Entah kesalahan apa yang Malea lakukan, sehingga dia harus menerima konsekuensi dari ibunya. Sebuah pernikahan paksa, jodoh yang sang ayah wariskan, justru membawanya masuk dalam takdir yang belum pernah ia bayangkan.
Dia, di paksa menikah dengan seorang pengemis terminal. Tapi tak di sangka, suatu malam Malea mendapati sebuah fakta bahwa suaminya ternyata??
Tak sampai di situ, dalam pernikahannya, Malea harus menghadapi sekelumit permasalahan yang benar-benar menguras kesabaran serta emosionalnya.
Akankah dia bisa bertahan atau memilih berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Draft
Aku tercenung dengan pria yang hendak menantingku . Pria yang sempat ku sadari kehadirannya itu belum ku tahu seperti apa wajahnya karena tertutup topi juga masker.
Begitu dia membuka maskernya untuk sesaat, di situ aku tahu bahwa dia adalah Arga, suamiku sendiri.
Aku terheran..
Bagaimana bisa dia ada di sini? Sedang apa dia? Apakah dia sedang bekerja di sini? Atau apakah dia juga alumni Bina Mandiri?
Ku telan ludahku menghadapi bermacam pertanyaan yang muncul di hati.
Masih termangu, aku mendadak tersentak kaget karena dia berucap.
"Kamu nggak mau naik?" Tanyanya, tidak terdengar dingin, tapi juga tak begitu lembut.
Suaranya datar, sedatar sorot matanya yang menyimpan kekesalan.
"Ngapain kamu disini?" Tanyaku.
"Aku akan jawab di rumah nanti, sekarang kamu naik, kita pulang"
Sebelum benar-benar keluar dari kolam ikan ini, aku melirik sekitar dimana banyak pasang mata menatap ke arahku.
Ya mereka hanya menatap, memilih menyaksikan pemandangan di hadapannya tanpa mau ada yang menolongku. Mungkin apa yang mereka lihat ini merupakan hiburan tersendiri bagi mereka.
Bahkan dengan tanpa hati Nelly, Vellisa, Akila dan Liona menertawakanku dengan sangat sadis.
Mentang-mentang suaminya bekerja di Argantara esculanto Ltd, perusahaan alat-alat medis nomor satu di negri ini, Velisa dan Nelly begitu semena-mena terhadapku.
Menarik napas, ku genggam erat-erat tangan Arga, pelan aku mulai naik dengan bantuan suamiku yang menarik tanganku.
"Siapa, kamu?" Tanya Nelly, merujuk ke Arga setelah aku berhasil keluar dari kolam ikan.
"Aku suaminya?" Jawab Argan dengan gestur tenang, berbanding terbalik dengan perasaanku saat ini.
"Ohh.. Jadi kamu suaminya yang pengemis itu? Heh, kamu tahu nggak pengemis itu profesi paling hina, sampai-sampai orang yang memberikan uang pada pengemis, jika ketahuan oleh aparat negara, dia akan di penjara. Kamu tahu soal peraturan itu kan?"
Arga diam, tak mampu menjawab.
"Ngapain kamu disini, kamu nggak ngemis? Oh.. Atau mau ngemis di sini?" Celetuk Velisa sinis. "Hai... Perhatian semuanya, jika kalian ada uang seribu atau dua ribu, kasihkan ke dia aja"
"Ah mbak Velisa, kebetulan aku ada nih" Ucap Akila. Dia lantas berjalan ke arahku yang berdiri di samping Arga. Dia langsung melempari kami dengan uang kertas dua ribuan. Selanjutnya di susul oleh Nelly, Velisa sendiri, lalu Liona dan yang lainnya.
Berhubung Velisa dan Nelly adalah orang berkedudukan tinggi, teman-temanku yang lain seakan tunduk padanya, dan rak berni menolongku, bahkan atas hasutan Vellisa dan Nelly, mereka ikut membuliku.
"Hey, kalian ini apa-apaan, kalian seperti orang tidak berpendidikan saja" Seru Rifky dengan suara lantang. "Kalian sudah dewasa, dan Malea adalah teman kita, nggak seharusnya kalian melakukan perundungan seperti ini!"
"Kami melakukan apa yang seharusnya kami lakukan, memberi sedekah ke pengemis" Balasan Velisa sambil kembali melempari kami uang nominal dua ribuan.
Tanpa memperdulikan ucapan Velisa, Arga menggandeng tanganku, lalu berjalan meninggalkan tempat ini.
Beruntung tidak semua yang ada di sini melihat perlakuan Velisa dan kawan-kawannya padaku, sebab banyak dari mereka yang memilih fokus dengan produk dari perusahaan yang mensponsori acara ini, tapi ada beberapa juga dari mereka yang mengabadikan kejadian ini menggunakan ponsel mereka.
"Sudah ku bilang nggak usah datang, keras kepala?" Maki Arga, di sela-sela langkah kami. "Selain acaranya malam, mereka yang datang adalah orang kaya, tidak setara dengan kita" Imbuhnya, tanpa peduli perasaanku yang carut marut.
Aku tak merespon, lebih sibuk menghapus air mataku yang mendadak jatuh karena nasibku yang jungkir balik.
"Di mana mobilmu?" Tanyanya.
Aku diam...
"Dimana mobilmu?" Tanyanya lagi ketika aku tak kunjung menjawab.
"Di sebelah timur" Sahutku sambil sesenggukkan.
Arga mengarahkan kaki ke arah timur, tak lama kemudian dia mendapati mobilku.
"Buka pintu" Datar dan kali ini bernada dingin.
Ku buka tas ku yang juga basah kuyup, lalu meraih kunci dan menyerahkannya ke Arga.
Dia menerimanya dengan raut wajah yang tak ku tahu seperti apa ekspresinya. Entah marah, masam, atau malah iba mengasihaniku.
"Masuk!" Perintahnya, menyuruhku duduk di kursi samping kemudi. "Tunggu di sini, aku pamitan dulu sama bosku" Katanya sebelum kemudian menutup pintu mobil.
Hening... Aku mengulas balik kejadian beberapa menit lalu. Seumur-umur aku belum pernah di bully habis-habisan seperti ini. Dan semua ini karena Arga.
"Ah.. Sudahlah, menyalahkan Arga pun tidak ada gunanya" Lirihku, mengusap wajahku gusar.
Tak berapa lama setelahnya, Arga kembali, kemudian langsung masuk ke mobil dan duduk di balik kemudi.
Hawa dingin sudah ku rasakan sejak tadi, dan Arga tiba-tiba menyerahkan kemeja warna putih padaku.
"Ganti bajumu dengan ini!" Pintanya.
"Kemeja siapa ini?"
"Itu kemejaku. Cepat ganti, kamu pasti kedinginan"
"Dari mana kamu dapat kemeja mahal ini?" Tanyaku alih-alih melakukan perintahnya. Sepasang mataku terus mencermati merek yang tertera di bagian krah.
"Itu mahal? Hhh.. yang ku tahu baju mahal atapun murah fungsinya tetap sama"
"Dari mana kamu dapat kemeja ini?" Tanyaku kedua kalinya.
"Bosku yang memberikannya padaku"
"Bos memberikan baju semahal ini? Sekaya apa majikanmu?"
"Jangan banyak bertanya, cepat ganti bajumu"
"Disini?" Aku meliriknya sinis.
"Yakin, kamu mau ganti di toilet? Itu cuma kemejanya doang, kamu akan lebih malu karena nggak memakai bawahan"
Menghela napas, aku masih belum melakukannya.
"Sudah cepat, ini sudah malam, kita harus pulang"
Kembali hening...
"Tenang saja, aku tidak akan melihatnya"
Beberapa detik kemudian, aku akhirnya menuruti perintahnya, membuka bajuku dengan penuh hati-hati seraya berulang kali melirik Arga yang tengah menyandarkan kepala di sandaran kursi, sementara kedua matanya tertutup rapat.
Ku lepas semua pakaianku berikut pakaian dalam.
Astaga, aku memakai kemejanya? Dan parahnya aku nggak memakai pakaian dalam. Kemejanya juga hanya menutupi sebagian pahaku.
"Sudah" Kataku malu-malu.
Arga menoleh ke arahku. Dia seperti tertegun, namun hanya sesaat. Pria itu lantas menelan ludahnya sebelum akhirnya menyalakan mesin mobil.
***
Dalam perjalanan kami sama-sama tidak bersuara.
Arga sibuk menyetir, aku sendiri sibuk menutupi area sensitiveku agar tetap aman.
"Ternyata kamu pandai menyetir?" Tanyaku memberanikan diri. "Ku pikir cupu"
"Selain kuli, aku juga sopir pengangkut sayuran, terkadang bosku menyuruhku ambil sayuran dari ladang para pemasok"
"Benarkah?" Tanyaku dengan nada meledek.
"Terserah, mau percaya atau tidak, bicara denganmu memang seharusnya di sertai bukti"
"Ya bagaimana tidak, ada hal yang kamu sembunyikan, jadi untuk percaya itu susah"
Dia melirikku begitu mendengar kalimatku.
Aku pikir dia akan mengatakan sesuatu, tapi tidak. Dia malah kembali fokus ke kemudinya sampai mobil kami tiba di rumah.
masih pengen di peyuk2 kan sama Arga
hormon bumil tuh Dede utunya masih pengen di manja2 sama ayah nya,,
kebat kebit ga tuh hati kmau
Ayo thor lanjut lagi yg byk ya...penanasaran bgt kelanjutannya...
kenapa ga jujur aja seh.
tapi Lea takut ngomongnya,takut ga di akui sama mas arga
ayo Lea jujur aja aaah bikin gemes deeh