Dikhianati oleh suami dan adiknya sendiri, Putri Wei Lian menyaksikan keluarganya dihukum mati demi ambisi kekuasaan. Di saat nyawanya direnggut, ia berdoa pada langit—dan mukjizat terjadi. Ia terbangun sebulan sebelum perjodohan maut itu terjadi. Dengan tekad membara, Wei Lian berjuang membatalkan takdir lamanya dan menghancurkan mereka yang menghancurkannya. Tanpa ia tahu, seorang pria misterius yang menyamar sebagai rakyat biasa tengah mengawasinya—seorang kaisar yang hanya menginginkan satu hati. Saat dendam dan cinta bersilangan, akankah takdir berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Di Luoyang, Istana Dalam
Putra Mahkota Ren Yao berdiri di aula pelatihan, mengayunkan pedangnya berulang-ulang ke arah patung kayu. Suara tebasan bergema seperti kemarahan yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata.
“Kau yakin mereka gagal?” tanyanya pada pria berlutut di belakangnya.
Pria itu panglima pengintai bayangan berlutut dengan tubuh gemetar. “Pang Zhi... tidak kembali. Kami kehilangan sinyal dari tim di Hutan Liang. Kemungkinan besar… semuanya musnah.”
Ren Yao mengatupkan rahang.
“Dan Wei Lian?”
“Masih belum kembali ke kota. Tapi... ada desas-desus bahwa seseorang sangat mirip dengan Jenderal Wei terlihat di perbatasan.”
Putra Mahkota membanting pedangnya hingga patah. “Kau tahu apa yang terjadi jika rumor itu benar?! Jika ayahnya masih hidup, maka pengaruh militerku akan runtuh!”
Pria di lantai tak berani bicara.
Ren Yao memutar tubuh, matanya merah. “Jika perlu... kita bakar kota Luoyang untuk membungkam semua mulut.”
—
Sementara itu, di luar Luoyang
Wei Lian dan rombongan beristirahat di rumah penginapan rahasia yang dimiliki keluarga Mo terletak di tengah ladang gandum luas, di bawah kaki bukit.
Jenderal Wei masih lemah, tapi perlahan mulai bisa duduk sendiri dan makan dengan tenang. Mo Yichen menyewa tabib khusus dari Hanbei yang ahli mengobati trauma akibat penyiksaan.
Di ruang belakang, Wei Lian duduk berdiskusi dengan Mo Yichen, Zhao Jin, dan Yan’er.
“Aku tak bisa sembunyi terlalu lama,” kata Wei Lian. “Putra Mahkota pasti akan mencium keberadaan ayah. Dan aku yakin, dia akan segera bertindak.”
Mo Yichen membuka gulungan peta.
“Aku telah mengatur pertemuan rahasia dengan sekutu kepercayaan Kaisar tua Hanbei. Mereka bersedia membawa ayahmu ke Hanbei di sana, dia bisa dipulihkan dengan aman, jauh dari jangkauan istana Luoyang.”
“Tapi kalau Jendral ke Hanbei,” ujar Yan’er, “kita kehilangan saksi utama untuk membalikkan semua tuduhan.”
Wei Lian terdiam.
Zhao Jin menimpali, “Kecuali... kita mainkan dua langkah sekaligus. Bawa salinan laporan medis dan bukti penyiksaan. Gunakan surat perintah kuno dari Kaisar yang pernah ditulis untuk Jenderal Wei aku bisa menirunya dengan tinta dan materai yang hilang selama lima tahun ini.”
Mo Yichen mengangguk. “Lalu kau, Wei Lian, tetap di sini. Bukan untuk sembunyi... tapi untuk mengakhiri semuanya.”
Malam itu
Mo Yichen dan Wei Lian berdiri berdua di bawah bulan purnama. Angin berembus pelan, mengibaskan rambut mereka.
“Kau akan kembali ke istana, bukan?” tanya Mo Yichen.
Wei Lian menatapnya. “Aku harus. Kalau tidak, mereka akan tetap menganggap keluarga kami pengkhianat. Aku tak bisa membiarkan itu.”
Mo Yichen mengambil sesuatu dari balik jubahnya.
Sebuah jimat kayu berukir naga terbang lambang rahasia kaisar Hanbei.
“Jika suatu hari kau benar-benar dalam bahaya, hancurkan ini. Tak peduli aku di mana… aku akan datang.” pesan Mo Yichen
Wei Lian menatap jimat itu. Tangannya gemetar sedikit. “Kau terlalu banyak menolongku.”
Mo Yichen tersenyum. “Kalau begitu, balas bantuanku… dengan tetap hidup.”
Wei Lian mengangguk. Dan untuk pertama kalinya, ia mengulurkan tangan... dan menggenggam tangan Mo Yichen erat.
Diam-diam, jauh dari mata dunia, api kecil mulai tumbuh. Bukan dendam… tapi harapan yang perlahan mekar dari kepercayaan.
—
Keesokan paginya
Rencana dimulai. Jenderal Wei dibawa secara rahasia ke Hanbei dengan perlindungan Zhao Jin dan tabib.
Wei Lian kembali ke Luoyang, ditemani Yan’er dan Ah Rui, yang tetap berkeras tak ingin ditinggal.
Di balik tirai kereta, Wei Lian berkata pelan:
“Perjalanan ini... mungkin akan membawaku ke akhir.”
Yan’er menjawab datar, “Dan jika itu terjadi, kau akan kami tarik kembali, meski harus memukul kaisar sekalipun.”
Ah Rui menambahkan, “Dan kalau kau terluka lagi, aku tak mau masak selama setahun.”
Wei Lian tertawa kecil, menahan air mata. “Kalau begitu... mari kembali ke medan perang.”
—
Gerbang Luoyang tampak megah seperti biasa menjulang tinggi dengan atap berlapis emas dan patung naga di kedua sisi. Namun bagi Wei Lian, gerbang ini adalah mulut naga yang siap menelan siapa pun yang berani kembali ke dalamnya.
Di dalam kereta berlapis kayu gelap, ia duduk tenang mengenakan jubah putih gading. Di sampingnya, Yan’er berdiri sambil memantau keadaan lewat celah jendela kecil. Sementara Ah Rui terus mengomel karena tidak diperbolehkan membawa wajan masuk istana.
“Aku hanya butuh satu wajan! Satu! Bagaimana kalau kita diserang dan aku harus menyelamatkan nona Wei dengan teknik ‘Tebasan Teratai Wajan Terbalik’?!”
Wei Lian tak bisa menahan senyum tipis. Meski detak jantungnya menggema keras, keberadaan dua orang terdekatnya ini membuat beban sedikit lebih ringan.
“Aku akan baik-baik saja,” gumamnya pelan. “Kita tak datang dengan tangan kosong kali ini.”
Bersambung