Selina Ratu Afensa tak pernah menduga hidupnya berubah drastis saat menerima pekerjaan sebagai pengasuh di keluarga terpandang. Ia pikir hanya akan menjaga tiga anak lelaki biasa, namun yang menunggunya justru tiga badboy yang terkenal keras kepala, arogan dan penuh masalah
Sargio Arlanka Navarez yang dingin dan misterius, Samudra Arlanka Navarez si pemberontak dengan sikap seenaknya dan Sagara Arlanka Navarez adik bungsu yang memiliki trauma dan sikap sedikit manja. Tiga karakter berbeda, satu kesamaan yaitu mereka sulit di jinakkan
Di mata orang lain, mereka adalah mimpi buruk. Tapi di mata Selina, mereka adalah anak anak kesepian yang butuh di pahami. Tanpa ia sadari, keberaniannya menghadapi mereka justru mengguncang dunia ketiga badboy itu dan perlahan, ia menjadi pusat dari perubahan yang tak seorang pun bayangkan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Queen Blue🩵, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengantarkan ke bandara
Niko mengangkat tangannya pelan, memberi isyarat agar Selina tidak canggung “Tidak apa apa. Ayo temani saya sebentar”
Selina mengangguk, lalu mereka berjalan beriringan menuju ruang makan. Rumah terasa hening, hanya suara langkah mereka yang terdengar. Begitu sampai di meja makan, Niko duduk, menyilakan Selina ikut duduk di kursi seberangnya
Sesaat ia hanya diam, menatap meja, seolah sedang mengumpulkan keberanian untuk membuka luka lama
“Om mau cerita Selina… tentang kenapa Sagara punya trauma itu”
Selina terdiam, menunggu dengan wajah serius
Niko menarik napas panjang sebelum mulai bercerita “Dulu ketika kami masih tinggal di luar negeri, umur Sagara baru lima tahun. Malam itu istriku, sedang menemaninya tidur di kamar. Aku sedang rapat di luar kota. Saat dia ketiduran, seseorang yang menjadi musuhku berhasil menyelinap masuk ke rumah. Mereka kesal karena tak menemukan aku di sana… dan mereka melampiaskan kekesalan itu pada istriku”
Selina membelalak, jantungnya ikut tercekat
“Dia di bunuh dengan pisau… tepat di jantungnya. Semuanya di lakukan senyap, begitu sunyi… sampai Sagara tak sadar kalau ibunya sudah tiada di sampingnya” Suara Niko mulai bergetar “Esok paginya, anak sekecil itu bangun dan melihat tubuh ibunya berlumuran darah di ranjang. Kau bisa bayangkan bagaimana hancurnya dia?”
Selina menutup mulutnya terkejut. Dadanya ikut terasa sesak mendengar cerita itu
“Mbok Sri yang pertama kali mengabarkan kabar buruk itu. Om langsung pulang terburu buru, tapi semua sudah terlambat. Sejak hari itu, Sagara tidak pernah bisa tidur sendirian. Setiap malam ia selalu di bayang bayangi rasa takut kehilangan”
Suasana hening sejenak. Niko menatap kosong, seperti kembali pada malam kelam itu
“Aku sudah membawanya ke psikolog, berkali kali… tapi hasilnya nihil. Dia selalu menolak tidur dengan siapa pun, bahkan dengan aku. Katanya… Seharusnya ibunya masih hidup dan kalaupun harus ada yang mati malam itu, seharusnya aku, bukan ibunya” Mata Niko memerah, suara parau menahan emosi
Selina hanya bisa menatap dengan perasaan campur aduk, sedih, simpati dan kagum pada ketegaran seorang ayah
“Sejak itu, dia hanya mau di temani Mbok Sri. Setelah agak besar, dia mulai berpindah ke kamar kakak kakaknya. Waktu SMA dia lebih sering tidur di apartemen Devano, selalu satu ranjang dengannya. Tapi sekarang aku melarang semua anak anakku tidur di luar rumah dan itulah kenapa dia makin tersiksa”
Niko berhenti sebentar, menatap Selina lurus lurus “Tapi malam ini… aku melihat sesuatu yang berbeda. Untuk pertama kalinya, Sagara bisa tenang dengan cara sederhana dengan kehadiranmu”
Selina terperanjat, matanya melebar “Saya… saya hanya menemani sebentar Om. Tidak ada yang istimewa”
Niko menggeleng pelan, senyumnya tulus “Jangan merendahkan dirimu Selina. Kau sudah melakukan lebih dari yang bisa ku lakukan selama bertahun tahun. Aku berterima kasih… benar benar berterima kasih”
Selina tercekat, merasakan kehangatan sekaligus tekanan di dadanya. Ia hanya bisa menunduk, tak tahu harus membalas apa
Pagi itu meja makan sudah tertata rapi. Aroma sup hangat dan roti panggang memenuhi ruangan. Niko, Sargio dan Samudra sudah duduk, menunggu Selina yang masih mondar mandir memastikan semua siap
Saat ia hendak naik tangga untuk memanggil Sagara, terdengar suara langkah tergesa
“Selinaaa!” panggil Sagara, masih dengan piyama biru abu abu dan rambut berantakan
Selina spontan berhenti di anak tangga kedua. Begitu menoleh, ia terbelalak kaget karena Sagara langsung berlari kecil ke arahnya dan langsung memeluknya erat
“Terima kasih Selina!” seru Sagara penuh semangat
Di meja makan, Samudra dan Sargio yang baru saja meneguk air hampir bersamaan tersedak, batuk batuk dengan wajah tak percaya
“Uhuk... Uhukkk.. kau lihat itu?!” bisik Sargio dengan mata membelalak
“Gue kira gue masih mimpi” sahut Samudra sambil memukul dadanya sendiri menahan tawa
Sementara itu, Niko justru tersenyum tipis, menatap pemandangan itu dengan tatapan penuh arti
Selina, yang kaget setengah mati, buru buru melepaskan pelukan Sagara “Hei! Apa apaan ini?!” ujarnya setengah malu
Sagara menatapnya dengan mata berbinar “Gue tidur nyenyak sekali tadi malam. Semua gara gara sihir babi itu!”
“Ppfftttt... Hahaha... Babi?!” Samudra langsung memegang perutnya, hampir meledak tertawa
Sagara mengangguk mantap “Iya! Selina menghitung babi buat gue sampai gue ketiduran. Suaranya enak banget, kayak mantra ajaib. Dan ini pertama kalinya gue tidur pulas tanpa di temani siapa pun!”
Samudra sudah benar benar tak bisa menahan diri. Ia membenturkan kepalanya ke bahu Sargio sambil tergelak “Astaga… Hahahaha... sihir babi! Gue nggak kuat!”
Sargio sendiri berusaha menahan ekspresi, tapi ujung bibirnya jelas bergetar menahan tawa
Selina berdiri kikuk, wajahnya merah padam. Tapi Sagara tetap tersenyum lebar, jelas tak peduli dengan tatapan dua kakaknya
Niko kemudian menegakkan tubuhnya, suaranya tenang tapi hangat “Baiklah, cukup bercandanya. Sagara duduklah. Kita sarapan bersama”
Ia lalu menoleh ke arah Selina “Dan kau juga Selina. Jangan hanya berdiri. Kamu sudah bekerja keras untuk kami. Duduklah, sarapan bersama kami”
Selina sempat ragu, melirik tiga bersaudara yang masih memandangnya dengan ekspresi beragam, Sargio setengah curiga, Samudra setengah ingin meledak lagi dan Sagara dengan senyum puasnya. Tapi akhirnya, ia menarik kursi dan duduk di sisi mereka
Suasana meja makan yang awalnya kaku berubah menjadi agak riuh. Piring piring sudah terisi, sendok dan garpu berdenting pelan. Namun, bukannya langsung menyantap Samudra malah meledek “Bayangkan kalau suatu saat Sagara menikah, pengantinnya di tuntut bisa menghitung babi setiap malam biar dia tidur pulas. Kalau nggak, rumah tangga bisa terancam wkwkakk lucu bangett...”
“Samudraaa!!” seru Sagara, hampir bangkit dari kursinya
Niko hanya menggeleng kecil sambil menyeruput kopinya, namun senyum samar di wajahnya jelas menunjukkan ia juga terhibur
Sargio akhirnya tak tahan dan ikut menambahkan, suaranya datar tapi penuh sindiran halus
“Hmm, tapi gue rasa cara itu cukup efektif. Kalau begitu, mungkin nanti kita bisa coba juga ya Sam? Lo yang menghitung babi buat gue”
Samudra hampir menyemburkan makanan yang baru masuk mulutnya “Bhakk... Gue?! Lo gila?!”
Tawa pun pecah. Bahkan Sagara, meski kesal, ikut terkekeh melihat ekspresi kakaknya
Selina menepuk dahinya, tak percaya dirinya jadi pusat lelucon aneh pagi ini
Sarapan pagi baru saja usai. Piring piring sudah di tumpuk rapi di meja makan dan aroma teh hangat masih memenuhi ruang makan. Suasana agak hening setelah obrolan kocak mereka sebelumnya
Errick muncul dari arah pintu, menundukkan badan sedikit dengan sopan “Tuan semuanya sudah siap. Mobil juga sudah menunggu di depan. Koper koper sudah saya masukkan”
Niko mengangguk pelan, lalu meneguk sisa tehnya sebelum berdiri. Gerakannya tenang, tapi ada wibawa yang membuat ketiga anaknya refleks ikut berdiri juga “Baiklah ayo kita berangkat”
Sargio, Samudra dan Sagara mengikuti di belakang, sementara Selina bangkit lebih dulu untuk merapikan punggung kursinya. Mereka berjalan keluar bersama sama, langkah langkah sepatu beradu dengan lantai marmer rumah itu
Begitu pintu utama terbuka, udara pagi yang segar menyambut mereka. Di halaman depan, sebuah mobil hitam besar sudah terparkir, mesinnya menyala pelan