NovelToon NovelToon
GAZE

GAZE

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Duniahiburan / Matabatin
Popularitas:777
Nilai: 5
Nama Author: Vanilla_Matcha23

“Setiap mata menyimpan kisah…
tapi matanya menyimpan jeritan yang tak pernah terdengar.”

Yang Xia memiliki anugerah sekaligus kutukan, ia bisa melihat masa lalu seseorang hanya dengan menatap mata mereka.

Namun kemampuan itu tak pernah memberinya kebahagiaan, hanya luka, ketakutan, dan rahasia yang tak bisa ia bagi pada siapa pun.

Hingga suatu hari, ia bertemu Yu Liang, aktor terkenal yang dicintai jutaan penggemar.
Namun di balik senyum hangat dan sorot matanya yang menenangkan, Yang Xia melihat dunia kelam yang berdarah. Dunia penuh pengkhianatan, pelecehan, dan permainan kotor yang dijaga ketat oleh para elite.

Tapi semakin ia mencoba menyembuhkan masa lalu Yu Liang, semakin banyak rahasia gelap yang bangkit dan mengancam mereka berdua.

Karena ada hal-hal yang seharusnya tidak pernah terlihat, dan Yang Xia baru menyadari, mata bisa menyelamatkan, tapi juga membunuh.

Karena terkadang mata bukan hanya jendela jiwa... tapi penjara dari rahasia yang tak boleh diketahui siapapun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanilla_Matcha23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 16 - MENJADI BINTANG BERARTI HARUS TERBAKAR LEBIH DAHULU

Apartemen Yu Liang,

Sinar matahari menembus tirai tipis, membias lembut di dinding putih. Tapi bagi Yu Liang, pagi itu terasa seperti kabut yang menutupi pikirannya.

Kepalanya berat.

Napasnya terasa asing.

Ia menatap cermin di kamar mandi, ada bekas merah samar di lehernya, entah dari mana. Matanya memandangi bayangan dirinya yang tampak asing. Mata bengkak, kemeja yang tidak ia ingat pernah kenakan.

Di meja ruang tamu, ponselnya berdering.

Chen Wei.

Yu Liang menatap layar beberapa detik sebelum akhirnya mengangkat.

“Pagi,” suaranya serak.

“Kau sudah bangun?” Nada Chen Wei terdengar ringan, seperti tidak ada apa-apa yang terjadi malam sebelumnya.

“Aku sudah,” jawabnya datar. “Tentang semalam…”

Chen Wei memotong cepat, “Kau tampil sempurna. Mereka menyukaimu. Dan ada tawaran baru endorsement dari brand internasional, bayaran tinggi.”

Yu Liang terdiam.

Ia berusaha mengingat seluruh malam itu, tapi kepalanya terasa berdenyut hebat.

“Chen Wei…” suaranya nyaris berbisik, “aku merasa… aneh. Aku bahkan tidak ingat kapan pulang.”

Suara di seberang menjadi lebih pelan, tapi tajam.

“Jangan pikirkan hal yang tidak perlu. Kau terlalu banyak minum. Fokus saja pada jadwal hari ini. Aku kirimkan kontraknya nanti siang.”

Klik.

Sambungan terputus.

Yu Liang menatap ponselnya lama. Perasaannya kacau, tapi di atas meja, ada amplop hitam yang tidak ia ingat kapan datangnya.

Logo Han Yue Entertainment tertera di sudutnya.

Ia membuka perlahan. Di dalamnya, surat revisi kontrak baru, dengan tanda tangannya sendiri di halaman terakhir.

Tanda tangan yang… bukan miliknya.

Tulisan itu mirip, tapi tidak persis.

Jantungnya berdetak keras.

Ia menatap jendela, menatap langit Beijing yang kelabu, dan untuk pertama kalinya, bayangan kesuksesan yang dulu ia kejar mulai tampak seperti jeruji.

Chen Wei tidak lagi sekadar manajernya.

Ia telah menjadi penjaga kandang yang mengunci pintu dari luar, dengan kunci yang dicetak dari nama Yu Liang sendiri.

..

Tiansheng hospitals,

Xia melangkah pelan menyusuri koridor rumah sakit, tubuhnya terasa berat setelah seharian berjuang di ruang operasi.

Tiga operasi dalam satu hari, bukan hal yang mudah, bahkan untuknya. Meski dikenal sebagai dokter spesialis psikis trauma, lisensi bedah yang dimilikinya membuatnya sering dipanggil untuk kasus-kasus darurat.

Begitu sampai di ruangannya, Xia menutup pintu dan bersandar pada dinding, menarik napas panjang. Tangannya terangkat, memijit pelipis yang berdenyut nyeri.

“Sial…” gumamnya pelan. “Kenapa pikiranku selalu kembali pada Yu Liang?”

Bayangan itu muncul lagi, semalam. Hingga membuatnya susah untuk kembali memejamkan mata. Potongan adegan yang dilihatnya seolah nyata. Kilasan dunia hiburan yang kotor, menjijikkan, penuh manipulasi dan keserakahan. Ia mengerutkan kening, rasa lelah di tubuhnya bercampur dengan keresahan di hatinya.

“Bagaimana mungkin seseorang bisa bertahan di tempat seperti itu…” bisiknya, suaranya hampir tak terdengar.

Ia menarik kursinya perlahan dan duduk, tubuhnya terasa berat seolah setiap tulang menuntut istirahat. Xia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri dari sisa tekanan ruang operasi dan potongan bayangan yang terus berputar di kepalanya.

Ia memejamkan mata, mencoba mencerna satu per satu kilasan adegan yang menghampirinya, wajah Yu Liang, sorotan lampu kamera, dan kegelapan dunia yang tersembunyi di balik gemerlap panggung hiburan.

Semuanya terasa terlalu nyata untuk sekadar ilusi.

Rasa lelah akhirnya mengambil alih.

Napasnya melambat, kepalanya bersandar di sandaran kursi. Dalam diam dan redupnya cahaya ruangan, Xia perlahan terlelap tanpa sadar, pintu menuju potongan masa lalu kembali terbuka dalam tidurnya.

..

Private Lounge, Klub Eksklusif “JinYue”, Beijing.

Udara di ruangan itu lembap, bercampur aroma tembakau mahal dan alkohol yang manis menusuk. Lampu redup, hanya meninggalkan sorot kekuningan di setiap meja bundar tempat para tamu duduk dalam lingkaran kecil.

Chen Wei berjalan di depan, langkahnya tenang, seperti seseorang yang sudah terbiasa berada di antara para penguasa.

Sementara di belakangnya, Yu Liang berjalan dengan gugup, mengenakan jas hitam yang disiapkan oleh Chen Wei sendiri.

“Tempat ini tidak untuk semua orang,” kata Chen Wei pelan tanpa menoleh. “Kalau kau sudah masuk, jangan pernah memperlihatkan keraguan.”

Yu Liang tidak menjawab, hanya menelan ludahnya sendiri.

Di dalam, beberapa pria paruh baya menoleh ke arah mereka. Satu di antaranya, berjas biru gelap dengan pin lambang Komite Perfilman di dadanya tersenyum lebar.

“Chen Wei! Ini aktor mudamu itu?”

Chen Wei menunduk sedikit, sopan. “Ya, Tuan Zhang. Ini Yu Liang. Bintang baru kami.”

Pria itu tertawa kecil, lalu menepuk pundak Yu Liang dua kali keras, seolah menguji.

“Muda, tampan, dan punya pesona. Dunia hiburan memang butuh darah segar sepertimu. Duduklah.”

Yu Liang menunduk sopan, lalu duduk.

Chen Wei duduk di sampingnya, menyesap anggurnya pelan.

Percakapan mereka dimulai dengan ringan tentang film, rating, dan tren penonton muda. Tapi lambat laun, topiknya berubah.

“Aktor-aktor baru sekarang terlalu banyak menolak,” ujar salah satu pria, matanya melirik ke arah Yu Liang. “Mereka lupa siapa yang memberi mereka panggung.”

Suasana menjadi hening sejenak.

Yu Liang bisa merasakan tatapan mereka, tajam, seperti sedang menimbang nilai.

Chen Wei tersenyum menengahi.

“Yu Liang tidak seperti itu, Tuan. Dia tahu berterima kasih. Dan dia tahu siapa yang harus dihormati.”

Kata “dihormati” keluar seperti sebuah kode.

Yu Liang menoleh pelan ke arah Chen Wei, tapi tatapan manajernya datar, dingin, seperti permukaan kaca yang tak memantulkan siapa pun. Tak lama kemudian, seorang pelayan datang membawa minuman.

Di hadapannya, segelas wine merah. Chen Wei mendorongnya perlahan ke arah Yu Liang.

“Minumlah. Tuan Zhang ingin bersulang denganmu.”

Yu Liang menatap gelas itu lama, lalu mengambilnya dengan ragu.

“Untuk masa depanmu,” ucap Tuan Zhang, mengangkat gelasnya tinggi.

Suara denting kaca terdengar, namun di dalam dada Yu Liang, sesuatu terasa patah perlahan.

Malam itu berakhir dengan tawa, musik, dan tepukan di punggung. Tapi ketika ia keluar dari klub itu, udara malam terasa dingin menembus tulang. Ia tahu sesuatu telah berubah.

Tatapan Chen Wei kini bukan lagi tatapan rekan kerja. Itu tatapan pemilik terhadap miliknya sendiri.

Dan sejak malam itu, Yu Liang mulai mengerti,

di dunia ini, kebebasan tidak dijual. Ia ditukar.

...

Vila Pribadi di Distrik Chaoyang.

Hujan turun pelan di luar jendela kaca besar, membentuk garis-garis tipis di permukaannya. Mobil hitam yang dikendarai Chen Wei berhenti di depan vila mewah yang sepi, terlalu sepi untuk ukuran tempat “jamuan bisnis”.

Yu Liang menatap keluar jendela. “Kita di mana?” suaranya pelan, tapi terdengar tegang.

Chen Wei mematikan mesin mobil. “Acara kecil. Tuan Zhang ingin bicara langsung soal proyek film besar yang akan melibatkanmu. Jangan khawatir, ini langkah besar buat kariermu.” Yu Liang diam.

Sesuatu dalam nada suara Chen Wei terasa salah. Tapi ia tetap keluar, menuruti arahan.

Di dalam vila, cahaya lampu temaram memantulkan warna keemasan di lantai marmer. Ada aroma alkohol kuat bercampur parfum mahal. Seorang pelayan membuka pintu, menunduk, lalu menghilang tanpa suara.

Chen Wei berjalan lebih dulu, menyambut seorang pria berpakaian santai, Tuan Zhang, pejabat Komite Perfilman yang beberapa minggu lalu mereka temui di klub “JinYue”.

“Oh, akhirnya datang juga.” Suaranya berat, tapi nadanya seperti pemilik rumah yang menunggu sesuatu.

Chen Wei tersenyum profesional, “Terima kasih sudah mengundang kami, Tuan Zhang. Saya hanya akan di sini sebentar.”

“Tidak, tidak. Duduk dulu.”

Tatapan Zhang beralih ke Yu Liang. “Kau kelihatan lebih tampan daripada di layar.”

Yu Liang membungkuk sopan. “Terima kasih, Tuan.”

Zhang menepuk sofa di sebelahnya. “Duduklah. Kita bicarakan proyek itu.”

Chen Wei berbisik di belakangnya, “Ikuti saja dulu. Jangan buat suasana tegang.” Yu Liang menuruti.

Percakapan awalnya terdengar biasa, soal peran utama, jadwal syuting, hingga sponsor. Tapi lama-lama arah pembicaraan berubah.

Zhang mendekat.

“Bintang muda sepertimu… harus pandai menjaga hubungan. Dunia ini keras, Liang. Orang-orang seperti aku bisa memastikan kau selalu bersinar.”

Yu Liang menegang. “Aku mengerti, Tuan.”

“Bagus.” Zhang menyentuh pundaknya, satu gerakan kecil yang membuat darahnya dingin. “Buka sedikit. Santai. Kita tidak perlu formal.”

Chen Wei menunduk, menatap arlojinya, pura-pura tidak melihat apa pun. Yu Liang menatap manajernya sejenak, mencari pertolongan.

Tapi Chen Wei berdiri. “Aku keluar sebentar. Urusan kalian lebih penting.”

Pintu tertutup.

Dunia menjadi hening, hanya tersisa suara hujan di luar. Zhang meneguk minumannya pelan.

“Kau tahu, Liang… semua bintang besar pernah melalui tahap ini. Dunia hiburan tidak murah. Tapi aku bisa membuatmu tak tergantikan.”

Tangannya bergerak lagi, kali ini lebih berani.

Yu Liang menepis. “Tuan, aku rasa—”

Zhang tersenyum samar. “Kau terlalu kaku. Santai saja.”

Dan di sanalah, batas pertama itu retak.

Bukan hanya tubuhnya yang terjebak malam itu, tapi juga harga dirinya, kepercayaannya, seluruh makna kerja keras yang dulu ia yakini.

Ketika Chen Wei kembali, Zhang hanya tersenyum puas.

“Anak itu punya masa depan. Tapi perlu dibimbing.”

Chen Wei tersenyum samar. “Saya akan pastikan dia mengikuti arah yang benar.”

Di perjalanan pulang, Yu Liang tidak berkata apa-apa.

Tangannya menggenggam lutut, dingin.

Matanya kosong menatap ke luar jendela, tempat hujan menutupi seluruh kota, sama seperti rasa jijik yang perlahan menutupi dirinya sendiri.

...

Beberapa hari setelah malam di vila – Apartemen Yu Liang, Beijing.

Sudah tiga hari berlalu sejak malam itu, tapi suara hujan, tawa, dan sentuhan itu terus terputar di kepala Yu Liang seperti kaset rusak.

Ia belum tidur dengan benar.

Lampu apartemennya tidak pernah dimatikan.

Di meja kerja, kontrak baru dari Chen Wei tergeletak.

Tinta basah dari tanda tangannya sendiri yang tidak ia ingat pernah menorehkan masih tampak mengilap.

Suara notifikasi pesan masuk di ponselnya membuatnya terlonjak.

Chen Wei:

“Jangan lupa konferensi pers jam 11. Tuan Zhang ingin kau tampil tenang. Jangan buat masalah.”

Pesan kedua menyusul, kali ini dari asistennya, Lin Hao.

“Yu Liang, manajer bilang kau harus tersenyum nanti. Jangan banyak bicara soal syuting.”

Yu Liang menatap layar ponselnya lama. Tangannya gemetar.

Senyum.

Diam.

Menurut.

Semua kata itu kini terasa seperti belenggu.

Ia menekan nomor Lin Hao. Telepon diangkat cepat, tapi suara di seberang terdengar gugup.

“Yu? Ada apa?”

“Kau tahu malam itu di Chaoyang?” suara Yu Liang pelan tapi menusuk. “Kau tahu ke mana aku dibawa?”

Hening sesaat.

Lalu Lin Hao menjawab cepat, terlalu cepat.

“Hyung… aku cuma menjalankan perintah manajer. Aku pikir itu hanya pertemuan bisnis.”

Yu Liang menutup matanya. “Perintah manajer… ya.”

Nada tawanya miris.

Ia memutus sambungan.

Detik berikutnya, ponselnya kembali berdering, kali ini dari Chen Wei. Suara di seberang terdengar tenang, tapi mengandung ancaman samar.

“Kau tidak suka apa yang terjadi, Liang?” Yu Liang membisu.

“Kau harus belajar. Dunia ini milik orang yang tahu berterima kasih. Kau masih punya kontrak lima tahun denganku. Jangan buat sesuatu yang bisa menghancurkanmu sendiri.”

Klik.

Telepon terputus.

Yu Liang melempar ponselnya ke sofa, lalu berdiri di depan jendela besar apartemennya. Dari ketinggian itu, lampu kota tampak seperti serpihan kaca. Ia memegang dadanya, berusaha bernapas, tapi sesak itu tidak mau pergi.

Dalam pantulan kaca, ia melihat dirinya sendiri, wajah yang semakin asing, mata yang kehilangan cahaya. Suara Chen Wei bergema di kepalanya.

“Aku akan mengurus semuanya. Kau hanya perlu fokus menjadi bintang utama.”

Dan kini ia sadar, menjadi bintang berarti harus terbakar lebih dulu.

1
Om Ganteng
Lanjut thorrr💪
Om Ganteng
Yang Xia
Om Ganteng
Chen Wei
Om Ganteng
Yang Xia/Determined/
Om Ganteng
Yu Liang/Sob/
Om Ganteng
Thor... apa ini Yu Menglong?
Zerine Leryy
Thor, Yu Liang... seperti Yu Menglong/Sob//Sob/
Zerine Leryy
Guang Yi keren...
Zerine Leryy
Bagus, lanjutkan Thor... Semoga ceritanya bagus sampai akhir/Good//Ok/
Zerine Leryy
Yang Xia dibalik Yang Grup, Guang Yi dan Feng Xuan 👍 perpaduan keragaman yang keren
Zerine Leryy
Ceritanya bagus, Sangat jarang ada Ceo wanita yang tangguh seperti Yang Xia.
☘☘☘yudingtis2me🍂🍋
Jelek nggak banget!
Yue Sid
Aduh, cliffhanger-nya bikin saya gak tahan nunggu, ayo lanjutkan thor!
Gladys
Asik banget!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!