"Aku akan menceraikan mu!".
DUAR!!!!!
Seakan mengikuti hati Tiara, petir pun ikut mewakili keterkejutannya. Matanya terbelalak dan jantungnya berdebar kencang. Badu saja ia kehilangan putranya. Kini Denis malah menceraikannya. Siapa yang tak akan sedih dan putus asa mendapat penderitaan yang bertubi-tubi.
" Mas, aku tidak mau. Jangan ceraikan aku." isaknya.
Denis tak bergeming saat Tiara bersimpuh di kakinya. Air mata Tiara terus menetes hingga membasahi kaki Denis. Namun sedikitpun Denis tak merasakan iba pada istri yang telah bersamanya selama enam tahun itu.
"Tak ada lagi yang harus dipertahankan. Aju benar-benar sudah muak denganmu!'"
Batin Tiara berdenyut mendengar ucapan yang keluar dari mulut Denis. Ia tak menyangka suaminya akan mengatakan seperti itu. Terlebih lagi,ia sudah menyerahkan segalanya hingga sampai dititik ini.
"Apa yang kau katakan Mas? Kau lupa dengan perjuanganku salama ini?" rintih Tiara dengan mata yang berkaca-kaca.
"Aku tidak melupakannya Tiara,...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masa lalu yang mulai menghampiri
Tiara bersama Bu Suti sedang menyiapkan sarapan mereka. Raisa yang baru saja bangun terkejut melihat Tiara ikut membuat sarapan pagi ini.
"Tiara? Kau di sini? Apa kau yang sudah membuat semua ini?" tanya Raisa, matanya membulat kaget melihat meja makan yang sudah tertata rapi, ada bubur ayam hangat, roti panggang, jus jeruk segar, dan aroma kopi yang baru diseduh.
Tiara menoleh cepat, sedikit gugup.
"Oh, selamat pagi, Nyonya Raisa. Iya, Tiara hanya membantu Bu Suti sedikit… Reihan tadi bangun lebih pagi, jadi Tiara pikir sekalian menyiapkan sarapan," ucapnya lembut sambil mengelap tangannya dengan lap dapur.
Bu Suti ikut tersenyum.
"Benar, Bu. Nona Tiara yang paling sibuk dari tadi. Saya malah sampai bingung harus bantu bagian mana," katanya sambil terkekeh kecil.
Raisa berjalan pelan mendekat, menatap Tiara dengan tatapan campuran kagum, heran, dan entah sedikit rasa haru.
"Jarang sekali ada tamu yang mau repot seperti ini. Biasanya mereka malah takut dapur kotor," ujarnya sambil duduk di kursi dekat meja makan.
Tiara menunduk sopan.
"Tiara sudah terbiasa, Nyonya. Dulu..."
Tiara terdiam sejenak, sepenggal kenangan masa lalu bersama Denis pun muncul dibenaknya. Raisa yang mulai merasakan gejolak yang dirasakan Tiara pun segera mengalihkan perhatiannya.
"Wah, kau sangat pintar, Nak. Masakanmu pasti enak. Benarkan Suti?"
Bu Suti yang tadinya ikut terdiam, akhirnya turut menyemangati Tiara yang masih terdiam mengenang masa lalunya.
"Iya ,Nyonya. Barusan saya mencicipi masakan nona Tiara. Dan semuanya sangat lezat." tambah Bu Suti.
Raisa tersenyum puas, lalu menatap Tiara lembut.
"Kalau begitu, aku tak sabar ingin mencobanya. Kau benar-benar sudah menjadi bagian dari rumah ini, Tiara."
Tiara tertegun mendengar kalimat itu. Ada sesuatu yang hangat menyusup ke dadanya, rasa diterima yang sudah lama tak ia rasakan.
"Tiara senang jika bisa membantu, Nyonya," ucapnya pelan sambil menunduk, mencoba menyembunyikan senyum tipis yang muncul di wajahnya.
Namun sebelum suasana semakin tenang, langkah kaki terdengar dari arah tangga. Galang muncul, dengan kemeja abu-abu yang digulung sambil menteng tas dan jas di lengannya, rambut sudah tersisir rapi, dan ekspresi yang tampak segar dan berwibawa.
"Ada apa ini? Bau kopi dan roti menyebar ke seluruh rumah," katanya seraya menarik kursi dan duduk.
Raisa melirik anak menantunya sambil tersenyum penuh arti.
"Bangun pagi untuk sekali ini, dan kau langsung disambut sarapan hangat buatan Tiara."
Galang menatap Tiara sekilas, tatapan yang singkat, tapi cukup membuat Tiara terdiam. Galang langsung duduk lalu menyesap kopi yang sudah tersedia diatas meja.
"Bagaimana? Kau suka?" ucap Raisa penasaran.
Galang melirik ibu mertuanya sekilas, lalu hanya mengangguk kecil. Hal itu cukup membuat Raisa tersenyum puas. Setidaknya Galang tidak menolak .
"Kau duduklah, Tiara. Ikutlah makan bersama kami." kata Raisa lagi.
Tiara buru-buru mengangguk.
" Baik, Nyonya."
Galang mengambil sendok dan mencicipi bubur ayam yang masih mengepul. Ia diam beberapa detik, membuat Tiara menahan napas. Lalu perlahan, Galang menatap ibu mertuanya dan berkata,
"Ini… enak sekali. Terlalu enak untuk disebut ‘membantu sedikit’."
"Sudah kubilang, kan? Tiara memang istimewa." ucap Raisa,ia tertawa kecil mendengarnya.
"Terima kasih, Tuan… Nyonya…" ucapnya lirih,
Bu Suti yang berdiri di dekat dapur menimpali dengan nada menggoda,
"Kalau setiap pagi begini, saya tidak keberatan kalau Nona Tiara terus tinggal di sini."
Ucapan itu membuat Raisa mengangguk cepat.
"Setuju! Rumah ini jadi lebih hidup kalau ada kau, Tiara." ucap Raisa menimpali.
Galang menatap ibu mertuanya sekilas, lalu meneguk kopi perlahan. Ia hanya bersikap seolah-olah tak mendengar ucapan mereka. Sementara Tiara kini tersipu malu mendengar gurauan Raisa dan Bu Suti.
"Jika aku menyukai masakannya... bukan berarti aku setuju dengan kalian." ucap Galang seketika,auranya dingin dan mendominasi.
Tiara langsung menoleh menatap Galang,hatinya terenyuh. Namun ia berusaha tetap tenang. Sementara Raisa pura-pura tidak mendengar, hanya tersenyum kecil sambil memotong roti. Tapi dari matanya, jelas sekali ia sedang menahan harapan yang besar.
Tiara kembali menunduk dalam-dalam, tak berani menatap Galang. Namun di sudut hatinya, ada perasaan getir campuran takut, canggung, dan sesuatu yang belum bisa ia pahami.
Lalu tiba-tiba, ponsel di meja dapur berdering. Bu Suti bergegas mengangkatnya, tapi ketika melihat layar, wajahnya berubah senang.
"Ehm… Nyonya Raisa, ini… telepon untuk mu. Dari… Nyonya Nancy."
Tiara terhenyak matanya melebar setelah mendengar nama Nancy di sebut. Tangannya bergetar dan Galang sempat menatapnya sekilas lalu beranjak dari meja makan. Ia berpamitan dengan Raisa dan hanya dibalas dengan senyuman. Raisa pun ikut beranjak dari meja makan dan segera mengangkat panggilan itu.
"Makanlah Tiara!" katanya lalu pergi ke taman.
"Ada apa Tiara, kenapa kau tiba-tiba..." ucap Bu Suti
"Tidak apa-apa, Bu." potongnya cepat.
Tiara lebih cepat menyelesaikan sarapannya, lalu ia bangkit dan berpamitan dengan Bu Suti,
"Kalau begitu, Tiara ke atas dulu ya ,Bu. Siapa tahu Reihan sudah bangun." ungkapnya hati-hati.
Bu Suti hanya mengangguk, tapi menyimpan sebuah pertanyaan dibenaknya. Biasanya Tiara tak pernah bersikap seperti ini. Namun hari ini berbeda, Tiara seperti menyimpan kegelisahan.
"Ada apa dengan nona Tiara?" batin Bu Suti.
"Kemana Tiara?" ucap Raisa begitu ia melangkah masuk.
"Sudah selesai, Nyonya." sahut Bu Suti pelan.
Raisa mengangguk kecil lalu duduk kembali dan menyantap sarapannya. Bu Suti yang masih penasaran dengan sikap Tiara barusan, akhirnya memberanikan diri mengutarakannya pada Raisa.
"Nyonya, saya merasa nona Tiara sedang memikirkan sesuatu." ucap Bu Suti lirih.
Raisa berhenti mengunyah, tangannya menggantung di udara sambil memegang sendok ditangannya.
"Maksud mu?" tanya Raisa.
"Tadi entah kenapa tiba-tiba saja wajah nona Tiara terlihat pucat. Dan saya rasa ada sesuatu yang nona Tiara pikirkan." adu Bu Suti,
Raisa mencoba mencerna perkataan Bu Suti itu.
"Sesuatu? Mungkin hanya perasaan mu saja. Bukankah Tiara tadi terlihat senang?"
"Ya Nyonya. Tapi tetap saja...ada yang aneh menurut saya, Nyonya."
Raisa pun berusaha mengerti apa yang diucapkan Bu Suti.
" Kalau begitu, nanti aku akan coba berbicara dengannya. Kau jangan khawatir. Tiara mungkin masih kepikiran tentang masa lalunya."
Raisa berkata dengan nada lembut namun dalam, seolah mencoba menenangkan dirinya sendiri juga. Bu Suti hanya mengangguk pelan, lalu kembali ke dapur. Namun hatinya tetap tidak tenang.
Sementara itu, di kamar atas, Tiara duduk di tepi ranjang, menatap Reihan yang masih terlelap. Tangan mungil anak itu menggenggam ujung selimut, wajahnya tenang,namun tiba-tiba mengingatkannya pada sosok putranya yang sudah tiada.
Air mata menetes perlahan dari ujung mata Tiara. Ia menutup wajahnya, tubuhnya bergetar halus.
"Arvan, anak Mamah," bisiknya lirih.
Tok Tok Tok
"Tiara, boleh aku masuk?!" ucap Raisa muncul di ambang pintu.
Tiara mengusap air matanya,lalu mengangguk kecil tanpa menatap kehadiran Raisa. Raisa melangkah masuk dan menghela nafas berat lalu duduk di dekat ranjang di mana Tiara kini tengah duduk sambil menatap cucunya.
"Ada apa? Kau memikirkan sesuatu?" tanya Raisa pelan.
"Tiara... hanya merindukan Arvan, putraku." sahutnya cepat namun terdengar sangat pelan.
Raisa mengusap punggung Tiara lembut lalu memeluknya.
"Kau bisa mengunjunginya jika kau mau. Aku akan menjaga Reihan." ungkap Raisa.
"Tidak Nyonya. Aku..."
"Pergilah! Sudah lama sejak kita bertemu di sana. Kau belum pernah sekalipun mengunjungi makamnya lagi." potong Raisa cepat, Tiara hanya menatap nanar lalu menghela nafas panjang sambil menangis dipelukan Raisa.
❤️❤️❤️❤️❤️
⭐️⭐️⭐️⭐️⭐️
❤️❤️❤️❤️❤️