‼️Harap Bijak Dalam Memilih Bacaan‼️
Series #3
Maula Maximillian dan rombongan kedokterannya dibuang ke sebuah desa terpencil di pelosok Spanyol, atas rencana seseorang yang ingin melihatnya hancur.
Desa itu sunyi, terasing, dan tak tersentuh peradaban. Namun di balik keheningan, tersembunyi kengerian yang perlahan bangkit. Warganya tak biasa dan mereka hidup dengan aturan sendiri. Mereka menjamu dengan sopan, lalu mencincang dengan tenang.
Yang datang bukan tamu bagi mereka, melainkan sebuah hidangan lezat.
Bagaimana Maula dan sembilan belas orang lainnya akan bertahan di desa penuh psikopat dan kanibal itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 : Jantung Neraka
...~MAFIA VS PSIKOPAT KANIBAL~...
...----------------...
...----------------...
...----------------...
...----------------...
...•••Selamat Membaca•••...
Langkah kaki Rayden menghentak tanah yang berlumur darah. Di depan sana, pusat desa kanibal dengan lingkaran tanah merah yang mengitari altar kayu penuh ukiran tengkorak sudah menyambut mereka dengan kobaran api dan puluhan mata merah yang haus akan darah.
Teriakan liar pecah dari segala penjuru. Warga desa kanibal berhamburan, masing-masing membawa senjata primitif yang disulap menjadi alat pembunuhan yang mengerikan.
Ada yang mengayunkan parang raksasa dengan gerakan brutal, ada yang berlari membawa obor menyala, dan beberapa mengikat senjata mereka dengan duri serta pecahan logam. Mereka tidak terlatih, tapi ganas. Dan jumlah mereka lima kali lipat dari pasukan Rayden.
Rayden mengangkat tangan. “Formasi sabit! Pisahkan mereka dari altar!”
Serempak, Ford dan Advait menyebar ke kanan dan kiri, membentuk setengah lingkaran. Tiga anggota lainnya mengapit. Di tengah, Rayden maju sendirian, laras senapan otomatisnya terarah pasti ke depan.
Musuh datang dari arah jam dua belas. Empat pria kanibal melompat bersamaan ke arah Rayden, mulut mereka berbuih, tangan menggenggam kapak batu.
Rat-tat-tat!
Rayden menarik pelatuk. Peluru menghantam dada mereka, satu demi satu, tubuh-tubuh melayang dan jatuh berguling dalam genangan darah.
Dari kanan, dua wanita kanibal menyerang Advait dengan panah pendek dari jarak dekat. Satu panah menancap di bahunya, tapi tak menghentikan langkah Advait. Advait menerjang, memutar tubuh, dan menghantamkan lutut ke wajah wanita pertama hingga tulangnya remuk. Yang kedua berusaha kabur, tapi Ford muncul dari balik pohon dan menembakkan peluru ke tengkuknya, seketika langsung sunyi.
Namun di sisi kiri, dua anggota Rayden terjebak. Sekelompok warga desa yang lebih besar, sekitar tujuh orang, mengepung dengan senjata membara. Mereka menyulut obor dan melempar ke arah tim. Api menyambar dedaunan dan tanah kering, asap mulai mengepul di langit malam.
“Arahkan mereka ke sisi sungai!” teriak Rayden sambil menembakkan granat asap. Ledakan tumpul mengguncang tanah, dan asap putih menelan musuh-musuh yang terbatuk dan terhuyung.
Rayden berlari ke arah rekannya yang terkepung. Ia menyapu musuh dengan tembakan presisi, menembak lutut terlebih dahulu untuk melumpuhkan, lalu menyelesaikannya dengan tembakan kepala cepat. Tanpa emosi. Tanpa ragu.
Satu musuh berhasil menjatuhkan senjata salah satu anggota tim Rayden. Mereka berkelahi brutal, tangan menghantam wajah, darah menyembur dari hidung yang patah. Tapi saat sang kanibal hendak menggorok leher dengan pisau batu, Ford datang dari belakang dan menghantam tulang tengkuknya dengan popor.
“Bangkit. Sekarang.”
Rekannya mengangguk dan berdiri dengan wajah penuh darah, tapi matanya membara.
Di tengah, altar yang menyala mulai memekik dengan gong. Seorang pria besar bertubuh penuh luka bakar muncul, bertelanjang dada, membawa palu besi raksasa. Dia mengaum dan mengangkat palunya dengan tinggi, seorang kepala manusia tergantung di salah satu ujungnya.
“Itu Pexir,” desis Advait. Rayden mencengkeram senjatanya. “Biarkan aku yang urus dia.” Rayden maju.
Pexir berlari dan tanah bergetar. Dia mengayunkan palu seperti dewa kematian. Rayden menghindar dengan lompatan ke kiri, lalu menembak. Tapi Pexir mengguling ke tanah, lengan besarnya memutar palu ke arah Rayden lagi.
Serangan itu menghantam batang pohon di belakang Rayden dan meledakkannya jadi serpihan.
Rayden mengeluarkan pisau tempur dan menerjang. Mereka bergulat, tubuh melawan tubuh. Otot bertabrakan, tenaga membentur tenaga. Pisau menusuk sisi rusuk Pexir, tapi pria itu hanya meraung dan menanduk Rayden hingga terlempar ke tanah.
Ford dan Advait hendak membantu, tapi Rayden mengangkat tangan.
“Biarkan. Ini antara aku dan dia.”
Pexir maju, tubuh raksasanya menutupi cahaya api. Rayden bangkit, darah menetes dari pelipis. Mereka berhadapan sekarang.
Pexir mengayunkan palu dan Rayden melompat, membiarkannya menancap ke tanah. Dalam detik itu, ia menerjang, menancapkan pisau ke leher Pexir, lalu menarik ke samping. Darah menyembur seperti pancuran liar. Pexir menggeram, berusaha mencengkeram leher Rayden, tapi tubuhnya goyah.
Rayden menarik granat dari sabuk, menyelipkannya ke ikat pinggang Pexir yang penuh tulang, lalu mendorong tubuh itu ke altar. Beberapa kanibal menyambutnya dan dalam lima detik, BOOM!!!
Altar meledak dengan potongan tubuh terlempar. Api membesar. Asap hitam menyelimuti malam.
Pexir dan beberapa kanibal lainnya mati di dalam ledakan tersebut.
Sorakan musuh berubah menjadi jeritan. Mereka kehilangan pemimpin dan kekacauan mulai pecah. Sebagian kabur, sebagian mengamuk buta.
Tim Rayden memanfaatkan itu. Mereka bergerak cepat, menghantam sisa-sisa musuh. Butuh waktu tiga menit, tapi akhirnya tak ada lagi yang berdiri di tengah desa. Hanya mayat, darah, dan api.
Rayden terhuyung, mengatur napas. Kompas di lehernya terasa berat dan pikirannya kembali pada sang istri yang belum terlihat sosoknya.
Pertarungan belum selesai. Tapi malam itu, jantung desa kanibal telah dibakar.
Dan Rayden… adalah apinya.
“Mereka semua kabur, tidak ada yang tersisa lagi di sini. Kita keluar,” ujar Rayden dengan jelas di sela napasnya.
“Oke.” Mereka semua keluar dari desa tersebut melewati gerbang utama.
Langkah-langkah mereka menjauh dari desa yang kini tinggal bara dan darah. Api masih menjilat langit malam, tapi suara-suara sudah lenyap, tak ada lagi jeritan, hanya gemerisik angin dan detak jantung yang belum reda.
Rayden menoleh sekali ke belakang, menatap bayangan desa kanibal yang memudar di antara kabut dan asap. Itu bukan kemenangan. Itu hanya bagian dari perjalanan.
Mereka kembali masuk ke hutan, menyusuri jalur gelap yang belum mereka kenal. Dedaunan basah menyentuh wajah, tanah berlumpur membungkus sepatu, dan malam terasa makin sunyi. Tapi tak ada yang melambat. Semua tetap melangkah dan mata fokus, senjata siaga.
Maula masih di luar sana. Terluka. Tersembunyi. Bertahan.
Rayden menggenggam erat kompas kecil yang dingin di dadanya. Di balik hutan pekat dan gelap ini, ia tahu ada satu cahaya yang harus ia temukan.
Pelita Rayden.
Dan dia bersumpah, malam ini belum akan berakhir sebelum jejak Maula kembali ditemukan.
Di bagian lain...
Sofia, Rachell, dan Corvin sadar. Mereka memegangi kepala dan pandangan mereka mengabur.
“Kita masih hidup,” bisik Corvin.
“Maula? Mereka membawa Maula,” seru Sofia dengan panik dan mereka mulai berdiri.
“MAULAAA!!!”
Teriakan Sofia terdengar di tengah sunyi hutan itu, Rayden dan tim langsung bergegas ke arah suara.
“Itu Sofia,” seru Rayden.
“SOFIAAA!!”
Sofia tersenyum, karena dia sangat mengenali suara Rayden. Mereka saling berteriak agar bisa saling menemukan. Cukup lama, dan akhirnya mereka bertemu.
“Kalian baik-baik saja?” tanya Rayden dengan mata yang terus melihat sekeliling.
“Alhamdulillah kami baik, hanya saja Maula dibawa oleh Anna dan Mavros.” Rayden mengerutkan dahi.
“Kenapa mereka membawa Maula?” Sofia dan Rachell menceritakan apa yang terjadi sebenarnya.
Rayden, Advait, dan Ford tampak begitu geram. Mereka seakan siap menerkam Mavros dan Anna saat ini juga.
“Keparat,” geram Rayden.
...•••Bersambung•••...