Kerajaan itu berdiri di atas darah, dusta, dan pengkhianatan.
Putri Mahkota yang logis dan penuh tanggung jawab mulai goyah ketika seorang tabib misterius menyingkap hatinya dan takdir kelam yang ia sembunyikan.
Putri Kedua haus akan kekuasaan, menjadikan cinta sebagai permainan berbahaya dengan seorang pria yang ternyata jauh lebih kuat daripada yang ia kira.
Putri Ketiga, yang bisa membaca hati orang lain, menemukan dirinya terjerat dalam cinta gelap dengan pembunuh bayaran yang identitasnya bisa mengguncang seluruh takhta.
Tiga hati perempuan muda… satu kerajaan di ambang kehancuran. Saat cinta berubah menjadi senjata, siapa yang akan bertahan, dan siapa yang akan hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17 : Hukuman Atau Penyerahan
Ia melangkah pelan, pandangannya tak lepas dari sosok yang masih berlutut di hadapan singgasana. “Jika isu seperti ini diungkap oleh orang lain, mungkin bisa kita tangani berbeda. Tetapi sekarang, dua putriku… yang menjunjung nama keluarga telah menyaksikan sendiri kejadian yang merusak harga diri seseorang.” Nada suaranya berat, mengandung makna lebih dari sekadar protes.
Kaelor berusaha membela diri dengan panik. “Mereka memfitnah! Ini hanya cerita untuk menjatuhkan namaku,” katanya, mencoba menahan getir yang tampak di wajahnya.
Menteri-menteri saling bertukar pandang, beberapa ragu, yang lain tampak ingin membantah. Namun Marius mengangkat tangan, menghentikan keributan. Sorot matanya kembali tajam, menegaskan otoritas yang tak bisa ditawar. “Kalau kalian masih ragu dengan keputusanku… kujelaskan lagi, bila tuduhan terhadap Tuan Kaelor ternyata kosong, aku sendiri yang akan mencabut hak dan gelar putri-putriku tanpa pengecualian.” Suasana menegang mendengar ancaman keras itu.
Ia menarik napas panjang, kemudian menambahkan dengan suara yang lebih dingin lagi, “Namun bila Tuan Kaelor terbukti bersalah… semua hal yang nyata dan dapat dibuktikan akan kuserahkan sepenuhnya kepada putri-putriku untuk menentukan hukuman yang pantas, termasuk tindakan pada masa mendatang.”
…
Di sisi lain, Yvaine membawa Veyra menuju halaman istana, sementara Lyanna mengikuti di belakang mereka. Mereka bertiga duduk di bangku taman dekat air pancuran. Veyra menjatuhkan tubuhnya ke sandaran bangku, menghela napas berat. Tangannya mengusap wajah dengan kasar, lalu menepuk kepalanya sendiri seolah ingin melampiaskan rasa frustasi.
Yvaine membiarkan adiknya menunduk, bahkan meraih kepalanya agar bersandar di bahunya. Lyanna duduk di sisi lain, menggenggam tangan Veyra dengan erat, matanya menyiratkan kecemasan.
Yvaine melirik Lyanna. Suaranya tenang, meski penuh tanya. “Bagaimana kalian bisa bertemu Tuan Kaelor… dan sampai mengetahui masalah itu?”
Lyanna terdiam sejenak, bibirnya menekan, sebelum akhirnya menjawab lirih, “Singkatnya… kami memergoki Kaelor hampir saja melecehkan penari asing itu.”
Alis Yvaine berkerut tajam. “Penari yang dikabarkan membawa simbol penghinaan itu?” tanyanya, suaranya meninggi.
Lyanna mengangguk perlahan. “Seperti kabar yang beredar. Karena itu kami curiga dan memutuskan menanyakannya langsung. Awalnya hanya ingin mencari kebenaran… tapi kami tak pernah menyangka melihat kejadian memuakkan itu dengan mata kepala sendiri.”
Veyra menegakkan tubuhnya, menarik napas kasar yang bergetar oleh amarah. “Pantas saja aku selalu merasa ada yang aneh dengan penegakan hukum di kerajaan ini,” gumamnya pedas. “Ternyata ada bajingan yang duduk nyaman di dalam lingkaran hukum itu sendiri.”
Suara derit pintu halaman membuat mereka menoleh. Dua pria melangkah keluar, Marius dengan langkah tegap di depan, Arion mengikutinya setia di belakang.
Veyra kembali menyandarkan tubuhnya dengan malas, menatap mereka dengan sorot mata tajam yang disembunyikan di balik sikap dinginnya. Bibirnya menyunggingkan senyum miring penuh sinis.
“Masih berlanjut ternyata…” ucapnya datar, seolah siap menghadapi pertanyaan ataupun hukuman berikutnya.
Marius berhenti di hadapan mereka. Tarikan napasnya terdengar berat, seolah menahan beban yang sulit ia lepaskan, sementara tatapannya tertuju pada ketiga putrinya.
Yvaine membuka suara dengan lembut, memohon agar ayahnya tidak melanjutkan persoalan itu. Namun Marius menggeleng perlahan.
“Ayah tidak berniat memperpanjangnya. Hanya ada satu hal yang perlu kutanyakan lagi,” ucapnya. “Apa yang kalian jelaskan tadi benar adanya?”
Lyanna mendongak, sorot matanya tajam namun tetap tegas.
“Benar atau tidak, Tuan Arion juga melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Bagaimana mungkin kami berani mengarang cerita di hadapan kepala mata-mata istana?”