Rama dan Ayana dulunya adalah sahabat sejak kecil. Namun karena insiden kecelakaan yang menewaskan Kakaknya-Arsayd, membuat Rama pada saat itu memutuskan untuk membenci keluarga Ayana, karena kesalahpahaman.
Dalih membenci, rupanya Rama malah di jodohkan sang Ayah dengan Ayana sendiri.
Sering mendapat perlakuan buruk, bahkan tidak di akui, membuat Ayana harus menerima getirnya hidup, ketika sang buah hati lahir kedunia.
"Ibu... Dimana Ayah Zeva? Kenapa Zeva tidak pelnah beltemu Ayah?"
Zeva Arfana-bocah kecil berusia 3 tahun itu tidak pernah tahu siapa Ayah kandungnya sendiri. Bahkan, Rama selalu menunjukan sikap dinginya pada sang buah hati.
Ayana yang sudah lelah karena tahu suaminya secara terbuka menjalin hubungan dengan Mawar, justru memutuskan menerima tawaran Devan-untuk menjadi pacar sewaan Dokter tampan itu.
"Kamu berkhianat-aku juga bisa berkhianat, Mas! Jadi kita impas!"
Mampukah Ayana melewati prahara rumah tangganya? Atau dia dihadapkan pada pilihan sulit nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 17
Wanita tua itu berjalan pelan kedepan sambil bersedekap dada, menatap Ayana dengan remeh.
Hah!
Ayana mendesah dalam. Ia masih terdiam sejenak, lalu menoleh. "Ini hari minggu, Bu! Saya juga keluar hanya sebentar, ingin melatih Zeva berjalan lagi!"
"Halah, itu pasti akal-akalan kamu saja biar bisa bebas 'kan! Saya juga aslinya udah nggak peduli sama keluargamu itu. Saya malah berharap, jika kamu dapat segera keluar dari rumah ini dengan cepat! Rumah saya ini bukan panti jompo, untuk menampung orang-orang miskin seperti kalian!" Tekan Bu Anita.
Ayana sampai membekap telinga putranya dari belakang. Dadanya bergemuruh kuat, hingga ia memutuskan untuk berjalan agak menjauh dari tempat sepeda Zeva.
"Maksud Ibu apa sih? Saya disini juga bekerja, nggak ongkang-ongkang kaki. Ibu lupa, kalau saya ini menantu SAH Ibu? Bocah kecil yang ada diatas sepeda itu... Dia cucu Ibu, loh! Dan bagaimana saya akan pergi, jika suami saya tinggal disini-"
"STOP MEMANGGIL RAMA SEBAGAI SUAMIMU!" Bentak Bu Anita.
Ayana hanya mampu tersenyum getir, membuang muka sekilas. "Sekuat apa Ibu menolak, tapi memang kenyataanyanya Mas Rama adalah Suami SAH saya!"
Wajah Bu Anita sudah memerah menahan amarah. Rahangnya menggeretak kuat, lalu menuding Ayana kembali, "Rama akan segera menikah dengan Mawar! Dan sebelum itu terjadi, pergilah dari rumah ini, dan ceraikan Putra saya!"
"MAMAH!"
Suata bariton itu memecah ketegangan antara mertua dan menantu kini. Rama berdiri di ujung teras, tak menyangka Ibunya akan senekad itu.
Bu Anita menoleh sekilas.
Rama sedikit berlari, hingga kini ia menghentikan langkahnya agak berjarak diantara Istri dan Ibunya.
"Tanpa Ibu suruh, saya juga sudah berniat menceraikan Putra Ibu! Tapi, saya akan keluar, jika Tuan Ibrahim sendiri yang mengusir saya!" Bantah Ayana tanpa peduli keberadaan suaminya. Ia menoleh Rama sekilas, lalu melenggang begitu saja melanjutkan jalannya bersama sang putra.
"Ibu cudah telesai bitala tama Bu Anita?" tanya Zeva mendongakan kepalanya.
Ayana hanya mampu mengangguk. Lalu mengusap kepala putranya sekilas, dan langsung kembali mendorong sepeda Zeva, hingga mereka keluar dari gerbang megah itu.
Rama hanya mampu membeku melihat kepergian Istri serta putranya. Kalimat 'Saya juga sudah berniat menceraikan putra Ibu' kini bagaikan sebilah pisau yang menghujam hatinya.
Tatapan sekilas yang Rama dapat tadi, seolah mengungkapkan, jika Ayana memang sudah akan menyerah, tinggal menunggu waktunya tiba saja.
"Ibu kenapa berbicara seperti itu pada Ayana?!" tanya Rama begitu dingin, masih terus menatap kearah gerbang yang di lalui Ayana.
Bu Anita mendesah kasar, "Hah! Kamu kenapa, Rama?! Apa yang Ibu bicarakan itu memang benar adanya! Cepat atau lambat, kamu harus segera menceraikan si Babu itu! Mamah sudah tidak tahan lagi, dia dan Ibunya itu enak-enakan tinggal disini!"
Rama kembali terdiam.
Bu Anita sudah melenggang masuk kedalam dengan wajah kesalnya.
Sementara Rama, lagi-lagi ia tak mampu mengontrol emosionalnya. Ia terdiam, mulut serta hatinya terkunci tak mampu terbuka. Ia tak dapat membayangkan, bagaimana ia akan hidup setiap harinya, jika Ayana tidak ada disampingnya.
Drttt!
Suara gawai itu bergetar di atas sofa dalam kamarnya. Nama Mawar tercetak jelas, tanpa si empunya tahu.
Kembali lagi pada Rama.
Entah dorongan dari mana, Rama yang masih menggunakan celana training serta kaos polos putih, kini langsung saja berjalan ke depan bermaksud menyusul Istri serta putranya.
*
*
Harum semerbak embun kian menyelimuti hati kedua ibu dan anak itu. Pagi yang seperti ini yang mereka harapkan setiap harinya. Semuanya mengalir hangat tanpa ada tekanan atau tuntutan yang menyiksa.
Zeva tampak ceria menatap taman komplek yang saat ini ramai dengan aktivitas orang-orang.
Ada yang sedang lari pagi mengitari taman, ada juga anak-anak kecil yang bermain ayunan dan juga lari-larian bebas. Hari minggu itu di manfaatkan dengan baik bagi orang-orang disana.
"Ibu... Zeva mau main ayunan ditana," tunjuk Zeva pada salah satu ayunan yang masih kosong.
Ayana menyambut itu dengan antusias.
Ia segera menurunkan putranya, lalu menuntun Zeva dengan pelan sembari sesekali di lepas sendiri.
"Ibu... Apa Zeva nggak akan jatuh lagi? Zeva takut," rengeknya dengan mata berkaca.
Ayana kembali mendekat, mencoba menyemangati putranya dengan lembut. "Nggak akan, Sayang! Disini ada Ibu. Ibu akan jaga Zeva biar nggak jatuh lagi!"
Tangan Zeva kembali di lepas oleh Ayana. Dan perlahan namun pasti, bocah kecil itu mulai berjalan sedikit tertatih. Ayana menunggu didepan sambil berjalan mundur dengan rapi.
Hap!
Zeva tertawa hambar, saat tubuhnya berhasil di tangkap oleh Ibunya. "Yeay... Zeva berhasil, Ibu...."
"Iya, Sayang... Ya udah, ayo kita main ayunan sebentar. Nanti setelah itu, Zeva belajar berlari sedikit ya!" seru Ayana sembari menuntun putranya.
Zeva mengangguk dengan pasti.
Jarang berolahraga, rupanya membuat Rama tampak ngos-ngosan ketika tiba di taman setelah berlari tadi. Pria itu sedikit menunduk sambil memegangi kedua lututnya.
Hah!
"Ayana kemana coba?" gumamnya setelah mencoba menetralkan nafasnya.
Pria tampan itu mengedarkan mata, dan berhasil melihat putranya yang tampak asik bermain ayunan bersama sang Istri.
"Ibu... Ayo dolong telus!" kekeh Zeva dengan ceria menikmati ayunan yang di dorong Ibunya.
Ayana hanya mampu tersenyum puas, "Ibu nggak akan kencang-kencang, Zeva! Nanti kamu bisa jatuh lagi. Pegangan yang kuat, ya!" pekiknya.
Eghem!
Ayana tersadar, dan sontak mengendurkan tangannya pada tali ayunan yang di naiki Zeva. Ia menoleh kaku, dan melihat suaminya sudah berdiri di sampingnya.
"Mas Rama ngapain sih kesini? Mau ikut-ikutan kaya Bu Anita, suruh saya pergi dari rumah-"
"Saya hanya ingin melihat keadaan putra saya!" potong Rama sambil menatap sendu kearah Zeva.
'Putra saya' Ayana tampak mengulang kalimat itu dalam batinnya beberapa kali.
Zeva, merasa tidak ada dorongan pada ayunannya, ia sontak menoleh kearah Ibunya. Dan ketika itu, pandanganya bertemu dengan sang Ayah-Rama.
"Ibu...."
Zeva langsung meloncat turun, dan menghambur dalam pelukan Ayana. Bocah kecil itu meringsut takut, sambil netranya mengerjab beberapa kali kearah Rama.
"Zeva... Nggak ada yang perlu Zeva takutkan! Disini ada Ibu. Zeva bebas bermain dengan teman-teman Zeva. Sebentar, Ibu ambilkan gelembung sabunnya ya!"
Ayuna mengacuhkan Rama, berjalan kearah sepeda Zeva untuk mengambilkan mainan gelembung untuk anaknya.
"Ini... Zeva main gih! Ibu harus bicara dulu sama Paman Rama. Sebentar... Aja!" Ayana memberikan mainan itu, lalu mengusap putranya dengan sayang.
Zeva mengangguk sembari menerima mainan tadi. Setelah itu bocah kecil itu berjalan pelan, sedikit tertatih menuju depan ayunan.
"Zeva hanya putra saya, bukan putra Mas Rama! Sejak kapan, Mas ... Sejak kapan Mas Rama mengakui Zeva sebagai putra Mas Rama?!" Ayana tersenyum getir tanpa memalingkan wajahnya dari posisi sang Putra.
"Hah..." Rama menghela nafas dalam. Ia menatap Zeva sejenak, lalu kembali menatap Istrinya. "Tapi kenyataanya dia adalah Putra saya, Aya! Saya Ayah biologisnya!"
'Aya? Mas Rama memanggilku Aya kembali?' Ayana masih tidak menyangka hal-hal kecil yang ia dapat dari suaminya, mampu membuat dadanya bergemuruh cepat.
Panggilan kecil hingga mereka beranjak dewasa. Panggilan yang Rama buat, sebagai panggilan sayang sejak dulu. Namun semenjak kejadian kecelakaan Arsyad, semuanya berubah. Rama buang jauh-jauh panggilan itu. Rama acuh, hingga takdir menyatukan kembali mereka dalam lingkar perjodohan.
Ayana memberanikan diri menolehkan wajah serta tubuhnya kearah Rama. Ibu Zeva itu mengunci kedua netra Rama dengan sorot begitu kuat.
"Maksud Mas Rama, apa sih?!"
Untuk beberapa detik itu, Rama juga tak memalingkan pandangannya dari si pemilik manik kecoklatan itu.
Lalu ia berlirih, "Saya hanya menjalankan tanggung jawab saya saja!"
"Tapi, jika pada kenyataannya Mas Rama akan menikah dengan Mbak Mawar... Lebih baik jangan mengucapkan kalimat itu didepan putra saya! Lagian... Akan saya pastikan, sebelum Mas Rama menikah... Saya akan bilang sama Tuan Ibrahim, jika saya ingin bercerai!"
Deg!
Sorot mata Ayana mulai melemah, "Istri mana yang akan kuat melihat suaminya menikahi wanita lain, meskipun pada kenyataanya diantara kita tidak cinta yang tumbuh."
Dada Rama terasa sesak. Netranya tetiba memanas seketika. Kalimat itu bagaikan tamparan keras yang langsung menusuk hatinya.
Rama masih tetap membeku. Ia memalingkan wajahnya sekilas, lalu detik itu juga ia melenggang, berjalan mendekat kearah sang putra-Zeva.
Ayana sedikit mendongak. Ia mencoba menahan air matanya dengan jari, tidak ingin merusak pagi hangat itu dengan rasa sesaknya.
"Yah... Gelembungnya telbang tinggi, Zeva nggak bisa petahin dong," gumam Zeva kala melihat salah satu gelembungnya terbang terbawa angin.
Ehem!
Rama berdehem tipis, mencoba mencairkan suasana, meskipun ia merasa masih terlalu kaku untuk mendekati putranya.
"Zeva... Sini, biar Paman saja yang meniup. Nanti kamu yang tangkap gelembungnya," kata Rama sambil menundukan setengah badannya.
Zeva tersentak. Ia sudah akan berniat kabur, namun Rama menghentikan dengan kalimatnya lagi.
"Nanti Paman akan belikan Zeva ice cream disana!" seru Rama sambil menunjuk penjual Ice cream di pinggir jalan.
Zeva menolah. Matanya berbinar melihat mobil ice cream besar itu. Lalu Zeva kembali menatap Rama agak tertunduk.
"Paman Lama sudah baik? Sudah nggak suka malah-malah lagi, ya?"
Rama mengangguk antusias, meskipun terasa menyakitkan mendengar kalimat sang Putra barusan.
Sejahat itukah ia di mata anaknya sendiri?
"Sekarang, Zeva siap-siap ya! Paman akan tiup gelembung ini. 1... 2... 3...."
Rama meniup serta mengibaskan gelembung tadi, hingga buih besar itu beterbangan di udara dengan begitu banyaknya.
Zeva berlarian kesana kemari, mengejar gelembung itu, dan juga memecahkannya dengan wajah bahagia.
"Wah... Yeay banyak banget! Ayo tiup lagi, Paman!" teriak Zeva tertawa pecah.
Ayana hanya berdiri kaku menatap kedekatan Ayah dan anak itu. Tanpa terasa, air mata Ayana luruh membasahi pipi tirusnya.