedang mengawasimu."

"Maksudnya gimana ini?" Daisy masih belum bisa menemukan situasinya.

Terdengar suara Azka di seberang telepon sedang menjelaskan situasi yang terjadi. Tubuh Daisy langsung memaku di tempat. Ponsel dimatikan dan dalam langkah berat ia menuju lift yang akan membawanya ke lantai empat.

Perlahan langkahnya keluar dari lift dan menuju ke kamar 401.

Daisy melihat pintu kamar yang ditujunya terbuka sedikit. Atau memang sengaja dibuka―seakan sedang menunggu kedatangannya.

Tangannya mendorong pelan pintu itu dan melihat perempuan berbusana minim sedang menciumi mesra wajah Singgih. Ia melongo kaget sejadi-jadinya. Adegan dewasa yang tidak seharusnya ditonton oleh Daisy.

"Da―Daisy... aku bisa jelaskan." Singgih mendorong tubuh perempuan itu.

Daisy melihat senyum culas terukir di wajah perempuan itu.

"Ini salah paham. Ini nggak seperti yang kamu lihat."

Air mata Daisy nyaris tumpah. Ia tak boleh menangis di sini dan setengah berlari meninggalkan tempat. Singgih mengejarnya di belakang. Daisy mempercepat langkah melompat masuk ke lift. Sesaat sebelum pintu lift tertutup rapat, ia masih bisa melihat Singgih berusaha mengejarnya.

Daisy memegangi dada. Kenapa sesakit ini? Padahal mereka bukan pasangan kekasih seperti yang diumbarnya pada Rolan. Tapi rasanya seperti luka yang ditetesi dengan air garam. Perih. Air matanya tak bisa dibendungnya lagi. Telapak tangannya menghapus cepat basah di pipi.

Pintu lift terbuka dan Daisy gegas keluar. Tergesa-gesa menuju halaman parkir. Tahu-tahu ia dikejutkan dengan siku lengannya yang ditahan oleh Singgih. Tubuh Daisy terputar dengan sendirinya ke belakang dan telapak tangannya melayang tepat di pipi Singgih.

Bergeming Singgih.

Daisy terdiam kaku di tempat setelah melayangkan tamparannya di pipi Singgih. Air matanya tak bisa ia tahan.

"Aku mau sendiri..."

Pegangan tangan Singgih di siku lengan Daisy mengendur. Meski berat hati, tapi ia membiarkan Daisy lepas dari pegangannya.

Daisy melompat masuk ke mobil dan segera meluncur meninggalkan halaman hotel.

Di tempatnya, Singgih masih memaku. Tertunduk lunglai. Ponselnya berdering dengan nama Rolan yang muncul di layar. Tangannya menggenggam geram ponselnya. Sepertinya ia tahu apa yang terjadi.

"Wah, Rolan." Singgih mencebik. "Nggak kusangka kamu masih dendam dengan kejadian dua belas tahun lalu?"

"Gue bukan orang pendendam." Suara Rolan terdengar begitu enteng menanggapi kemarahan Singgih. "Gue hanya pengen lo tahu gimana rasanya cewek yang lo sukai itu pergi dari lo."

"Di mana kamu sekarang?" Api kemarahan Singgih siap meledak.

"Gue lupa kalau masih ada meeting. Maklum aja. Gue kan, sibuk. Jadi nggak punya waktu buat ngurusin hal-hal yang nggak penting."

"Kamu kan, yang nyuruh Daisy ke sini?" Singgih mengencangkan suaranya.

"Aduh, gimana nih?" Rolan pura-pura cemas. "Daisy udah tahu kalau lo ternyata juga suka main cewek."

"Di mana kamu sekarang?" suara Singgih meninggi. "Keluar dan hadapi aku! Nggak usah jadi pengecut! Daisy nggak ada hubungannya sama permasalahan kita!"

"Salahnya dia pacar lo."

Tangan Singgih mengepal geram. "Kupastikan kamu akan dapat ganjarannya."

Singgih memutus sambungan telepon. Ia berlari ke pinggir jalan untuk menyetop taksi.

Tujuan pertama yang terlintas di benaknya adalah kediaman orang tua Daisy di Bintaro. Sayangnya, Daisy yang dicari tidak berada di sana. Tak ada nomor ponsel Gendis atau Sofie yang bisa dihubungi. Akhirnya ia putuskan untuk kembali ke apartemen. Lagi-lagi, Singgih harus menelan kecewanya karena di sana pun tak ada Daisy.

Singgih keluar apartemen dengan putus asa. Ia akan coba mencari Daisy di Coffee Taste, kantor, atau di mana pun tempat yang pernah disambangi Daisy.

Langkahnya berhenti saat menemukan mobil berpelat nopol milik Daisy berada di parkiran apartemen. Ia berlari, napasnya memburu, mendekati mobil itu. Dilihatnya Daisy menelungkupkan kepala di balik kemudi setir.

Buku-buku jari tangan Singgih mengetuki kaca jendela mobil.

Daisy yang berada di dalam mobil mendongak kaget. Ia menoleh ke arah jendela mobil dan mengesiap mendapati Singgih berdiri di sana. Terdiam lama bagi Daisy, begitu juga Singgih, di mana keduanya hanya saling melempar pandang diam.

Singgih memutar tubuh ke belakang, memunggungi mobil. Ia tak akan memaksa Daisy keluar, justru ia akan memberikan waktu bagi Daisy untuk menenangkan diri. Meski begitu ia akan tetap berdiri di sini, menunggu Daisy keluar. Kemungkinannya adalah Daisy yang akan tancap gas dan menjauh pergi.

Dugaan Singgih salah. Pintu mobil itu terbuka. Singgih langsung memutar tubuhnya menghadapi gadis itu. Daisy keluar mobil dengan mata sembab.

"Akan kujelaskan―"

"Sakit?" sela Daisy dengan tangan terulur menyentuh pipi Singgih bekas tamparan tangannya.

Mengesiap Singgih. Tubuhnya menegang kaku. Sentuhan tangan Daisy di pipinya memberikan rasa hangat yang memancing percikan listrik di dalam tubuhnya.

"Sakit..." Singgih mengerjap kaku. Tanpa sadarnya membeo.

"Maaf..." Tapak tangan Daisy masih mengusap pipi Singgih. Berharap usapannya bisa memberikan sihir agar sakit yang dirasakan Singgih hilang.

Sayangnya, sentuhan itu gagal menghilangkan rasa sakit di pipi Singgih yang malah membuat denyut jantungnya bertalu-talu kencang.

Kedua kaki Singgih melangkah mundur yang sontak membuat tapak tangan Daisy terlepas. Ia harus menjaga jarak agar jantungnya aman dari serangan Daisy. Pun, ia harus menjaga pandangnya agar tak bertemu tatap dengan Daisy. Ia tahu dengan rasa yang dirasakannya saat ini, tapi ia tidak dalam situasi yang tepat untuk jatuh cinta.

"Kamu nggak salah... untuk apa minta maaf?"

Daisy menurunkan tangannya yang sempat berhenti di udara. Diamatinya lekat wajah Singgih, lalu berkata, Lapar. "Aku mau mie buatan Mas Singgih."

    *

Semangkuk mie rebus tersuguh di hadapan Daisy. Lagi, ia mematahkan larangannya yang nggak boleh makan di atas jam tujuh malam. Kesal karena telah melanggar larangannya, tapi ia lebih kesal pada tangannya yang telah melayangkan tamparan ke pipi Singgih.

"Kenapa kamu ada di sana?" Singgih yang ingin menjelaskan situasinya, justru memilih untuk menanyai Daisy terlebih dahulu.

Daisy mengabaikan pertanyaan Singgih dan menikmati mie kuah rasa soto.

"Anak buahnya Rolan datang menemuiku. Katanya Rolan ingin bicara denganku." Singgih pikir mungkin harus ia yang bicara lebih dulu untuk menjelaskan. "Makanya aku... di hotel―"

"Sama cewek seksi?" Daisy mengangkat kepala pelan. Tajam dan mematikan.

"Cewek itu tiba-tiba masuk dan―"

"Mencium Mas Singgih?" Daisy semakin tajam.

"Di―dia yang menyerangku duluan."

"Dia―Ajeng?"

"Bukan." Suara Singgih merendah.

"Dia pacar Mas Singgih... Ajeng?"

"Teman."

"Bohong."

"Aku nggak bohong."

"Oh, ya?"

"Apa yang bisa dipercaya oleh orang yang baru bertemu dua minggu?"

"Aku yang gila... karena terlalu memercayai Mas Singgih."

Kepala Daisy menunduk bersamaan dengan napasnya yang berembus lelah. Tapi ia terlalu penasaran dengan perempuan yang bernama Ajeng. Ia tahu Rolan seperti apa, tapi ia juga tidak percaya pada Singgih yang hanya mengaku teman.

Oh, Tuhan... bagaimana bisa dadanya sesesak ini?

Daisy menutup sendok-garpu dalam mangkuk. Ia menenggak air putih hingga tandas. Kepalanya mengangkat menatap Singgih, setelah ia berhasil mengontrol sesak di dadanya.

"Jelaskan ke aku. Ada permasalahan apa antara Mas Singgih dan Rolan?"

Air muka Singgih tampak enggan menjelaskan.

"Mas Singgih diminta Rolan datang ke hotel. Rolan juga meneleponku dan bilang Mas Singgih akan ketemuan dengan pacar Mas Singgih―Ajeng di hotel."

Riak kemarahan di dada Singgih kembali muncul. Tampak jelas Rolan sengaja membuat jebakan ini untuk merusak situasinya.

"Karena ucapanmu, Rolan mengira kita benaran pacaran. Itu yang membuatnya marah."

"Aku juga marah karena dia pernah mempermainkanku. Makanya aku bilang kita pacaran. Terus kenapa malah dia yang marah? Kan, aneh. Kecuali ada alasan lain." Daisy menajamkan matanya ke Singgih. "Mas Singgih merebut pacarnya? Ajeng."

"Aku dan Ajeng nggak pernah pacaran."

"Oh? Rolan dong yang bohong?"

"Kamu sama aja seperti Noe." Singgih beranjak berdiri. "Lagian nggak ada ruginya juga kamu percaya apa nggak." Ia menyingkirkan mangkuk kotor dari atas meja. "Sudah malam. Jangan begadang bikin gambar."

"Kalau nggak ngegambar, aku nggak bisa nyetok mie!"

Daisy beranjak dari duduk, masuk ke ruang kerja dengan langkah kesal. Ia mengomel yang hanya bisa dimengerti olehnya sendiri.

"Siapa lagi, huh, Noe?"

Kaki Daisy mengentak kesal. Kedua lengan melipat di depan dada.

    *

1
elica
wahhh keren bangettt🤩🤩
mampir di ceritaku juga dong kak🤩✨
elica
hai kak aku mampirrr🤩✨
Inisabine: Haii, makasih udah mampir 😚✨
total 1 replies
US
smg aksyen baku hantam /Good//Good/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!