Trauma masa lalu, membuat Sean Alarick Aldino enggan mengulangi hal yang dianggapnya sebagai suatu kebodohannya. Karena desakan dari ibundanya yang terus memaksanya untuk menikah dan bahkan berencana menjodohkannya, Sean terpaksa menarik seorang gadis yang tidak lain adalah sekretarisnya dan mengakuinya sebagai calon istri pilihannya.
Di mata Fany, Sean adalah CEO muda dan tampan yang mesum, sehingga ia merasa keberatan untuk pengakuan Sean yang berujung pernikahan dadakan mereka.
Tidak mampu menolak karena sebuah alasan, Fany akhirnya menikah dengan Sean. Meskipun sudah menikah, Fany tetap saja tidak ingin berdekatan dengan Sean selain urusan pekerjaan. Karena trauma di masa lalunya, Sean tidak merasa keberatan dengan keinginan Fany yang tidak ingin berdekatan dengannya.
Bagaimana kisah rumah tangga mereka akan berjalan? Trauma apakah yang membuat Sean menahan diri untuk menjauhi Fany?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Queisha Calandra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 17.
Author's POV.
Sejak saat itu, Sean tidak lagi bermalam di ruang kerjanya. Ia dan Fany sudah berdamai dan tidur bersama di atas ranjang yang sama. Meskipun begitu, Sean tetap tidak menyentuh Fany selayaknya istri. Hanya saja Sean tetap memperlakukan Fany dengan penuh kasih sayang. Setiap malam ia selalu memeluk Fany dalam tidurnya. Ia merasa lebih nyaman saat memeluk Fany dibandingkan tidur sendiri dan memeluk bantal.
Mulai hari ini, Sean sudah mengizinkan Fany untuk kembali bekerja di kantor. Hal itu pula yang membuat Sean lebih bersemangat bekerja.
"Malam ini, kita harus pergi ke pesta pernikahan Sania. Aku tidak ingin kamu menolak." Ujar Sean datar seperti biasa saat berhadapan dengan Fany di kantor.
"Tapi Sean. Pergi denganku sama saja akan mengundang masalah. Mereka bisa saja tahu tentang hubungan kita." Tolak Fany.
"Sebesar itukah keinginanmu untuk menutupi hubungan kita yang sebenarnya? " Tanya Sean, Fany terdiam tidak dapat menjawab, antara bingung dan tidak tahu apa yang harus ia katakan, sebenarnya kini ia tidak memiliki alasan lagi untuk menutupi hubungan mereka dari publik. "Dengan apa yang sudah ku katakan padamu, masihkah hubungan kita hanya ada di dalam buku pernikahan kita saja?" Tanya Sean lagi.
"Tidak, Sean. Maksudku, baiklah aku akan pergi bersamamu." Jawab Fany akhirnya.
"Jawaban yang cerdas. Sekarang pergilah beristirahat. Jangan terlalu lelah, persiapkan dirimu untuk nanti malam." Ucap Sean.
"Baik." Jawab Fany, kemudian Sean meninggalkan Fany di ruangannya dan pergi entah kemana, Fany juga tidak tahu.
Sean meraih ponselnya untuk menelfon ibunya untuk meminta bantuan ibunya menyiapkan satu gaun cantik untuk Fany. Untuk segala keperluan perempuan, Sean selalu meminta bantuan ibunya untuk mengatasinya. Tapi, syukurlah selama ini pilihan ibunya selalu pas bagi Sean.
........
"Sialan, kenapa Selera mommy jadi seperti ini sekarang?" Batin Sean dalam hati begitu ia masuk ke dalam gedung pernikahan Sania bersama Fany. Sebenarnya bukan masalah gaun yang Fany pakai terlalu buruk, tapi tubuh Fany jadi terlihat seksi dengan gaun dengan model belahan dada rendah dan juga bagian belakang yang mengekspose sebagian punggungnya. Pria mana pun pasti tidak akan melewatkan pemandangan seperti itu. Dan Sean tidak suka miliknya jadi bahan tontonan pria lain.
"Ada apa, Sean? Apa ada masalah dengan gaunnya? Ini mom yang kasih lo." Tanya Fany bingung begitu Sean melepaskan jasnya dan memakaikannya pada Fany untuk menutupi bagian atas tubuhnya.
"Tidak. Hanya saja di ruangan ini agak dingin. Aku takut kamu masuk angin nanti." Jawab Sean. Mendengar jawaban Sean, Fany agak bersemu, mungkinkah Sean masih perhatian padanya sampai seperti itu? Apa benar Sean masih menerimanya?
"Tapi, apa sopan datang ke pesta dengan jas kamu yang kupakai seperti ini?" Tanya Fany sambil mengamati penampilannya yang tidak lebih baik dari sebelumnya.
"Kita hanya sebentar. setelah mengucapkan selamat, kita langsung pulang." Jawab Sean datar sambil mencari-cari dimana pasangan pengantin yang telah mengundangnya itu.
"Ayo!" Ujar Sean setelah menemukan apa yang ia cari. Sean pun menggandeng lengan Fany sambil berjalan menghampiri pemilik pesta.
"Sean, kau datang juga." Ujar Sania yang masih terlihat cantik dengan make up tebal dan gaun pengantin yang membungkus tubuhnya.
"Selamat atas pernikahan kalian!" Ucap Sean. Sania memperhatikan Fany kemudian ia mengerutkan keningnya.
"Dia pasanganmu?" Tanya Sania.
"Iya." Jawab Sean.
"Apa dia baik-baik saja?" Tanya Sania menyadari jas Sean yang bertengger di pundak Fany.
"Tidak apa-apa. Dia hanya sedang kurang fit saja." Jawab Sean.
"Oh." Sania mengangguk - anggukkan kepalanya. Sean memperhatikan jam di tangannya sekilas.
"Maaf, kami buru-buru. ada acara lain yang harus kami hadiri. Maaf tidak bisa berlama-lama." Ucap Sean.
"Tidak apa-apa, Sean. Terimakasih sudah hadir." Jawab Sania. Sean mengangguk dan mengajak Fany pergi.
Fany's Pov.
Sejak keluar dari gedung itu, Sean terlihat diam. Apa yang sebenarnya sedang terjadi padanya? Selama perjalanan pulang pun ia tidak mengatakan apa-apa. Apa Sean masih menyimpan perasaan pada Sania dan kecewa karena wanita itu kini sudah menikah lagi?
Bahkan saat kami masuk ke dalam kamar kami pun Sean tetap diam. Tatapannya sulit diartikan, seperti seseorang yang sedang menahan sesuatu.
"Sean." Tegurku.
"Fan, seandainya tidak pernah terjadi apa-apa padamu waktu itu, apakah kau akan tetap bersedia hidup bersamaku?" Tanyanya. Tidak tahu kenapa dia bisa bertanya seperti itu, apa sejak tadi ia diam karena memikirkan hal ini?
"Entahlah, Sean. Aku juga tidak tahu." Jawabku.
"Aku sudah tahu jawabannya, Fan. Kau boleh pergi sekarang!" Ucapnya lagi.
"Apa maksudmu, Sean?" Tanyaku bingung. Kemarin dia yang ingin menahanku agar tetap bersamanya, dan sekarang dia yang memintaku pergi? Apa ada yang salah?
"Tidak pernah terjadi sesuatu padamu sebelumnya. Kau suci." Jawab Sean.
"Apa maksudmu, Sean? Darimana kau bisa tahu?" Tanyaku penasaran. Benarkah waktu itu tidak terjadi apa-apa padaku? Tapi, kenapa aku tidak bisa mengingat apa-apa terkait kejadian waktu itu?
"Aku sudah mendengarnya dari mereka yang kini sudah mendekam di penjara. Mereka belum sempat melakukannya." Jawabnya. Sulit dipercaya, apa Sean melakukan ini di belakangku?
"Sean,"
"Pergilah, aku tidak akan menahanmu lagi. Kau bebas sekarang." Ucapnya.
"Sean bukan seperti itu maksudku." Kataku membela diriku sendiri.
"Fan, jika suatu hari nanti, aku tidak bisa menahan diriku lagi, aku tidak ingin menyesal seumur hidupku. Please! Pergilah sejauh kau bisa!" Ucapnya lagi. Sebenarnya ada apa dengannya? Kenapa ia bisa berubah-ubah seperti ini?
"Tidak, Sean. Aku akan terus bersamamu apapun yang terjadi." Jawabku akhirnya. Aku merasa tidak rela jika harus meninggalkan Sean. Entahlah, mungkin benar, hati ini mulai terbuka untuknya.
"Fan, pikirkan sekali lagi! Ini adalah kesempatan bagus untuk bebas dariku. Kesempatan tidak akan datang dua kali." Ujarnya pelan.
"Aku sudah memutuskan akan tetap bersamamu. Sampai kapanpun." Kataku. "Kecuali, saat kau menyakitiku. Aku akan pergi." Lanjutku.
"Katakan alasannya, Fan!" Ujarnya.
"Karena aku lebih suka bersamamu daripada dimana pun tanpa kamu." Jawabku.
"Kamu tahu, kamu tidak akan bisa lepas dariku setelah mengatakan itu?" Tanyanya.
"Sean, aku sudah memutuskan untuk berdamai denganmu. Aku memutuskan untuk menerima keadaan. Aku emmmpph." Ucapku tertahan karena Sean tiba-tiba mencium bibirku dan sepertinya enggan melepaskan ku.
Ciuman yang begitu mengikat dan menuntut. Ini bukan yang pertama bagiku. Sean pernah menciumku sebelumnya. Tapi, rasanya sangat berbeda. Kali ini aku begitu menikmati sentuhan Sean daripada dulu.
"Sean, huh... Hah... Huh... Kau hampir membuatku kehabisan nafas." Ujarku setelah ciuman yang cukup lama itu berakhir.
"Maaf! Aku hanya terlalu senang." Ucapnya sambil tersenyum tipis.. "Sean, apa kamu benar-benar mencintaiku?" Tanyaku penasaran apakah waktu itu ia berkata jujur atau hanya mencari alasan agar aku tetap bersamanya saja.
"Mau bukti?" Tantangnya.
"Tentu saja." Jawabku. Detik berikutnya tubuhku terangkat di udara dan mendarat di atas ranjang. Sean menindih ku sambil menyeringai penuh kemenangan.
"Yakin mau bukti?" Tanyanya lagi. Aku tertawa kecil sambil mengangguk. Jika malam ini harus berlalu dengannya. Maka terjadilah. Aku sudah memutuskan untuk tetap disampingnya dan memberikan seluruh hidupku padanya. Jadi, jika memang aku masih memiliki selaput daraku, aku akan membiarkan Sean untuk mengambilnya.
........
Bersambung...