NovelToon NovelToon
My Enemy, My Idol

My Enemy, My Idol

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Enemy to Lovers
Popularitas:378
Nilai: 5
Nama Author: imafi

Quin didaftarkan ke acara idol oleh musuh bebuyutannya Dima.

Alhasil diam-diam Quin mendaftarkan Dima ikutan acara mendaftarkan puisi Dima ke sayembara menulis puisi, untuk menolong keluarga Dima dari kesulitan keuangan. Sementara Dima, diam-diam mendaftarkan Quin ke sebuah pencarian bakat menyanyi.

Lantas apakah keduanya berhasil saling membantu satu sama lain?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon imafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17

Quin menekan tombol hijau di layar kontak nama Dima. Tangan kirinya menggenggam ujung kursi di meja belajarnya, berusaha menenangkan getaran yang tidak dia inginkan. Dia geser kursinya, lalu duduk, tapi kemudian bangkit lagi.

Sedetik kemudian, Dima menjawab panggilan telepon Quin, “Halo. Udah tidur?”

“Halo, udah,” jawab Quin sambil berusaha merapikan rambutnya yang hitam panjang ke salah satu sisi bahunya.

“Udah?” tanya Dima heran. “Udah tidur? Kok bisa jawab telepon?”

“Maksudnya. Belum. Belum tidur!” Quin menepuk jidatnya perlahan agar tidak terdengar oleh Dima. Dia jalan mondar mandir, mengelilingi kamarnya.

“Kirain, aku ngobrol sama orang ngigau!” kata Dima suaranya tenang.

“Lagian udah tau aku jawab telepon kamu, pake ditanya udah tidur apa belum,” jelas Quin kesal. Kenapa Dima bisa meneleponnya dengan nada tenang dan kenapa juga dia tiba-tiba bicara menggunakan kata aku, pikir Quin yang masih jalan mengelilingi kamarnya.

“Kamu jawab telepon aku? Kan kamu yang telepon!”kata Dima mengingatkan bahwa yang meneleponnya adalah Quin.

“Eh, kan kamu yang nelepon aku duluan. Aku cuma nelepon balik,” ujar Quin kesal karena tahu bahwa dirinya sendiri yang memang salah ngomong. 

“Oke-oke. Aku nelepon bukan mau berdebat.”

“Terus mau apa?”

“Aku mau minta tolong,” kata Dima dengan suara memelas.

Meski kamarnya kecil, tapi sepuluh putaran membuat Quin terengah-engah. Dia lalu duduk di kasurnya dan berkata, “Minta tolong apa?”

“Bantuin supaya puisi aku banyak yang vote,” suara Dima terdengar mengecil.

“Oh,” Quin tidak menyangka Dima berani meminta bantuannya.

“Kalau kamu nggak mau bantuin, nggak apa-apa kok.”

“Aku nggak bilang nggak mau bantuin.”

“Jadi mau bantuin?”

Quin menggigit bibirnya, “Gimana ya? Orang tua aku ngajarin aku untuk membantu orang yang minta tolong. Apalagi kalau aku bisa membantunya.”

“Keren.”

“Kok keren?” Quin mengerenyitkan dahinya merasa Dima meledeknya.

“Ya keren lah. Orang tua aku nggak ngajarin apa-apa.”

“Masa?” Quin tidak percaya apa yang didengarnya, tapi justru itu membuatnya semakin tertarik mendengarkan suara Dima yang terdengar lebih berat di telepon.

“Iya. Ayah itu kalau kerja ya udah kerja aja, jarang ngomong kalau di rumah. Ibu ngomong kalau nyuruh atau minta anter ke pasar aja.”

“Oh.”

“Nggak keren, kan?”

“Ehmm, biasa aja… sih…” Quin berusaha netral, tidak mau terdengar menjelekkan keluarga Dima, tapi tidak tahu bagaimana harus membuat Dima merasa lebih baik meski keadaan keluarganya tidak seperti keluarganya.

“Jadi gimana? Mau bantuin aku?”

“Jadi kamu beneran mau menang?” tanya Quin, berharap Dima senang puisinya telah dimasukkan ke lomba itu.

“Iya. Aku butuh uang. Motor ayah aku hilang,” Dima sebenarnya enggan menceritakanya keluarganya yang lagi kesusahan, tapi dia yakin Quin pasti sudah tahu.

“Iya. Aku tahu. Teh Santi cerita,” jawab Quin yang sekarang sudah bisa mengendalikan kegugupannya.

“Makasih loh. Teh Santi cerita, orang tua kamu kasih uang buat Mang Ujo berobat ke haji Naim.”

“Papa aku nyuruh bawa ke puskesmas. Pake BPJS itu bisa. Tapi Teh Santi nggak mau, malah mau ke haji naim. Padahal kan haji naim itu belum tentu bisa sembuh,” Quin nyerocos tanpa memberikan jeda untuk Dima bisa menyela.

“Ya gitu deh. Kita kan juga nggak bisa ya nganterin mereka berobat. Jadi kata aku sih, terserah mereka aja.”

“Hmmm… iya sih,” Quin jadi merasa bersalah sendiri telah nyerocos nggak jelas.

“Aku nggak tau siapa yang masukin puisi aku ke lomba itu. Tapi kayanya aku harus terima kasih, karena orang itu, aku jadi ada peluang buat bisa dapet duit.”

Jantung Quin berdebar kencang, apakah ini saatnya untuk dia jujur?

“Kamu…,” Quin ragu mau melanjutkan kalimatnya.

“Kamu kenapa?” tanya Dima sama sekali tidak curiga.

“Aku…,” Quin memelintir rambutnya lalu mengacak-acaknya.

“Aku kenapa?” tanya Dima mulai curiga. “Kamu mau ngomong apa sih?”

Quin menarik napas panjang, mengumpulkan kekuatan dari dalam dirinya lalu berkata, “Kamu mau, terima kasih sama orang itu?”

“Orang apa?” Dima semakin curiga.

“Orang yang udah daftarin kamu,” Quin memejamkan matanya.

“Emang kamu tau siapa orangnya?” tanya Dima balik. Dima yang duduk di teras setelah mengantarkan Lala ke travel, mengubah posisi duduknya. Dia sudah siap untuk juga jujur soal dia memang adalah orang yang mendaftarkan Quin ke YAMI. 

Quin mengangguk seraya berkata, “Aku. Aku yang daftarin kamu.”

Seperti ada petir di atas kepalanya. Seperti ada batu yang menghujam di dadanya. Seperti ketika Dima masih kecil dan tenggelam di sungai. Dima menutup matanya, mengatur napasnya, lalu menggelengkan kepala dan bertanya, “Gimana bisa?”

“Jadi waktu itu, Nisa nyuruh aku daftarin puisi aku ke lomba itu. Tapi…” Quin berhenti untuk mengambil napas dan memberikan jeda agar dirinya tenang. 

“Tapi?”

“Tapi aku merasa puisiku nggak sebagus puisimu. Aku cuma pengen belajar aja, pengen bisa bikin puisi kaya kamu. Soalnya aku inget, aku baca puisi kamu itu bagus,” jelas Quin.

Dima terdiam, tapi Quin masih bisa mendengarkan suara tarikan napas Dima.

“Terus aku kepikiran kenapa nggak ya udah, daftarin aja puisi kamu atas nama kamu,” Quin meringkuk di atas kasur dan menutup kepalanya dengan bantal.

“Kita satu-sama,” jawab Dima singkat.

“Satu sama?” Quin membuka bantal yang menutupi kepalanya.

“Oke. Aku nggak bakalan marah sama kamu. Kamu ambil buku aku diem-diem, terus daftarin aku. Aku nggak akan marah. Tapi aku minta kamu juga nggak marah…,” tiba-tiba Dima menghentikan penjelasannya.

“Karena?” Quin duduk tegak di kasur. Kali ini dia bergetar bukan karena gugup mendengar suara Dima, tapi karena menduga dirinya akan marah.

“Karena aku yang daftarin kamu ke Yami,” jawab Dima tanpa ragu. Dia merasa Quin tidak akan marah. Toh Quin juga sudah mendaftarkan puisi miliknya diam-diam.

“Tapi waktu itu kamu bilang bukan kamu yang daftarin aku,” ujar Quin dengan intonasi datar dan tegas, mengingatkan bahwa Dima sudah berbohong.

“Iya. Wak.. waktu itu… aku belum berani jujur,” kata Dima berusaha membela diri. “Tapi kan, berarti sekarang kita…”

“Denger ya! Aku itu paling nggak suka sama orang bohong!” suara Quin mengeras.

“Iya, sori aku udah bohong, tapi kan sekarang kita sama-sama…”

Quin menyela penjelasan Dima, “Kenapa sih lo daftarin gue? Ini bukan acara biasa loh! Ini serius!”

“Iya, gue tau. Gue cuma merasa elu cocok ikut acara itu. Suara lu bagus, Quin!” Dima sadar kini mereka kembali menggunakan panggilan gue-elu.

Quin terdiam. Kepalanya berputar, seperti ada tornado di dalamnya. Lehernya tercekat, seperti ada duri yang menacap di kerongokngannya. Sungguh dia kesal sekali. Kesal pada orang yang suka berbohong.

“Kalau elu mau mundur dari YAMI, gue dukung. Kalau elu mau lanjut YAMI, gue bantuin elu sampe menang. Gue temenin elu latihan, Quin!” Dima berusaha menjelaskan bahwa dirinya tidak ingin membuat Quin susah, dia hanya ingin Quin menjadi yang terbaik.

“Tapi kan nggak mesti dengan cara bohong!” kata Quin sinis.

“Quin. Sori…,” Dima menepuk wajahnya sendiri, malu dan merasa sangat amat bodoh.

Quin mematikan hubungan telepon, lalu membenamkan kepalanya di atas bantal dan teriak kesal dalam hati.

Bersambung.

1
Leni Manzila
hhhh cinta rangga
queen Bima
mantep sih
imaji fiksi: makasih udah mampir. aku jadi semangat nulisnya.🥹
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!