Arunika adalah seorang wanita yang memendam cinta dalam diam, membangun istana harapan di atas sajadah merah yang pernah diberikan oleh Raka, pria yang diam-diam memikat hatinya. Setiap sujud dan lantunan doa Arunika selalu tertuju pada Raka, berharap sebuah takdir indah akan menyatukan mereka. Namun, kenyataan menghantamnya bagai palu godam ketika ia mengetahui bahwa Raka telah bertunangan, dan tak lama kemudian, resmi menikah dengan wanita lain, Sandria. Arunika pun dipaksa mengubah 90 derajat arah doa dan harapannya, berusaha keras mengubur perasaan demi menjaga sebuah ikatan suci yang bukan miliknya.
Ketika Arunika tengah berjuang menyembuhkan hatinya, Raka justru muncul kembali. Pria itu terang-terangan mengakui ketidakbahagiaannya dalam pernikahan dan tak henti-hentinya menguntit Arunika, seolah meyakini bahwa sajadah merah yang masih disimpan Arunika adalah bukti perasaannya tak pernah berubah. Arunika dihadapkan pada dilema moral yang hebat: apakah ia akan menyerah pada godaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 17. Mencari
Arunika turun di lobi universitas, Purnomo mengantarnya sampai dalam. Ini adalah hari pertamanya kuliah setelah tiga hari orientasi kemarin.
“Kenapa kamu pilih kampus yang umum jadi mesti di Salemba, nggak di Depok biar cepat?” tanya Purnomo, matanya masih fokus ke jalanan yang mulai padat kendaraan.
“Ya Yah… di Depok itu jurusannya beda, lebih banyak untuk yang mau belajar tenang. Walau di kampus pusat ada kedokteran juga, tapi kebanyakan dipakai buat mahasiswa magister kesehatan atau yang mau lanjut S2. Kalau S1-nya Arunika, memang adanya di Salemba,” jelas Arunika, sambil menyibakkan sedikit rambut panjangnya yang jatuh ke bahu.
Purnomo mendengus kecil, masih belum puas.
“Pokoknya Ayah lihat, lebih enak kalau kamu kuliah di Depok. Dekat, nggak perlu ribet-ribet ke Jakarta. Jalan juga nggak macet kayak gini.”
Arunika terkekeh pelan, menatap wajah ayahnya lewat kaca spion.
“Yah… kalau dipindah ke Depok, nanti malah bukan jurusanku. Lagian, masa Ayah tega kalau Arunika nggak jadi anak UI cuma gara-gara macet?”
Purnomo melirik, lalu menghela napas panjang.
“Hhhh… iya sih. Tapi tetap aja, Ayah belum ikhlas kalau kamu harus jauh-jauh gini setiap hari. Jakarta itu keras, Nak.”
Arunika mencondongkan badan, tangannya singgah sebentar di lengan ayahnya.
“Arunika bisa jaga diri, Yah. Yang penting Ayah percaya. Nanti kalau sudah ada jadwal tetap, Arunika kirim ke Ayah.”
Perlahan, wajah Purnomo melunak, meski masih tersisa berat hati.
“Iya, Nak. Ayah percaya. Tapi jangan salah, doa Ayah juga biar macet Jakarta cepat hilang. Biar kamu nggak capek di jalan.”
Arunika langsung tertawa kecil.
“Kalau doa itu mustajab, Ayah bisa jadi pahlawan Jakarta.”
Mobil pun merayap di antara antrean panjang kendaraan menuju arah Salemba.
Tak lama, kendaraan itu sampai di kampus utama.
"Jika sudah ada jadwal, kamu kirim ya Nak!' suruh Purnomo sebelum putrinya turun dari mobil.
"Iya Ayah!' sahut Arunika menurut.
Purnomo bersikeras mengantar dan menjemput putrinya. Ia belum bisa melepas Arunika berjalan sendirian. Jarak rumah dan kampus bisa ditempuh dengan satu kali naik MRT dan jalan kaki ke rumah ketika pulang. Tapi ketika pergi memang butuh effort lebih keras karena harus bangun lebih pagi dan naik dua kali angkutan umum karena MRT belum beroperasi.
Cuaca masih dingin walau matahari sudah naik di cakrawala. Arunika buru-buru mencari kelasnya. Ia masuk ke beberapa lorong kampus berbekal papan penunjuk arah.
"Kelas Ekonomi 2B," gumamnya membaca papan pengumuman. Namanya ada di sana di urutan ke delapan.
Arunika mencatat semua mata kuliah juga jamnya. Ia masuk setiap hari.
"Bismillah!' ujarnya sebelum masuk dalam kelas.
Belum banyak mahasiswa yang hadir, masih terlalu pagi, waktu masuk masih satu jam lagi. Salah satu staf kemahasiswaan mendatangi Arunika.
"Kamu siapa?' tanyanya.
'A-Arunika Bu," jawab Arunika lirih nyaris tak terdengar.
"Yang keras kalau ngomong! Kamu nggak bisu kan!' bentak staf itu membuat Arunika kaget.
"I-iya!" jawab Arunika, genangan di pelupuk matanya hampir saja tumpah.
'Jangan nangis! Apa jadinya hidup kamu kalau belum apa-apa udah nangis!' semprot Staf itu lagi.
"Ehem!' seseorang berdehem, staf dan Arunika menoleh.
'Bicara pelan juga bisa kali. Nggak usah bentak-bentak!' tegur remaja itu yang memakai almamater.
"Saya nggak bentak!' bantah staf.
'Suara Ibu kendegaran sampai ujung sana loh?' sahut remaja itu menatap santai staf yang keki.
'Saya cuma mau bilang. Pastikan kelasnya di jendela kantor staf kemahasiswaan di depan sana!' jawab Staf itu merendahkan suaranya sambil menunjuk kantor yang di maksud.
"Baik Bu, makasih!' ujar remaja laki-laki itu.
Staf pun pergi, remaja itu menatap Arunika yang masih kaget.
'Kamu nggak mau mastiin?' tanya remaja itu lembut.
Arunika hanya mengangguk, lalu ia menghapus cepat airmata yang sempat menetes akibat dibentak tadi.
Waktu berlalu, di kampus, matahari mulai meninggi, menyisakan terik yang memantul dari dinding gedung-gedung tua Salemba. Raka duduk di bangku semen dekat taman, menunduk sejenak sambil menyesap udara panas yang bercampur dengan aroma rerumputan. Matanya menyapu sekeliling, mencari sesuatu—atau lebih tepatnya, seseorang.
Ia yakin betul, jika Arunika mencari tempat untuk diam dan mengasingkan diri, ia pasti akan memilih taman. Tempat di mana suara burung bersaing dengan hiruk pikuk mahasiswa baru. Tempat di mana seseorang bisa duduk sendiri tanpa merasa sendirian.
Dan Raka tahu, itu sangat Arunika.
Namun satu jam ia menunggu, Arunika tak menampakkan diri di taman itu. Raka nyaris mengumpat. Ia seperti orang gila di sana.
“Kalau gini terus, aku nggak akan ketemu Arunika!” desisnya, menendang kerikil kecil di depannya.
Ia bangkit dari bangku semen, berjalan gontai ke arah gedung fakultas. Bayangan pepohonan tak cukup menutupi teriknya panas Jakarta. Sesekali ia mengusap keringat di pelipisnya dengan sapu tangan.
Di ujung lorong menuju ruang kelas, langkahnya terhenti. Ada sosok yang ia kenal—bahkan dari jauh. Rambut panjang itu, cara berjalannya yang selalu menunduk, dan buku tebal yang dipeluk erat di dada.
Arunika.
Ia baru saja keluar dari kantor staf kemahasiswaan, wajahnya masih sembab bekas tangisan. Raka spontan ingin melangkah maju, tapi tubuhnya kaku. Seolah-olah jarak beberapa meter itu terlalu jauh untuk ditembus.
Arunika melangkah pelan, menatap kertas jadwal yang tadi dicatatnya. Ia tidak menyadari tatapan Raka yang tak beranjak.
Raka menahan napas. Bibirnya bergerak tanpa suara.
“Akhirnya ketemu…”
Tapi tepat saat ia hendak memanggil, sekumpulan mahasiswa baru lewat, ramai berceloteh. Arunika ikut terseret dalam kerumunan, menghilang di balik pintu kelas.
Raka mendesah frustrasi.
“Hhhh… bahkan lihat dari dekat pun, aku masih belum bisa nyapa dia!"
“Eh… tadi di kelas yang mana ya?” Raka menatap bingung ke arah pintu-pintu kelas yang sudah menutup rapat. Lorong kampus sepi, hanya suara sandal dan sepatu mahasiswa yang sesekali terdengar.
“Hei! Kamu kelas mana?!” suara lantang membuat Raka kaget.
Seorang staf kemahasiswaan dengan tatapan tajam berdiri di dekat kantor kecilnya, menatap Raka yang tampak seperti mahasiswa tersesat.
“Ah… eh…” Raka menggaruk belakang kepala, gugup.
“Saya… Raka, Bu. Kelas Manajemen Teknik.”
“Ya ampun, jauh banget kamu ke sini! Ini blok Ekonomi. Kelas Manajemen Teknik itu di gedung sebelah, lantai dua!” staf itu mendengus, lalu menghampiri Raka.
Sebelum sempat ia menjelaskan lebih lanjut, tangan staf itu sudah menarik tas punggung Raka.
“Ayo, ikut saya. Kalau bukan saya, kamu bisa nyasar sampai sore di sini.”
Raka terpaksa mengikuti, langkahnya dipercepat agar tidak terseret. Dalam hati ia mendesah, separuh kesal, separuh lega.
“Ya ampun… gara-gara penasaran nyari Arunika, malah mau kelelep di jurusan orang…” pikirnya.
Mereka menyeberangi halaman kampus, melewati kerumunan mahasiswa baru yang asyik berfoto. Mata Raka sempat menoleh sekilas ke arah gedung Ekonomi, berharap bisa melihat sekilas bayangan yang ia cari.
Tapi yang terlihat hanya jendela-jendela tua yang sudah tertutup tirai.
“Hhhh…” Raka menghela napas panjang, sebelum akhirnya mengikuti staf itu menaiki tangga menuju lantai dua.
bersambung
kalau jodoh pasti ketemu.
Next?
kamu bisa datang d saat kamu sudah siap dalam hal apapun,buat ayah Purnomo terkesan dengan perjuangan mu