 
                            Sepuluh tahun menikah bukan menjadi jaminan untuk terus bersama. gimana rasanya rumah tangga yang terlihat adem-adem saja harus berakhir karena sang istri tidak kunjung mempunyai anak lantas apakah Aisy sanggup di madu hanya untuk mendapatkan keturunan?? saksikan kisahnya hanya di Manga Toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Keesokan harinya mentari berseri terang, seterang hati wanita yang sudah mulai bangkit dari keterpurukannya. Ya dialah Aisy, di pagi yang penuh kedamaian ini ia berdiri, membuka jendela kamarnya, tatapan teduh itu tersenyum hangat, seolah memberi isyarat akan dirinya yang memulai lembar baru.
"Assalamualaikum dunia ... semoga di pagi yang cerah ini aku bisa memulai hal yang sudah lama aku tinggalkan," ucapnya penuh dengan keyakinan.
Stetoskop yang diatas meja kamarnya menjadi semangat baru, untuk dirinya, perlahan tangan kecil itu mulai mengambilnya, ada beberapa kenangan yang mulai muncul di dalam benaknya, pikirannya melayang ke masa lalu di mana ia merawat sang mertua yang dulu pernah lumpuh karena kecelakaan, dan bagaimana dulu ia merawat suaminya jika tiba-tiba sakit.
Bayangan itu mulai bermunculan namun tak ada rasa sakit sedikitpun di dalam hatinya, Aisy sudah benar-benar damai dengan masa lalu, maka dari itu ia mulai berani mengambil keputusan untuk pergi.
"Mami ... Mas Reyhan ... dan Papi Rifat, tarima kasih kalian sudah pernah menjadi rumah, menjadi orang tua yang dulu pernah menyayangi aku. Ketahuilah aku disini sudah merasa damai tanpa menyimpan dendam apapun terhadap kalian," tutur Aisy dengan tatapan sendu.
Matahari sedikit naik keatas, Aisy mencoba untuk menyudahi keluh kesahnya karena sadar hidup terus berjalan, dan tidak naik baginya jika tidak menata hidup dari sekarang.
Saat ini wanita cantik itu mencoba untuk mendatangi salah satu rumah sakit yang tidak terlalu jauh dari kontrakannya itu, entah kenapa di saat dirinya melihat sebuah klinik di dekat kontrakannya kemarin, jiwa menolongnya seolah terpanggil kembali.
"Apakah aku masih bisa menolong mereka yang membutuhkan," ucapnya penuh tanya.
Setelah selesai dengan keluh kesahnya sendiri, wanita cantik itu mulai memantapkan hati. Aisy memberanikan diri datang ke salah satu rumah sakit terdekat tempat dirinya dulu pernah magang, langkahnya mulai keluar rumah dengan membawa map yang berisikan berkas-berkas penting.
Di depan kontrakan kecilnya itu sudah ada taksi yang ia pesan tadi, Aisy segera masuk dengan semangat yang sudah membara di dalam hati.
"Pak rumah sakit Muara Ibu ya," ucapnya.
Sopir itu hanya mengangguk, lalu mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, di dalam mobil hari Aisy tidak berhenti melafalkan nama-nama Allah, agar semua usaha yang ia jalankan diberi kelancaran.
"Ya Allah permudahkan semua urusanku," pintanya di dalam doa.
Tanpa terasa mobil sudah sampai di depan rumah sakit besar itu, tidak pernah menyangka jika ia akan kembali lagi ke rumah sakit ini setelah sekian tahun tidak pernah menginjakkan kakinya.
"Wah rumah sakit ini sudah banyak kemajuan," ujarnya menatap bangga.
Aisy langsung masuk ke dalam rumah sakit itu, langkahnya sempat ragu di depan pintu HRD, namun tekadnya lebih besar dari rasa takutnya.
“Selamat pagi, Bu. Saya Aisy, dulu pernah praktik di sini. Saya ingin kembali menjadi dokter, kalau masih bisa,” ucapnya dengan suara lembut tapi tegas.
Petugas rumah sakit itu sempat menatapnya heran, lalu membuka berkas lamanya di komputer. “STR-nya masih berlaku, Bu?” tanya petugas.
Aisy tersenyum kecil, “Sudah sepuluh tahun tidak saya perpanjang.”
Petugas itu justru tersenyum ramah.
“Masih bisa diperpanjang, Bu. Tapi Ibu perlu ikut pelatihan penyegaran dulu. Kalau Ibu siap, kami bisa bantu prosesnya.”
Dan di saat itu juga, ada sesuatu yang menghangat di dada Aisy bukan sekadar harapan, tapi semacam panggilan lama yang akhirnya kembali terdengar.Ia menatap berkas itu, lalu berbisik pelan, “Mungkin Tuhan ingin aku menolong lagi, bukan hanya disembuhkan.”
Setelah mengurus semua berkas perpanjangan STR dan pendaftaran pelatihan, Aisy berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan napas lega. Bau khas disinfektan, suara langkah perawat, dan denting troli obat semua terasa begitu akrab di telinganya.
Sudah lama ia tidak merasakan suasana ini, dan entah mengapa hatinya bergetar. “Ternyata, aku benar-benar rindu menolong orang,” batinnya.
Sementara itu, di sisi lain rumah sakit, Kenny baru saja menjemput anaknya yang baru selesai pemeriksaan rutin. Anak kecil itu berlari kecil dengan balutan perban di tangannya.
“Papa, dokter tadi bilang aku udah sembuh!” seru anak kecil itu riang.
Kenny tersenyum lega. “Syukurlah, Nak. Ayo, kita pulang.”
Namun langkah Kenny terhenti ketika tanpa sengaja ia menabrak seseorang di tikungan lorong map berisi berkas Aisy jatuh berserakan.
Refleks, keduanya membungkuk bersamaan.
“Maaf, saya tidak ...”
“Tidak apa-apa, saya yang ....”
Suara mereka saling bertaut, dan untuk sekejap waktu terasa berhenti.
Kenny menatap wajah itu wanita yang kamarin ia lihat di pemakaman.
Sementara Aisy, dengan dada yang bergetar aneh, berusaha tersenyum sopan.
“Mama?” suara kecil Zea memecah suasana.
Aisy tertegun, menatap bocah mungil itu si kecil yang sempat memberinya warna baru, namun sayang, setelah itu sudah tidak ada kabar lagi bak menghilang di telan bumi.
“Zea…?” gumamnya tak percaya.
Kenny ikut menoleh, dan baru menyadari jika wanita ini, yang setiap malam selalu diceritakan anaknya. Untuk beberapa detik, tidak ada kata yang terucap, hanya tatapan penuh tanda tanya, karena pada sejatinya mereka masih sama-sama syok.
"Mama ...," ucapnya lagi. Langkah kecilnya mulai mendekat dan memeluk erat.
"Ma ... jangan pergi lagi ya, Zea mencari-cari Mama loh," ujarnya seperti seorang anak yang takut kehilangan ibunya.
Hati Aisy sempat bergetar di saat anak itu mulai memeluknya, ada kehangatan yang tidak dapat ia rasakan dari apapun, panggilan anak itu begitu tulus kepada dirinya yang sampai saat ini belum bisa diberi keturunan.
"Ya Allah begini rasanya dipanggil Mama," ucapnya di dalam hati.
Sementara itu Aisy mulai sedikit mengelus perban gadis kecil itu. "Zea Sayang, ini kenapa?" tanya Aisy.
Zea pun langsung menjawabnya. "Mama, tadi Zea di sekolah lari-lari bersama teman-teman setelah itu tanpa sadar Zea menabrak pintu kelas hingga luka di pelipis Zea," jelas anak itu.
"Ya Allah, lain kali Zea hati-hati ya Nak," ucap Aisy.
"Iya Ma, tapi Mama janji ya tidak akan pergi lagi," pintanya dengan nada yang memelas.
Aisy hanya tersenyum simpul sekedar menganggukkan kepala agar anak itu tidak merasa kecewa, padahal tanpa Zea tahu, Aisy sempat mencarinya, setelah pertemuan pertama mereka di rumah sakit.
☘️☘️☘️☘️☘️
Sementara itu di kediamannya, Reyhan masih terpukul, hatinya tersayat menghadapi semua ini, penyesalan yang teramat dalam, bahkan sampai sekarang pun pria ini masih belum menyangka jika istrinya akan benar-benar pergi dari sisinya.
Saat ini kondisi pria itu benar-benar kalut, bahkan matanya terlihat sembab karena menangis dalam diamnya, entah kenapa penyesalan selalu datang terlambat, apalagi Reyhan sudah berjanji dengan kedua orang tua Aisy untuk menjaga anaknya selamanya.
"Ibu ... Ayah ... Maafkan aku sudah menjadi suami yang gagal untuk anakmu," ucapnya penuh dengan air mata.
Sementara itu bayangan Aisy yang teduh dan suara lembutnya masih terngiang di telinganya.
"Mas, jika nanti kita sudah tua, dan rambutmu sudah memutih, aku pastikan cinta ini tidak akan pernah goyah, asalkan aku tetap menjadi wanita satu-satunya dihatimu," ucapan Aisy beberapa tahun silam yang membuat Reyhan semakin terpuruk.
Namun saat ini kata-kata itu hanya tinggal sebagai kenangan, wanita pertamanya itu telah pergi entah kemana, bahkan tidak meninggalkan jejak sama sekali.
"Aisy ....! Kembalilah Sayang, aku masih suamimu, dan sampai kapanpun kau tetap menjadi istriku!" teriak Reyhan menggema di seluruh ruangan kamarnya.
Bersambung .....
 
                     
                     
                    