karya tamat, novel ini hanya pembentukan world-building, plot, dan lore kisah utama
kalian bisa membaca novel ini di novel dengan judul yang lain.
Karena penulisan novel ini berantakan, saya menulisnya di judul lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MagnumKapalApi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 - Menuju Bab 1 Bagian 2 (7)
Aku dan gadis elf itu bergegas melepaskan tali para sandra bandit.
Tanganku masih gemetar, tapi kupaksa tetap tenang. Sembari bercengkrama, kami membebaskan satu per satu ikatan para tawanan.
“Atuh, saya bisa bahasa manusia... tapi ngan sakedik,” ucap si gadis elf dengan logat aneh.
Dia benar-benar tipikal elf dunia fantasi: tubuh montok dengan proporsi memabukkan, dada dan paha semok, tapi perutnya ramping. Rambutnya hijau panjang berkilau, bulu mata lentik dengan sorot mata penuh welas asih. Hidungnya mancung, bibir tipis selembut kain satin, kulitnya putih, pipinya tirus. Bahkan alisnya… halus seperti kapas. Itu alis terindah yang pernah kulihat.
Dan tentu saja, telinga runcingnya khas elf. Aku dalam hati menamai itu “caplang elegan.”
“Cantik... mungkin lebih dari kata cantik jelita,” batinku, terpanah asmara—bukan cinta, hanya panah random yang mampir ke jantung.
Dengan senyum kecil, bibirku bergumam,
“...Aku kira kamu nggak bisa bahasa manusia.”
Elf itu menggeleng, dan entah kenapa, gerakan tubuhnya ikut memantul di bagian tertentu. Ya Tuhan, fokus woy!
“Emoh, saya bisa... tapi teu lancar, budaya beda,” jawabnya.
Lalu ia menatapku serius. “Anjeun anak manusia pemberani, anjeun saha?”
Setelah semua sandra bebas, kami duduk agak berjauhan dari jasad bandit yang mati mengenaskan. Para sandra menatapku—ada yang manusia, ada yang elf. Sandra manusia kebanyakan perempuan muda, bahkan ibu-ibu. Sandra elf? Usia mereka sulit ditebak.
Aku memang membuat konsep elf di dunia ini tidak jauh berbeda dari manusia: mereka hamil sembilan bulan, masa tumbuh kembang sama seperti manusia, hanya rentang usia lebih panjang. Manusia bisa hidup 60–100 tahun, elf 120–150 tahun, kadang ada yang sampai 200 tahun tapi jarang. Wajah mereka pun awet muda; umur 30 tetap terlihat remaja. Karena itu aku susah menebak usia mereka.
Alasan sebenarnya simpel: biar harem James nanti nggak kelihatan janggal. Kalau elf berumur 500 tahun jatuh cinta ke manusia umur 17... itu bukan romansa, itu nenek-nenek pikun yang halu jadi ABG.
“Aku Lala. Hanya anak petani,” jawabku singkat.
Sandra manusia menatap heran.
“Kamu masih anak-anak?”
Ya jelas saja heran, karena tubuhku ini baru 10 tahun.
“Ahh iya... aku baru sepuluh tahun. Kabur dari rumah gara-gara bertengkar sama orang tua,” kataku, setengah bohong.
Para sandra terdiam. Yang kulihat, semua sandra perempuan.
“Bandit ini pasti mau jual mereka jadi budak seks...” pikirku getir.
Elf berambut hijau itu bicara mewakili kaumnya.
“Nama saya Larasati... Saya teh tidak menyangka manusia juga menculik sesama rasnya.”
Larasati. Nama yang seindah wajahnya.
“Euy pisan, neng...” batinku, dengan suara khas Sule Sutisna.
Sandra manusia membalas, agak ketus.
“Tidak semua manusia jahat. Ada yang baik, ada yang busuk.”
Aku pun mengangguk. “Ya, itu benar.”
Waktu bergulir. Senja menjelang. Kami memutuskan berkemah di hutan sementara. Beberapa elf berburu, Larasati membalut luka sayatan di lenganku.
Kami duduk berdua. Larasati bicara lembut,
“Para sandra manusia sudah tidak punya rumah. Desa mereka habis diserang bandit...”
Aku terdiam.
“Keji sekali...” ucapku pelan.
“Tenang. Saya akan berbicara pada tetua elf. Mereka boleh tinggal di Pohon Kehidupan. Elf teh bijak, santun,” katanya, dengan nada bangga pada rasnya.
Euleuh euy... geulis pisan, terus nyunda maneh teh...
Aku pun jujur, menceritakan bahwa aku sedang menuju Gunung Lunagen mencari daun sirih perawan.
“Hmm, saya bisa bantu. Ada rerencangan saya seorang tamer. Bisa dia suruh kasih pet tunggangan buatmu, tanda terima kasih,” katanya.
Aku tak tahu siapa sebenarnya Larasati. Tokoh penting? NPC numpang lewat? Entahlah. Yang jelas rambut hijaunya bikin aku keinget adegan kartun ikan laut ketawa lihat burger hijau.
Malam pun turun. Kami makan hasil buruan elf bersama-sama. Sesaat dunia terasa indah, manusia dan elf duduk setara tanpa rasisme.
Tapi aku tahu, cepat atau lambat, benih diskriminasi bisa saja muncul. Ras mana pun selalu ada yang merasa superior.
“Kalau bisa, aku kabur aja... nggak usah masuk akademi.”
Sekilas terlintas pikiran itu. Tapi kemudian teringat butterfly effect—sistem sudah menegaskan. Kalau aku menyimpang dari outline, aku tidak tahu konsekuensinya.
Dan memang novel ini sudah melenceng sejak awal: para protagonis kecil lebih kuat dari semestinya, Ryan yang misterius, aku sebagai Lala—anomali ekstra—dan bayangan boss akhir Pe and Kob.
“Ya sudah lah, ikuti alur saja.”
Besok pagi elf akan kembali ke Pohon Kehidupan bersama para sandra manusia. Aku sempat ingin mengarahkan mereka ke Desa Carrington, tapi itu bisa menimbulkan masalah.
Malam itu aku tidur bersama Larasati. Dia penyayang anak-anak, dan karena tubuhku anak perempuan, dia memelukku hangat. Aku membenamkan wajah ke dadanya.
Dua buah surgawi...
“Kalau aku masih berbatang... pasti sudah tegang,” pikiranku sebagai pria dewasa menggeliat. Sayang sekali, sekarang aku hanya seorang gadis kecil dengan lubang.
Aku mendesah dalam hati,
“Dunia ini luas... seperti di Bumi. Semua ada sebab dan akibat.”
Dan malam itu, aku memutuskan untuk berhenti berpikir.
Tertidur di pelukan Larasati.
Contoh salah: "Aku lelah." keluhku.
Contoh benar: "Aku lelah," keluhku.
Terimakasih sebesar-besarnya, tanpa kalian saya tidak akan pernah menyelesaikan rangka awal kisah ini.
Terimakasih untuk para reader yang sudah membaca kisah ini hingga volume 1 selesai.
Terimakasih atas dukungan kalian selama ini.
Novel ini tamat dalam bentuk naskah kasar. Saya berniat merapihkannya nanti dengan sudut pandang orang ketiga.
Sekali lagi saya ucapkan terimakasih.
Aku menunduk lebih dekat. "Apa-apaan ini …." bisikku, tenggorokanku kering.
Celah itu melebar. Dari dalam, sesuatu merayap keluar, sebuah tangan legam, berasap seakan bara membakar udara di sekitarnya. Jari-jari panjangnya menancap di tepi layar, mencengkeram kuat, lalu menarik celah itu lebih lebar, seperti seseorang membuka pintu ke dunia lain.
Tangan itu terhenti. Perlahan, satu jari terangkat … lalu berdiri tegak. Jari tengah.
Narasi ini jauh lebih baik dan lebih enak dibaca.
Kesannya lebih menyesakkan dan ada tekanan batin. Karena si MC ini tau, kalau dia kabur dari rumah tersebut. Orang tua asli dari tubuh yang ditempati oleh MC, akan khawatir dan mencarinya.