Banxue tidak pernah meminta kekuatan—apalagi anugerah terkutuk berupa Tubuh Surgawi—kekuatan kuno yang diburu oleh sekte-sekte suci dan klan iblis sekaligus. Ketika masa lalunya dihancurkan oleh pengkhianatan dan masa depannya terancam oleh rahasia, ia memilih jalan sunyi dan pedang.
Dalam pelarian, dikelilingi oleh teman-teman yang tak sepenuhnya bisa ia percaya, Banxue memasuki Sekte Pedang Azura… hanya untuk menyadari bahwa kepercayaan, sekali retak, bisa berubah menjadi senjata yang lebih tajam dari pedang manapun.
Di tengah ujian mematikan, perasaan yang tak diucap, dan badai takdir yang semakin mendekat, Banxue harus memilih: berjuang sendirian—atau membiarkan seseorang cukup dekat untuk mengkhianatinya lagi?
Di dunia di mana kekuatan menentukan nilai diri, sejauh apa ia akan melangkah untuk merebut takdirnya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimlauyun45, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pembuktian
Langit menjelang sore berganti warna menjadi jingga keemasan. Lonceng latihan berbunyi dua kali dari menara barat, menandakan dimulainya sesi latihan lanjutan bagi murid pilihan. Namun kali ini, hanya segelintir yang diundang.
Banxue melangkah ke dalam arena latihan bagian dalam. Tanahnya sudah diperkeras dengan formasi batu spiritual yang akan memantulkan kekuatan serangan dan menekan qi secara otomatis. Ia tahu, tempat ini bukan untuk murid biasa.
Di tepi lapangan, Tetua Mo berdiri dengan tangan terlipat di balik punggung. Wajahnya tampak lebih serius dari biasanya.
“Kau dipanggil ke sini bukan karena prestasimu,” ucapnya tanpa basa-basi. “Tapi karena kekacauan yang tak bisa diabaikan.”
Banxue menatap lurus, tak menjawab.
“Jika memang tubuhmu menyimpan sesuatu... kita akan mengujinya hari ini.”
Ia mengangguk, kemudian berdiri di tengah lapangan. Di sekelilingnya, sejumlah formasi mulai menyala samar, membentuk pola seperti bunga delapan kelopak.
Sementara itu, dari balkon atas, dua sosok mengamati diam-diam: salah satunya Jingyan, bersandar malas pada pagar batu, dengan buah plum di tangan.
“Dites, ya?” gumamnya. “Kasar amat caranya.”
Di sebelahnya, Tetua wanita berjubah ungu yang sebelumnya panik saat insiden di aula, tampak mengamati dengan sorot penuh perhitungan. “Anak itu... bukan tubuh surgawi biasa.”
Jingyan hanya tertawa kecil, “Aku tahu. Karena itulah aku di sini.”
Kembali ke arena, energi mulai berkumpul. Batu-batu di bawah kaki Banxue memancarkan tekanan hebat, seolah ingin menelannya hidup-hidup. Tapi ia tetap berdiri. Tenang. Seolah tubuhnya telah terbiasa dengan rasa sakit.
Tiba-tiba, formasi menyerang. Serangkaian proyektil qi menembak dari delapan arah, menyilang ke arah jantung, kepala, dan kaki. Namun semua itu tak menyentuhnya. Banxue hanya melangkah satu inci ke kiri—lalu ke kanan. Seolah membaca arah serangan sebelum datang.
Tetua Mo menyipitkan mata. “Gerakanmu... seperti mengingat. Bukan refleks biasa.”
Banxue terdiam. Matanya mengabur oleh cahaya qi, namun tubuhnya bergerak nyaris tanpa pikir.
"Aku pernah merasakan ini... bukan mimpi, tapi seolah tubuhku tahu bagaimana bertahan."
Ia melompat, berputar di udara, dan menghancurkan proyektil dengan gelombang qi berbentuk setengah lingkaran.
Benturan itu mengguncang lapangan. Batu-batu spiritual retak.
Dari atas, Jingyan bersiul. “Cantik. Kalau seperti ini, aku akan makin sulit melepaskan pandangan.”
Tetua wanita meliriknya dengan jengkel. “Kau datang ke sini untuk membantu pengamatan, bukan menggoda murid.”
“Tapi kalau muridnya secantik itu saat marah, bagaimana aku bisa tenang?” balasnya ringan.
Sementara itu, Banxue jatuh berlutut, napasnya tersengal. Tubuhnya terasa terbakar dari dalam. Namun ia tak menyerah.
“Aku belum selesai...” gumamnya, tangan mengepal di atas tanah retak.
Formasi menyala sekali lagi.
Dan ia berdiri kembali.
Banxue terengah di tengah arena. Saat latihan berakhir, langit sudah mulai gelap. Murid pengawas perlahan membubarkan formasi, dan Tetua Mo hanya memberikan anggukan singkat sebelum pergi tanpa sepatah kata pun.
Langkah Banxue terhuyung keluar dari lapangan, peluh membasahi pelipisnya. Tapi sebelum ia benar-benar sampai ke pintu keluar, suara santai yang sangat ia kenal terdengar dari samping.
“Hebat juga. Aku kira kau akan pingsan di serangan kedua.”
Banxue berhenti. “Kenapa kau di sini?”
Jingyan bersandar pada dinding dengan tangan terlipat, rambut peraknya menyapu bahu. Di tangan kirinya, masih ada buah plum yang belum selesai dimakan.
“Aku? Aku cuma lewat. Tapi entah kenapa, aku selalu ‘kebetulan’ ada saat kau sedang diuji.” Senyumnya muncul, tipis dan mengganggu.
Banxue mendesah. “Apa kau tidak punya hal lain untuk dilakukan selain menguntit?”
“Kalau aku bilang, tugasku memang memantau yang menarik... apa kau akan marah?”
Ia menatapnya tajam. “Aku bukan tontonan.”
Jingyan melangkah mendekat, hanya satu langkah lagi dan bayangannya menutupi tubuh Banxue. Tapi ia berhenti, tidak menyentuh.
“Bukan tontonan,” ulangnya, kali ini lebih lembut. “Tapi seseorang yang sedang tumbuh... seperti api kecil yang pelan-pelan membakar dunia di sekitarnya. Dan aku... ingin tahu ke mana apimu akan menyala.”
Banxue terdiam. Sorot matanya masih keras, tapi ada satu denyut asing di dadanya—seperti percikan, bukan dari latihan barusan.
“Kalau kau tak ingin ikut terbakar... jauhi aku.”
Jingyan tertawa pelan. “Terlambat, Banxue. Mungkin aku sudah terbakar sejak pertemuan pertama.”
Ia membalikkan tubuhnya dengan santai, berjalan menjauh tanpa menoleh lagi.
Dan Banxue hanya berdiri di sana, menatap punggungnya menjauh, dengan pikiran yang tak bisa ia hentikan. Untuk pertama kalinya... ia merasa bukan hanya ditakdirkan bertarung. Tapi juga... ditantang untuk merasakan.