NovelToon NovelToon
JEDA

JEDA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:601
Nilai: 5
Nama Author: Wiji

Nathan mengira ia hanya mengambil jeda, sedikit waktu untuk dirinya sendiri, untuk menyusun ulang hidup yang mulai tak terkendali.
Kayla mengira ia ditinggalkan. Lagi-lagi diabaikan, disisihkan di antara tumpukan prioritas kekasihnya.

Saat jarak berubah jadi luka dan diam jadi pengabaian, cinta yang semula kokoh mulai goyah.
Tapi cinta tak selamanya sabar.
Dan Nathan harus bertanya pada dirinya sendiri.
Masih adakah yang bisa ia perjuangkan saat semuanya nyaris terlambat?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

16

Pintu apartemen tertutup perlahan di belakang punggungnya. Kayla bersandar di sana sejenak, seolah baru bisa benar-benar bernapas. Sepatu kerja dilepas pelan, tas digantungkan tanpa suara. Hening. Bahkan detik jam di dinding terdengar jelas malam itu.

Langkahnya menuju dapur seperti otomatis. Ia menuang air ke dalam gelas, lalu duduk di kursi makan sendirian. Satu lampu kuning menyala redup di ruang tamu, cahaya secukupnya, sesuai suasana hatinya.

Gelas bening itu ia putar perlahan dengan ujung jemari. Tatapannya kosong. Tapi pikirannya tidak. Yang diputar bukan cuma air di dalam gelas, tapi juga potongan adegan hari ini, yang seharusnya jadi momen manis, tapi berakhir dengan rasa hampa.

"Makan siang tadi... nyaris sempurna."

Ia mengembuskan napas.

"Nyaris."

Ia masih bisa merasakan pelukan Nathan di mobil, tangan hangat yang menariknya ke dekapannya. Ucapan tentang pernikahan, tentang ingin pulang tepat waktu, tentang jadi suami yang hadir utuh. Semuanya nyangkut, tak mudah lepas dari ingatan. Tapi kenapa begitu mudah dibatalkan oleh satu kata?

Darurat.

"Kayla, aku harus ke kantor sekarang."

"Aku janji, yang kayak gini nggak terulang lagi."

"Maaf, sayang."

Maaf. Kata itu memang keluar. Tapi rasa kecewanya tetap tinggal.

Ia meneguk air, menahan diri untuk tidak mengulang-ulang apa yang sudah terjadi. Tapi sulit. Ada bagian dalam dirinya yang mulai lelah untuk terus menenangkan logika tiap kali perasaannya tersinggung.

'Aku ngerti, Nat. Tapi ngerti nggak selalu berarti nggak kecewa.'

Pikirannya melayang ke kalimat yang dilempar Davin di dalam mobil tadi siang. Sederhana, tapi menggema.

"Kadang yang lagi kita jaga itu bukan cuma hubungan, tapi juga harga diri."

Saat itu Kayla hanya menjawab dengan senyum ringan, menganggap itu komentar kasual. Tapi sekarang… kalimat itu terngiang seperti pertanyaan besar.

'Apa aku terlalu keras kepala menjaga hubungan ini… sampai lupa nanya. Aku bahagia nggak?'

Ponselnya bergetar pelan di atas meja. Satu notifikasi muncul. Dari Nathan.

[Sayang. Maaf baru bisa kasih kabar. Aku baru keluar kantor. Aku minta maaf soal yang tadi, ya. Berhubung besok weekend, kita liburan mau? Buat nebus kesalahan aku yang tadi. Kamu lagi pengin ke mana?]

Kayla memandangi layar ponselnya cukup lama, seakan pesan itu bisa berubah kalau ia tatap lebih dalam. Jemarinya sempat bergerak, tapi tak jadi membalas. Ia hanya menaruh kembali ponselnya di atas meja. Pelan, seperti takut suara benturan kecil itu memecahkan pikirannya sendiri.

Nathan berusaha. Itu jelas.

Tapi justru karena tahu itu usaha, perasaan Kayla jadi lebih rumit.

Kalau semua berjalan baik-baik saja, ajakan liburan itu pasti membuatnya tersenyum. Ia akan membuka aplikasi booking hotel, memilih tempat yang jauh dari kota, lalu menyusun rencana kecil berdua. Tapi sekarang? Bahkan bayangan liburan pun terasa melelahkan. Bukan karena lokasinya. Tapi karena hatinya.

Ia berjalan ke ruang tamu, duduk di sofa dan menyandarkan tubuhnya, kepala miring ke sandaran, dan mata menerawang.

"Lucu ya... ajakan liburan bisa bikin orang lain senang. Tapi kenapa di aku malah terasa kayak pengingat kalau ada yang belum sembuh?"

Ia tak sedang marah pada Nathan. Hanya… kecewa yang belum selesai. Perasaan yang tidak bisa disapu bersih hanya dengan niat baik, sesederhana apa pun niat itu.

***

Pintu ruang rapat sudah tertutup sejak berjam-jam lalu. Tapi kepala Nathan masih terasa panas, bahkan setelah keluar dari kantor dan duduk di dalam mobil. Pendingin udara mobil menyala pelan, tapi tak benar-benar menurunkan suhu pikirannya.

Pandangannya kosong ke arah jalanan gelap di depan. Mobil belum ia nyalakan. Tangan kanannya masih menggenggam ponsel yang sejak tadi tak menunjukkan tanda-tanda pesan baru dari Kayla.

Layarnya masih menampilkan pesan terakhir yang ia kirim. Tak ada centang dua. Belum terbaca.

Nathan mengembuskan napas pelan, lalu menyandarkan kepala ke sandaran jok. Matanya terpejam. Tapi pikirannya belum mau diam. Ingatannya justru kembali ke tadi siang.

“Alee, aku udah bilang dari kemarin. Jangan acc vendor kalau surat kelengkapannya belum dicek semua,” suaranya terdengar datar waktu itu, tapi siapa pun bisa tahu ia sedang menahan marah.

Alea berdiri di sisi meja, menyodorkan dokumen dengan ekspresi kaku. “Saya juga tidak mengerti kenapa laporan terakhir bisa lolos, Pak. Harusnya divisi legal lihat ini dulu sebelum naik ke meja saya.”

Nathan menatapnya tanpa emosi. “Mereka ngejar deadline tender, tapi nabrak prosedur. Sekarang satu tanda tangan bikin panik semua orang.”

Ia memijat pelipis. Rasanya tekanan darahnya meningkat sejak lima belas menit pertama ia duduk di ruang rapat tadi. Bukan karena besarnya masalah, tapi karena semua orang saling lempar tanggung jawab.

“Udah. Kita selesaikan malam ini. Aku nggak mau masalah kecil jadi besar cuma gara-gara semua orang pengin benar sendiri.”

“Baik, Pak. Saya bantu buat ringkasan dan kronologinya malam ini juga.”

Ia membuka matanya perlahan, kembali ke realita di dalam mobil yang hening. Lampu parkiran basement kantor memantul samar di kaca depan. Jalanan sudah mulai sepi. Tapi isi kepalanya masih ramai.

"Kayla pasti kecewa," pikirnya dalam hati. Bukan karena ia pergi. Tapi karena ia pergi tepat di saat Kayla mulai percaya. Percaya kalau Nathan benar-benar berubah. Percaya kalau ucapan soal ingin pulang tepat waktu itu bukan cuma basa-basi manis di tengah nasi dan sambal.

Dan kini, hanya dua jam sejak kata-kata itu diucapkan, semuanya runtuh begitu saja.

Ia membuka galeri di ponsel. Beberapa foto muncul. Bukan yang dipose khusus, tapi candid yang diambil diam-diam. Kayla sedang tertawa di dapur. Wajahnya yang cemberut karena rambut acak-acakan pagi-pagi. Satu-dua selfie mereka di dalam mobil.

Tak ada yang mewah. Tapi semuanya terasa penting.

"Aku harus benerin ini," gumamnya.

Besok akhir pekan. Tidak akan ada lembur. Tidak ada rapat. Tidak ada email yang dibuka.

Kalau perlu, ponsel kerja dimatikan. Hanya ingin ada untuk satu orang.

Masih ada waktu.

Harusnya… masih ada.

Nathan menatap layar ponselnya sekali lagi. Masih sunyi.

Ia mengusap wajah, menyandarkan kepala ke belakang. Mobil tetap dalam posisi parkir. Sudah hampir lima belas menit ia duduk di sana, tapi belum sanggup menginjak pedal gas.

Haruskah ia menelepon?

Atau justru memberi waktu?

Pikirannya terpecah—antara ingin menunjukkan bahwa ia serius, dan takut membuat semuanya makin buruk dengan terlalu memaksa.

Akhirnya, ia membuka chat kembali. Mengetik sesuatu.

> Kalau kamu belum mau jawab sekarang, nggak apa-apa. Aku ngerti. Aku tunggu.

Kalimat itu dikirim. Lalu ia langsung mematikan layar.

Tak ingin melihat kapan Kayla terakhir online.

Nathan meraih kunci mobil dan menyalakan mesin. Suara mesin terdengar lembut, kontras dengan gemuruh di dadanya. Ia menyalakan lampu utama, lalu perlahan menggerakkan mobil keluar dari basement.

Jalanan Jakarta malam itu tampak lengang, tapi pikirannya tidak. Ia menyalakan musik pelan, membiarkannya mengalun sebagai teman perjalanan.

Lalu, suara notifikasi terdengar dari ponsel yang ia letakkan di kursi penumpang.

Nathan melirik cepat.

Satu notifikasi masuk.

Dari Kayla.

Tapi belum ia buka.

Tangannya mengarah ke layar. Jemarinya nyaris menyentuh...

Tapi mobil di depannya mendadak berhenti.

Ia terpaksa menekan rem.

Fokusnya pecah.

Dan layar ponsel padam kembali.

Nathan mengembuskan napas. Lalu menggenggam stir lebih erat.

‘Besok. Kalau besok dia masih mau bicara… aku akan benar-benar mulai dari awal.’

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!