NovelToon NovelToon
Cinta Di Atas Abu

Cinta Di Atas Abu

Status: sedang berlangsung
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: RizkaAube

Hidup Nara berubah dalam satu malam. Gadis cantik berusia dua puluh tahun itu terjebak dalam badai takdir ketika pertemuannya dengan Zean Anggara Pratama. Seorang pria tampan yang hancur oleh pengkhianatan. Menggiringnya pada tragedi yang tak pernah ia bayangkan. Di antara air mata, luka, dan kehancuran, lahirlah sebuah perjanjian dingin. Pernikahan tanpa cinta, hanya untuk menutup aib dan mengikat tanggung jawab. Namun, bisakah hati yang terluka benar-benar mati? Atau justru di balik kebencian, takdir menyiapkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar luka? Dan diantara benci dan cinta, antara luka dan harapan. Mampukah keduanya menemukan cahaya dari abu yang membakar hati mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaAube, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter : 16

Ray terdiam beberapa detik, bingung.

“Maaf, Tuan… bukankah sebelumnya Anda bilang—”

“Aku tahu apa yang kubilang.”

Suara Zean berat, tapi tak lagi keras.

“Aku memang tak ingin bertemu dia lagi… tapi aku harus mengakhiri ini.”

Ray masih diam, menunggu.

Zean menunduk, suaranya lebih rendah. Jujur, untuk pertama kalinya.

“Aku kira menjauhinya akan membuat semuanya selesai. Tapi ternyata tidak. Luka ini tetap ada… dan aku malah menyakiti orang lain.”

Ia mengingat wajah Nara. Wajah yang ia sakiti tanpa alasan.

“Cari Lusi. Temukan dia. Aku akan bicara. Bukan untuk kembali. Tapi untuk menutup semuanya.”

Hening sesaat.

Lalu Ray menjawab pelan.

“Baik, Tuan.”

Klik.

Telepon ditutup.

Zean mendongak menatap langit-langit. Napasnya berat. Malam ini, ia akhirnya memilih berhenti lari.

Ia akan menemui masa lalu… agar ia bisa benar-benar melepaskannya

Sementara itu, di rumah kecil bercat biru di pinggiran kota, Nara duduk bersandar di dinding kamar. Matanya sudah bengkak. Di tangannya, bingkai foto orang tuanya dipeluk erat.

Air matanya tak henti jatuh.

Ia terlalu lelah untuk menangis, tapi luka di hatinya terlalu dalam untuk berhenti.

Ia memejamkan mata, berharap bisa tidur dan melupakan semuanya. Tapi bayang suara Lusi tadi di mall terus terngiang.

“Ya Tuhan… kenapa semua ini harus terjadi padaku…”

Ia menangis diam-diam, menunggu pagi.

Menunggu luka mereda meski ia tahu, pagi tak akan menghapus apa pun.

...\~⭑ ⭑ ⭑ ⭑ ⭑\~...

Pagi itu, langit kota masih terlihat kelabu. Gedung-gedung tinggi berdiri bisu, seolah menjadi saksi atas badai batin dua insan yang terjebak di dalamnya.

Di ruang kerjanya, Zean duduk menatap kosong layar laptop yang sudah lama mati. Kopi di mejanya telah dingin. Pikirannya terhenti di video yang semalam ia tonton berulang kali. Suara Nara, teriakannya, tatapan matanya… semua membekas di kepala Zean.

“Aku bodoh,” gumamnya pelan.

Dia berpikir semua akan selesai dengan pernikahan ini. Bahwa cukup menikahi Nara, maka semuanya akan beres. Tapi kenyataan berkata lain. Nara… terluka lebih dalam dari yang ia sadari.

Suara ketukan di pintu memecah lamunannya.

“Masuk.”

Ray melangkah masuk, membawa beberapa berkas dan ponsel di tangan.

“Lusi ada di ruang rapat kecil. Sesuai perintah Tuan.”

Zean mengangguk pelan. Ia berdiri, melangkah tanpa bicara sepatah kata pun.

“Tuan yakin ingin menemui dia sekarang?” tanya Ray ragu.

Zean berhenti sejenak, menatap Ray lurus.

“Ini bukan soal yakin atau tidak. Ini soal batas.”

Ray tak bertanya lagi.

Ruang rapat kecil di lantai atas gedung perusahaan itu terasa seperti arena pertempuran. Lusi duduk di kursi kulit mewah, kakinya disilangkan, wajahnya tetap cantik tapi jelas terlihat kelelahan.

Zean masuk tanpa banyak bicara. Suara langkah kakinya di lantai marmer terdengar tegas, membuat Lusi refleks menoleh.

Mata mereka bertemu.

“Kukira kamu akhirnya sadar, siapa yang paling cocok di sampingmu, Zean.” Suara manja Lusi terdengar lembut, tapi nada sinis di baliknya tak bisa disembunyikan sepenuhnya.

Zean hanya diam. Tatapannya dingin, menatapnya tanpa sedikit pun reaksi.

Lusi melangkah perlahan. Jemarinya terulur, nyaris menyentuh lengan Zean, namun tangannya berhenti sendiri. Tatapan dingin pria itu membuatnya ragu.

“Kamu kenapa? Kenapa diam begini?” tanyanya lembut, mencoba manja. “Aku rindu kamu, tahu…” bisiknya genit.

Zean tetap bergeming. Tidak bicara, tidak bergerak.

Lusi terkekeh pelan. “Masih pura-pura gapeduli? Kamu pikir gadis itu pantas menggantikan aku?”

Ia melangkah sedikit lebih dekat. Wajahnya tetap tersenyum, tapi nadanya mulai berubah.

“Zean… kau dan aku itu saling mencintai kan? Dia cuma gadis kecil pengganggu.”

Akhirnya Zean bicara.

Suara rendahnya terdengar tegas.

“Cukup.”

Lusi terdiam. Tak menyangka Zean memotong begitu cepat.

“Satu hal yang harus kamu tahu, Lusi,” lanjut Zean, suaranya dingin. “Aku tidak pernah tertarik lagi pada masa lalu.”

Lusi berkedip. Masih mencoba bertahan dengan senyum kecilnya.

“Kau menyebut aku masa lalu?”

Zean menatapnya tajam.

“Ya.”

Senyum Lusi retak perlahan.

“Aku bukan perempuan yang bisa kamu singkirkan begitu saja, Zean.”

“Aku juga bukan pria yang akan membiarkan orang seenaknya mengganggu hidup orang lain.”

Lusi mengerutkan dahi, bingung.

Zean mendekat sedikit. Suaranya lebih tegas, tanpa nada ancaman berlebihan, hanya peringatan serius.

“Jangan ganggu Nara lagi.”

Lusi terdiam.

“Satu kali lagi aku dengar kau main di belakangku, aku sendiri yang akan membuatmu menyesal.”

Hening.

Lusi mencoba tertawa kecil, tapi tawanya hambar.

“Kenapa? Dia spesial buatmu?”

Zean hanya menjawab dengan tatapan. Jawaban yang cukup untuk menghentikan Lusi bicara.

Lusi menarik napas perlahan, mencoba mengatur emosinya. Ia tersenyum lagi, tipis, palsu.

“Baiklah.”

Ia melangkah mundur satu langkah.

“Kita lihat saja nanti, Zean.”

Tatapan mereka bertemu untuk terakhir kalinya.

Lalu dengan langkah ringan, Lusi meninggalkan ruangan. Tapi Zean tahu, ia belum benar-benar selesai.

Begitu pintu ruang rapat tertutup, Zean berdiri mematung beberapa detik. Nafasnya teratur, tapi matanya menyimpan bara yang belum padam. Ia memijat pelipisnya pelan, lalu berjalan keluar tanpa menoleh.

Ray mengikuti dari belakang, tetap diam sampai mereka tiba di lift.

“Tuan…” Ray akhirnya bicara, suaranya pelan. “Kalau boleh jujur, wajah Lusi tadi, masih menyimpan perkara yang akan dia buat, karen dia bukan lah orang yang mau mundur.”

1
Bintang
Smgt 🌷
Etit Rostifah
lanjut ...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!