Di hari pernikahannya, Farhan Bashir Akhtar dipermalukan oleh calon istrinya yang kabur tanpa penjelasan. Sejak saat itu, Farhan menutup rapat pintu hatinya dan menganggap cinta sebagai luka yang menyakitkan. Ia tumbuh menjadi CEO arogan yang dingin pada setiap perempuan.
Hingga sang ayah menjodohkannya dengan Kinara Hasya Dzafina—gadis sederhana yang tumbuh dalam lingkungan pesantren. Pertemuan mereka bagai dua dunia yang bertolak belakang. Farhan menolak terikat pada cinta, sementara Kinara hanya ingin menjadi istri yang baik untuknya.
Dalam pernikahan tanpa rasa cinta itu, mampukah Kinara mencairkan hati sang CEO yang membeku? Atau justru keduanya akan tenggelam dalam luka masa lalu yang belum terobati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
“Ini pasti sakit banget, ya mas?” gumam Kinara.
Ia meniup pelan tangan Farhan sebelum membersihkan lukanya, gerakannya sungguh hati-hati dan penuh perhatian. Setiap kali Farhan meringis kecil, Kinara refleks berhenti.
“Maaf ya, Mas,” katanya lirih dan membuat Farhan hanya menggeleng pelan.
“Nggak apa-apa.”
Ia memperhatikan Kinara dalam diam.
Wajah wanita itu yang begitu cemas. Cara tangannya yang sedikit gemetar saat membalut luka. Dan cara matanya yang fokus mengobatinya, seolah dunia di sekitarnya lenyap. Saat istrinya itu tengah membalut lukanya dengan perban, Farhan kembali teringat dengan perkataan ayahnya mengenai wanita yang ia pilih untuk menjadi istrinya.
“Ayah yakin kalau Kinara adalah wanita yang berbeda, Farhan. Dia bisa menjadi istri yang baik. Dan mungkin, dia yang bisa menyembuhkan luka di hatimu.”
Dulu ia menertawakan perkataan ayahnya itu dan menganggapnya sebagai omong kosong belaka, namun sekarang, Farhan merasa kalau apa yang dikatakan oleh ayahnya itu memang benar.
"Kinara, kenapa kau mau menikah denganku dan memperlakukan aku dengan baik seperti ini? Apa kau tidak takut pada laki laki monster seperti ku?" Tanya Farhan pelan sembari menatap wajah Kinara dalam dalam.
Kinara mengangkat wajahnya dan menatap wajah suaminya dengan lembut.
"Karena saat melakukan sholat istikharah, wajah mas Farhan lah yang aku lihat. Aku percaya kalau Tuhan pun ingin aku menjadi pasanganmu mas. Dan aku, sama sekali tidak takut dengan mas Farhan. Dan ya, jangan pernah sekali-kali mas menyebut diri mas sebagai monster karena mas adalah suamiku. Dan aku tidak mau mas menjelekkan diri mas sendiri dihadapan ku." Ucap Kinara yang membuat Farhan terdiam mendengar jawaban Kinara.
Setelah perban terikat rapi di tangan Farhan, Kinara menghela napas pelan. Dadanya terasa sedikit lebih ringan, meski rasa khawatir itu belum benar-benar pergi. Ia memastikan tidak ada lagi darah yang merembes di tangan suaminya, lalu menepuk perban itu dengan pelan, seolah-olah ia sedang menenangkan anak kecil.
“Sudah,” ucapnya lirih. “Lukanya jangan kena air dulu, ya, Mas.”
Farhan mengangguk pelan. Pandangannya masih tertuju pada tangan kanannya yang kini terbalut perban putih bersih. Ada perasaan asing yang mengendap di dadanya. Bukan nyeri. Bukan marah. Tapi sesuatu yang hangat dan membuatnya tidak nyaman sekaligus.
Kinara berdiri, merapikan ujung gaunnya yang masih sedikit kusut. Matanya kemudian melirik ke arah lantai kamar yang dipenuhi pecahan kaca. Kilauannya memantulkan cahaya lampu dengan dingin, kontras dengan suasana yang baru saja terasa hangat.
“Mas, sebaiknya Mas ke kamar dulu,” katanya pelan namun tegas. “Tunggu aku di sana. Aku mau bersihkan pecahan kacanya dulu. Bahaya kalau dibiarkan.”
Farhan langsung menoleh. Alisnya mengerut tipis.
“Biar aku saja—”
“Jangan,” potong Kinara cepat yang suaranya terdengar pelan tapi jelas. “Tangan Mas masih luka. Aku nggak mau lukanya makin parah.”
Ia melangkah satu langkah menjauh, berniat mengambil sapu dan alat pel. Namun baru saja kakinya bergerak, sesuatu menahan langkahnya. Kinara menunduk pelan dan mendapati tangan Farhan menggenggam tangannya. Kinara terdiam, jantungnya berdegup lebih cepat tanpa izinnya.
Farhan pun terdiam. Genggamannya sedikit mengencang lalu melonggar, seolah ia sendiri ragu dengan apa yang sedang ia lakukan. Pandangannya tidak berani langsung menatap Kinara. Rahangnya menegang, sementara napasnya terdengar berat.
“Aku, aku minta maaf.” ucap Farhan dengan suaranya yang serak dan nyaris tertelan. Membuat Kinara menoleh sepenuhnya ke arahnya.
“Maksud Mas?”
Farhan akhirnya mengangkat wajahnya. Matanya tidak lagi terlihat keras seperti tadi. Ada lelah dan juga penyesalan yang tidak bisa ia tutupi.
“Aku sudah mendorongmu, Sampai kamu jatuh.” katanya dengan lirih.
Kalimat itu keluar dengan susah payah, seolah ia harus menyingkirkan tembok tinggi di dadanya untuk mengucapkannya.
“Aku seharusnya tidak melakukan itu.”
Kinara menatap suaminya selama beberapa detik. Tatapan yang tidak menghakimi. Tidak juga dingin. Dan itu justru membuat Farhan merasa lebih kecil dari sebelumnya. Perlahan, Kinara membalas genggaman tangannya. Jemarinya yang hangat menyelip di antara jari jari Farhan dan membuat laki-laki itu tertegun.
“Mas, aku sudah memaafkan mas jauh sebelum mas meminta maaf kepadaku.” ucap Kinara dengan lembut yang membuat Farhan terkejut. Matanya sedikit membesar.
“Kamu tidak marah?”
Kinara menggeleng pelan.
“Kalau aku marah, aku tidak akan kembali berdiri dan memeluk Mas tadi,” jawab Kinara dengan jujur. “Aku tahu Mas tidak bermaksud menyakitiku. Mas cuma sedang terbawa emosi.”
Farhan menunduk. Dadanya kembali terasa sesak, tapi kali ini bukan karena amarah.
“Aku bukan istri yang sempurna, mas.” lanjut Kinara pelan. “Aku juga bisa takut. Bisa sedih. Tapi aku memilih tetap di sini, Mas. Jadi, Mas tidak perlu merasa sungkan padaku. Dan jangan simpan semuanya sendiri.”
Genggaman Farhan mengendur. Tangannya perlahan turun, tapi bukan karena ingin melepaskan. Melainkan karena ia takut, kalau ia bertahan lebih lama, perasaannya akan benar-benar runtuh. Kinara tersenyum kecil. Senyum yang tidak berlebihan, tapi cukup untuk membuat ruangan itu terasa sedikit lebih hangat.
“Sekarang, mas ke kamar ya. Istirahat. Aku mau membersihkan kamar ini sebentar.” ujar Kinara sambil menarik tangannya pelan.
Farhan mengangguk. Kali ini tanpa perlawanan.
Saat ia melangkah pergi, Farhan sempat menoleh sekali lagi. Kinara sudah berjongkok dan mulai mengumpulkan pecahan kaca dengan hati-hati. Punggungnya terlihat kecil di ruangan sebesar itu. Rapuh. Tapi entah kenapa, justru terlihat sangat kuat. Untuk pertama kalinya sejak malam itu dimulai, Farhan menyadari satu hal yang membuat dadanya bergetar pelan, kalau ia tidak sendirian lagi.
Dan mungkin untuk pertama kalinya juga, ia tidak perlu melawan semua rasa sakit itu sendirian.
Beberapa saat kemudian, setelah Kinara memastikan tidak ada lagi serpihan kaca yang tersisa di kamar itu, ia menghela napas panjang. Tangannya terasa pegal, lututnya sedikit terasa nyeri karena terlalu lama berjongkok, tapi hatinya justru terasa lebih lega. Kamar yang tadi menjadi saksi kemarahan dan luka Farhan kini kembali sunyi dan bersih. Seolah-olah rasa sakit yang tadi pecah bersama kaca perlahan ikut tersapu pergi.
“Mas,” gumam Kinara lirih. Ia tahu, luka di tangan Farhan mungkin akan sembuh dalam beberapa hari. Tapi luka di hati suaminya itu entah berapa lama akan sembuh.
Ia melangkah keluar kamar dan menutup pintunya perlahan. Suara langkah kakinya menggema pelan di lorong rumah yang luas dan masih terasa asing. Rumah ini indah, tapi juga sunyi. Terlalu sunyi untuk pasangan yang baru saja menikah.
Kinara berhenti di depan sebuah pintu besar berwarna cokelat tua dengan ukiran sederhana namun cantik. Ia tahu, inilah kamar yang disiapkan untuknya dan Farhan.
Kamar mereka.
Tangannya terangkat, sementara hatinya merasa ragu sejenak sebelum menyentuh gagang pintunya. Kinara merasakan jantungnya berdetak lebih cepat tanpa ia minta. Ada rasa gugup yang tiba-tiba menyeruak, bercampur dengan harap dan takut dalam kadar yang sama.
Untuk mencapainya, Allah subhanahu wata'ala telah memberi pedoman dalam Al-Qur'an, dan Rasulullah SAW telah menjadi tauladan untuk meraih keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Bahwasannya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah berarti menciptakan rumah tangga yang tenang (sakinah), penuh cinta (mawaddah), dan kasih sayang (warahmah) dengan landasan kuat pada keimanan dan ketaqwaan,
dapat tercapai jika suami istri saling memenuhi peran dan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya...😊
Aku ikut terharu membaca Bab22 ini, hati jadi ikut bergetar...👍/Whimper//Cry/