Ethan, seorang kurir yang diperlakukan seperti sampah oleh semua orang, dikhianati oleh pacarnya, dipecat oleh bosnya. Tepat pada saat dia hampir mati, seorang lelaki tua memberitahunya identitas aslinya. Sekarang, dia bukan lagi sampah yang tidak berguna, dia disebut Dominus, raja dunia!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZHRCY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Mario tertawa keras. "Dia punya keberanian... tapi itu hanya omong kosong," sindirnya.
"Dia hanya berusaha bertahan di depanmu, ayah," timpal Jeny sambil menahan tawa. "Tapi dia tetap saja pengangguran miskin."
Ella menoleh tajam ke arah keduanya. "Cukup, Mario. Jeny. Setidaknya dia datang ke sini dengan sopan dan tidak kabur seperti pengecut."
Senyum Ethan melebar. Bagaimanapun juga dia adalah Dominus.
Ethan tersenyum, memperlihatkan deretan giginya yang putih dan tersusun rapi. Dia tetap percaya diri karena sudah membicarakan segalanya dengan Harold, dan dia tahu Harold akan membiarkannya bekerja selama yang dia inginkan. Lagi pula, dia adalah bos dari semua ini — hanya saja semua orang belum tahu.
Dia berbalik lagi, meninggalkan ruang tamu, membiarkan Mario, Ella, dan Jeny di sofa, sebelum berjalan lebih jauh ke dalam rumah.
"Aku akan menunjukkan siapa sebenarnya orang rendahan itu," gumam Mario rendah.
"Dan dia pikir dia pantas tidur di rumah ini? Di kamar kakakku? Gila!" desis Jeny sambil menyilangkan kaki.
Ethan tidak menanggapi. Dia tahu bahwa dia tidak bisa kembali ke rumahnya dan harus bermalam di rumah Zoey. Selain itu, dia juga tidak tahu di mana kamar Zoey berada, dia hanya mengikuti instingnya, ditambah lagi dengan percakapan para pelayan yang sempat dia dengar sebelum masuk ke ruang tamu.
Dia berhenti di depan sebuah pintu dan mengetuknya. Butuh beberapa saat sebelum pintu itu terbuka.
Saat Ethan hendak melangkah masuk, Zoey hampir saja menutup pintu tepat di wajahnya. Untung saja dia cukup cepat untuk menghindar.
Zoey membuka pintu lagi, wajahnya yang kemerahan dan bengkak menunjukkan bahwa dia baru saja menangis, meskipun tidak ada bekas air mata di wajahnya.
"Apa yang kau inginkan? Apa yang coba kau lakukan?" bentaknya.
"Aku ingin masuk, tentu saja untuk tidur," jawabnya sambil memandangi Zoey. "Mengapa kau menghalangi jalanku?"
"Kau pasti bercanda jika benar-benar percaya bisa tidur di sini!" dia mendesis.
"Aku suamimu, ingat?" ingatkan Ethan.
Zoey menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak, kau hanyalah pria yang membuatku kehilangan hak warisku karena kebodohanmu. Kau telah menghancurkan hidupku, Ethan, dan aku benar-benar tidak ingin ada urusan lagi denganmu!" gerutunya dengan marah.
"Lalu aku harus tidur di mana?" bantah Ethan.
"Aku tidak peduli!" sahutnya tajam. "Di mana saja, asal bukan di sini!" teriaknya sebelum membanting pintu dengan marah. Kalau saja pintunya tidak sekuat itu, mungkin sudah roboh.
Ethan menghela napas, merasa kasihan padanya. Itu memang salahnya. Dia menyesal pernah mabuk. Malam itu adalah malam yang istimewa yang tidak akan pernah dia lupakan.
Dia menoleh ke sekeliling. Di dekatnya ada kamar lain. Tapi dia bisa membaca tanda-tandanya:
Kamar Jack, dengan tulisan yang agak menyolok.
Kamar Jeny, dihiasi dengan stiker-stiker mewah.
Di seberangnya, kamar Mario dan Ella, jelas terlihat dari foto pasangan tua yang dipajang di pintu.
Di lantai atas, menurut yang ia dengar dari pelayan, adalah kamar Nenek Camila, yang sangat dijaga privasinya
Tidak ada satu pun yang bisa dia pakai.
Namun di sisi kiri ruang tamu, melewati lorong kecil, terdapat area pelayan. Di sana, Ethan menemukan satu kamar kosong yang tidak dikunci. Ukurannya kecil, tempat tidurnya keras, dan tidak ada pendingin ruangan, tapi setidaknya itu tempat yang bisa digunakan untuk tidur.
Dia masuk, duduk perlahan di ranjang sederhana itu, dan membaringkan diri.
"Dari semua tempat di dunia," gumamnya pelan sambil menatap langit-langit kusam kamar itu, "aku harus tidur di kamar pelayan... di rumah istriku sendiri."
POV ZOEY...
Zoey menatap pintu dengan jantung berdebar. Ia mendengar ketukan lembut di baliknya—ritme pelan, penuh ragu, tapi cukup jelas untuk menuntut perhatiannya.
Dia tahu siapa yang berdiri di sana.
Ethan.
Untuk sejenak, dia menatap gagang pintu tanpa bergerak. Ada dorongan dalam dirinya untuk tidak membuka sama sekali, tapi rasa penasaran dan kemarahan yang masih menggelora membuat tangannya bergerak sendiri.
Ketika pintu terbuka, dia melihat wajah itu—tenang, santai, seolah-olah dia tidak menyadari betapa hancurnya hidup seseorang karena satu malam yang bodoh itu.
Dan entah kenapa, melihat wajah Ethan seperti itu membuat amarahnya kembali naik. Zoey langsung mendorong daun pintu hendak menutupnya kembali, berharap bisa memutus koneksi apa pun dengannya malam ini.
Tapi sial, pria itu sigap.
Pintu tertahan. Ia mendongak, dan mata mereka bertemu.
Dia membenci matanya. Mata yang tidak takut, tidak bersalah, dan justru memandangnya seolah dia yang sedang berlebihan.
“Apa yang kau inginkan? Apa yang coba kau lakukan?” bentaknya. Suaranya nyaris gemetar, bukan karena lemah... tapi karena emosinya mulai tak terkendali.
"Aku ingin masuk, tentu saja untuk tidur," jawab Ethan ringan, seolah semuanya normal.
Zoey mengerutkan kening, menahan napas. Tidur? Di sini? Denganku? Apa dia benar-benar berpikir itu bisa terjadi? Setelah semuanya?
"Kau pasti bercanda kalau percaya bisa tidur di sini!" desisnya tajam.
Tapi pria itu tetap saja tersenyum. “Aku suamimu, ingat?”
Kata itu.
Suami.
Zoey menahan napas. Kata itu menusuk seperti pisau. Suami? Karena keputusan nenek yang memaksaku? Karena satu malam yang bahkan tidak kuingat? Karena pria yang kutemui dalam kondisi mabuk—yang bahkan tidak kuinginkan?
Dia menggeleng pelan, menahan air mata yang nyaris tumpah.
"Tidak," ucapnya perlahan, suara penuh luka yang ia bungkus dalam kemarahan. "Kau hanyalah pria yang membuatku kehilangan hak warisku karena kebodohanmu. Kau telah menghancurkan hidupku, Ethan, dan aku benar-benar tidak ingin ada urusan lagi denganmu!"
Dia tidak ingin menyebutkan bahwa dia sudah dimarahi habis-habisan oleh Mario, di depan Jeny, bahwa neneknya mulai mempertanyakan nilai dirinya, dan ibunya hanya bisa memeluknya diam-diam. Semua itu karena satu keputusan yang tidak pernah dia buat.
“Lalu aku harus tidur di mana?” suara Ethan terdengar tidak gentar.
Zoey memelototinya. "Aku tidak peduli!" sahutnya tajam. "Di mana saja, asal bukan di sini!"
Dan dengan semua kemarahan, frustrasi, dan ketidakberdayaan yang sudah ia tahan sepanjang hari, ia membanting pintu itu.
BAM.
Begitu pintu tertutup, dia memejamkan matanya dan bersandar pada kayu dingin di belakang punggungnya.
Hening.
Tidak ada suara dari luar. Tidak ada langkah kaki Ethan menjauh.
Dan itu yang membuatnya kesal—karena dia masih menunggunya. Bagian kecil dari dirinya... masih ingin Ethan bicara. Meminta maaf. Membela diri. Atau mungkin... bertahan?
Sial.
Air matanya jatuh juga. Kali ini, tanpa bisa ia cegah.
Zoey menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan isak yang mulai mendesak dari tenggorokannya. Ia berjalan pelan ke meja rias, tempat di mana ia biasa meletakkan segala yang ingin ia sembunyikan dari dunia luar.
Laci kedua dari bawah.
Tangannya bergerak perlahan, nyaris ragu, seperti menyentuh sesuatu yang suci—atau menyakitkan. Ia menariknya terbuka, dan dari sana, ia mengeluarkan sebuah bingkai foto usang yang terbungkus kain beludru biru tua.
Ia menatapnya.
Foto itu memperlihatkan seorang pria tampan dengan senyum hangat dan tangan besar yang memeluk Zoey kecil erat-erat. Matanya tajam tapi penuh kasih. Di sampingnya, Ella masih muda, tertawa, dan Zoey kecil duduk di bahu pria itu, memegang rambutnya sambil tertawa riang.
Ayahnya.
Ayah kandungnya. Bukan Mario.
Air matanya jatuh tanpa suara saat ia menyapu kaca bingkai itu dengan ibu jarinya.
"Ayah... aku lelah," bisiknya.
Dia tidak pernah merasa seasing ini di rumah sendiri. Sejak ayahnya meninggal, rumah ini berubah. Ibu mulai murung, Mario datang tak lama kemudian. Dan Zoey... dipaksa dewasa sebelum waktunya.
Ayahnya selalu bilang, "Kalau dunia menyakitimu, lindungi hatimu, tapi jangan jadikan itu alasan untuk menyakiti orang lain." Dan sekarang... dia bahkan tidak tahu apakah dia mematuhi atau melanggarnya.
Dia membenci Ethan karena alasan yang bahkan tidak sepenuhnya jelas. Dia merasa dipermalukan, ditinggalkan, dijebak oleh takdir. Tapi juga... bagian kecil dari dirinya merasa hangat saat pria itu menatapnya seolah dia bukan wanita yang rusak.
"Seandainya kau masih di sini..." gumamnya, menggenggam bingkai itu erat-erat. "Kau pasti tahu harus bilang apa padaku. Kau pasti akan melindungiku dari semua ini..."
Tangisnya akhirnya pecah dalam sunyi. Tak ada pelukan, tak ada pelipur. Hanya suara jam dinding dan hatinya yang terus berdebar dalam kebingungan.
Setelah beberapa menit, ia mengusap air mata dengan paksa dan menyembunyikan foto itu kembali.
Ia menatap cermin. Rambut acak-acakan, mata bengkak, wajah lelah. Tapi dia tahu besok pagi dia harus bangun dan menjadi Zoey Miller lagi—wanita kuat, cucu kebanggaan Camila dan mendiang Santiago, pewaris keluarga Miller.
Dan istri... dari Ethan.
Dia mendengus pahit saat mengingat fakta terakhir itu, lalu berjalan ke tempat tidur.