Hidup Shavira hanyalah rangkaian luka yatim piatu, ditindas bibi dan pamannya, lalu divonis hanya punya beberapa bulan karena penyakit mematikan. Namun semua berubah ketika ia bertemu sosok misterius yang selalu muncul bersama seekor kucing hitam. Lelaki itu menyebut dirinya malaikat maut—Cat Man. Sejak saat itu, batas antara hidup dan mati, cinta dan kehilangan, mulai kabur di hadapan Shavira.
haii,, selamat datang di cerita pertamaku.. semoga suka ya~♡
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juyuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Senyum di ujung senja
Seperti biasa, pagi itu Shavira sudah tenggelam dengan pekerjaannya. Jemarinya lincah menari di atas keyboard, matanya fokus menatap layar monitor. Kantor terasa tenang, sampai sebuah suara keras membuyarkan semuanya.
“APA INI?! KAMU GILA YA?!”
“Keluar kamu dari ruangan saya sekarang!”
Suara Pak Saiful menggema dari balik pintu kaca. Semua kepala serentak menoleh. Shavira pun ikut melirik, tepat saat pintu terbuka dengan kasar.
Anisa keluar, wajahnya merah padam dengan air mata yang buru-buru ia seka. Gadis itu menunduk dalam, lalu berlari meninggalkan ruangan. Suasana kantor langsung senyap, hanya suara ketikan keyboard yang tersisa.
Shavira menghela napas panjang, bergumam dalam hati. Dasar tua bangka… mulutnya nggak pernah dijaga. Pantas karyawan pada nggak betah. Gue doain semoga pimpinan cepat tahu, dan langsung pecat tuh orang!
“Stt…” suara lirih membuatnya menoleh. Maya sudah melirik dengan ekspresi jahil, matanya jelas mengarah ke Pak Saiful.
“Diam, May. Gue lagi pengen fokus. Kalau salah dikit, bisa-bisa gue yang kena semprot lagi.”
Maya manyun, lalu memutar kursinya kembali ke arah komputer. “Nggak asik lo…” gumamnya pelan.
Waktu berputar cepat. Setelah hampir empat jam, jam makan siang akhirnya tiba. Shavira merapikan mejanya. Ketika ia berdiri, dua orang sudah siap menunggunya di depan kubikel. Maya sedang sibuk menata poni barunya, sesekali tersenyum puas melihat pantulan dirinya di layar hp. Sementara Karin asyik mengetik balasan chat dengan wajah yang tidak kalah berbunga.
“Yuk,” ajak Shavira.
Mereka berdua langsung menoleh, mengangguk, lalu berjalan bersama menuju kantin.
Kantin seperti biasa, ramai dan riuh. Aroma makanan bercampur jadi satu, suara sendok dan garpu berdenting menemani obrolan karyawan. Mereka bertiga duduk di meja favorit, dekat jendela kaca besar yang menampilkan pemandangan luar.
Tak lama, meja mereka diketuk pelan. Bima berdiri di sana dengan nampan berisi makanan. Senyum ramah terukir di bibirnya.
“Boleh gabung?” tanyanya ringan.
Karin dengan cepat mengangguk, “Iya, duduk aja.”
Bima menarik kursi, duduk di samping Karin. Shavira tak bisa menahan senyum tipis melihat rona bahagia yang muncul di wajah karin.
Suasana makan siang terasa hangat. Maya berceloteh seperti biasa, Karin sesekali menimpali, dan Bima ikut tertawa kecil.
Shavira? Ia hanya menunduk, sibuk dengan ponselnya. Membuka aplikasi notes, menulis sesuatu. Hari ini… sore ini, gue mau ke pantai. Lihat sunset bareng Sam.
Seketika jantungnya berdebar. Ah, Sam. Lelaki itu… tanpa ponsel, tanpa cara pasti untuk dipanggil. Gimana kalau dia nggak muncul? Pikirannya kacau, sementara suaranya Maya dan Karin terdengar jauh, samar, seolah ia berada di dunia yang berbeda.
Shavira menggenggam ponselnya erat. Pandangannya terarah pada jendela, di luar sana langit biru cerah, seakan menjanjikan sesuatu. Dalam hati ia berdoa lirih semoga sore ini, Sam benar-benar datang.
.
.
.
____🍂🍃
Di koridor rumah sakit, suara langkah sepatu menggema cepat. Pintu ruang rawat terbuka lebar. Di dalam, beberapa dokter dan perawat panik mengitari ranjang pasien. Laki-laki empat puluhan, terbaring dengan wajah pucat, napasnya tersengal. Monitor jantung berdering, garisnya naik-turun tak beraturan.
Lalu, Sam masuk. Jas dokter putihnya berayun mengikuti langkahnya yang tenang namun penuh wibawa. Tatapannya tajam menembus hiruk-pikuk ruangan.
“Tuan Wirawan...” Sam berhenti tepat di depan ranjang, menyilangkan tangan di dada. Senyum miring muncul di wajahnya. “Mau sekuat apa pun mereka berusaha, hasilnya tetap sama. Kau tidak akan bertahan.”
Suster dan dokter lain sibuk menekan dada Wirawan, memasang oksigen, namun Sam hanya mengamati dingin, seperti penonton yang sudah tahu akhir cerita.
Perlahan, Sam mengulurkan tangan. Ujung jemarinya menyentuh ubun-ubun Wirawan. Seketika tubuh lelaki itu tersentak. Matanya melotot lebar, seperti melihat sosok Sam yang berdiri tepat di hadapannya.
“Tidak! Aku belum mau mati!” Wirawan menggeliat, berusaha menepis tangan Sam. Namun sia-sia, tubuhnya semakin lemah. Dari ubun-ubunnya, cahaya putih samar perlahan ditarik keluar. Monitor jantung mengeluarkan suara panjang. Garis lurus.
“Waktumu habis.” suara Sam terdengar datar, tanpa emosi.
Tubuh Wirawan terkulai. Dokter segera mengambil alat kejut listrik, mencoba menghidupkannya kembali. Tapi nihil. Sementara itu, roh Wirawan kini berdiri di samping Sam, memandangi tubuhnya sendiri yang terbujur kaku.
“Apa ini? Jangan bilang... aku sudah mati...” suaranya bergetar.
Sam menoleh sekilas. “Kamu sudah mati. Pergilah. Alam barumu sudah menunggu.”
“Tidak!” Wirawan meraih tangan Sam, berlutut dengan wajah putus asa. “Aku tidak bisa... istriku... dia masih menunggu. Aku janji akan sembuh untuknya. Kumohon, biarkan aku berpamitan... hanya sekali saja...”
Sam menatapnya lama. Tidak ada senyum, tidak ada belas kasih. Hanya tatapan kosong. Namun, entah kenapa, ia akhirnya mengangguk pelan.
Wirawan pun menoleh. Roh itu berjalan mendekati istrinya yang meraung histeris di samping tubuhnya.
“Mas! Mas, bangun! Jangan tinggalin aku! Mas!” Perempuan itu mengguncang tubuh suaminya dengan sisa tenaga, air matanya membasahi bantal.
Wirawan berlutut di hadapan istrinya, menatap wajah perempuan yang dicintainya. Tangannya berusaha menyentuh pucuk hijab istrinya. Meski tak bisa benar-benar menyentuh, sentuhan itu terasa hangat.
“Dek... maafkan abang. Abang sayang sama adek. Tolong... jaga anak-anak kita. Abang tahu kamu perempuan kuat. Kamu bisa... kamu pasti bisa tanpa abang.”
Sambil terisak, Wirawan menggenggam tangan istrinya, lalu mengecupnya penuh kerinduan.
Sam memperhatikan dari jauh. Wajahnya tetap datar, tapi sorot matanya meredup. Ada sesuatu di dadanya yang bergetar—rasa asing yang selama ini berusaha ia tolak.
Wirawan berdiri lagi, wajahnya kini damai. Ia menatap Sam, tersenyum tipis. “Terima kasih... sekarang aku siap.”
Sam mengangkat tangannya. Cahaya putih muncul di sampingnya, berpendar indah, seolah membuka jalan menuju dimensi lain. Roh Wirawan melangkah masuk ke cahaya itu. Seketika ruangan terasa hening.
Sam berdiri kaku, menatap cahaya yang perlahan menghilang. Untuk pertama kalinya, matanya sendu meski ia tak pernah mengakuinya.
.
.
---🍂🍃
Shavira berdiri di halte, jaket tipisnya tertiup angin sore. Tangannya sibuk menggenggam ponsel, meski dari tadi hanya membuka-tutup layar tanpa tujuan.
“Ngapain juga aku liatin ponsel... dia kan gak punya,” gumamnya sambil mendecak kesal pada dirinya sendiri.
Saat ia mengangkat kepala, matanya langsung membelalak. Dari seberang jalan, sosok lelaki berjas gelap berjalan pelan, sorot matanya lurus ke arahnya “Sam...?” bisik Shavira tak percaya.
Sam semakin dekat, langkahnya tenang seperti biasa. Begitu tiba di hadapannya, tanpa basa-basi ia meraih tangan Shavira. Gadis itu sempat terdiam, matanya melirik jemari mereka yang kini saling terkait. Ada rasa aneh, hangat, sekaligus menenangkan.
“Dari mana lo?” tanya Shavira, suaranya dibuat setenang mungkin padahal jantungnya berdetak kencang.
Sam menoleh sebentar. “Kerja.”
“Ngambil nyawa orang lagi?”
Sam mengangguk kecil. “Aku kan malaikat maut.”
Shavira menghela napas panjang, setengah kesal tapi sebenarnya lega karena bisa melihatnya lagi. Sebelum ia sempat bicara lagi, bus yang ditunggunya berhenti. Mereka naik bersama.
Shavira berdiri sejenak, matanya mencari-cari kursi kosong. Sam hanya menggerakkan matanya, menunjuk kursi nomor dua.
“Duduk di situ. Sebentar lagi dia turun,” ucapnya datar.
Benar saja, lelaki yang duduk di kursi itu tiba-tiba berdiri, wajahnya pucat setelah membaca pesan mengejutkan di ponselnya. Ia buru-buru turun.
Shavira menoleh ke Sam, matanya berbinar. “Thank you, Sam~” katanya dengan nada dramatis, lalu menjatuhkan diri ke kursi itu dengan senyum puas. Ia bersandar di kaca jendela, menoleh ke arah Sam yang berdiri di sampingnya.
Sam hanya mengangkat alis, wajahnya dingin seperti biasa, tapi ada senyum kecil nyaris tak terlihat di sudut bibirnya.
Bus perlahan berjalan meninggalkan halte. Shavira tak bisa menahan diri untuk tidak melirik Sam berkali-kali, bahkan memberi kode-kode kecil seolah mereka punya bahasa rahasia. Sesekali ia berbisik pelan, membuat Sam menoleh sekilas.
“Cerewet,” ucap Sam tanpa suara, hanya menggerakkan bibir.
Shavira langsung terkekeh kecil, pipinya merona.
Tak lama kemudian bus berhenti. Begitu turun, angin laut langsung menyambut mereka. Shavira menatap lurus ke depan—pantai terbentang indah, langit mulai merona jingga, suara ombak berpadu dengan teriakan anak-anak yang bermain pasir, beberapa turis asing berlarian di tepi laut.
“Sam...” suara Shavira pelan, hampir seperti bisikan.
Sam berdiri di sampingnya, senyumnya tipis tapi tulus. Shavira menggenggam tangannya erat, seakan tak ingin melepaskan. Dengan langkah ringan, mereka berjalan beriringan di jalan setapak menuju pantai.