Milana, si gadis berparas cantik dengan bibir plum itu mampu membuat Rayn jatuh cinta pada pandangan pertama pada saat masa kuliah. Namun, tak cukup berani menyatakan perasaannya karena sebuah alasan. Hanya diam-diam perhatian dan peduli. Hingga suatu hari tersebar kabar bahwa Milana resmi menjadi kekasih dari teman dekat Rayn. Erik.
Setelah hampir dua tahun Rayn tidak pernah melihat ataupun mendengar kabar Milana, tiba-tiba gadis itu muncul. Melamar pekerjaan di restoran miliknya.
Masa lalu yang datang mengetuk kembali, membuat Rayn yang selama ini yakin sudah melupakan sang gadis, kini mulai bimbang. Sisi egois dalam dirinya muncul. Ia masih peduli. Namun, situasi menjadi rumit saat Erik mencoba meraih hati Milana lagi.
Di antara rasa lama yang kembali tumbuh dan pertemanan yang mulai diuji. Bagaimana Rayn akan bersikap? Apakah ia akan mengikuti sisi dirinya yang egois? Atau harus kembali menyerah seperti dulu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meridian Barat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 16 (Kesempatan Terakhir)
...~Selamat Membaca~...
.......
.......
"Eh, Milan? Kok, kamu di sini?" Pertanyaan pertama dari Adit ketika Milana baru saja masuk ke dapur. "Kalau Mas Rayn tahu, bisa dimarahi lho, kamu," katanya lagi. Pria itu sedang sibuk memotong beberapa sayuran.
"Apa, sih, Mas ... orang aku disuruh Mas Rayn, kok," balas Milana seraya menarik nampan berisi bermacam-macam sayuran di depan Adit. Mengambil timun dari sana.
Adit berkerut heran. "Mas Rayn? Masa, sih?"
Milana mengangguk kecil. Adit mencibir tak percaya.
Milana mendengkus. "Ya udah, sih kalau nggak percaya." Tangannya mengambil pisau dan memotong-motong timun sekenanya. Membuat Adit mendelik kesal.
"Astaga, Milan! Kamu belum semenit di sini, tapi sudah merusak!" sungutnya seraya merampas sisa timun yang sudah terpotong tak beraturan dari tangan Milana.
Milana hanya memandangi timun yang direbut Adit. "Aku tuh, sebel sama Mas Rayn." Tangannya mencomot potongan timun di atas talenan, menggigitnya sebagian. "Kemarin, aku dilarang masuk dapur," ujarnya dengan kunyahan timun di mulut. "Hari ini, aku disuruh bantu-bantu di dapur. 'Kan aneh."
Sudut bibir Adit mencibir. "Jadi, hari ini kamu disuruh bantu-bantu di sini?"
Milana mengangguk, menyuapkan sisa potongan timun di tangannya.
"Aku nggak yakin kamu akan membantu, sih." Adit menatap Milana dengan tatapan meremehkan.
Milana mendelik. "Dih ... Gitu banget. Aku juga bisa membantu, tau!" protesnya.
Adit memutar bola mata. "Kalau benar bisa membantu, sekarang tolong bantu menghaluskan semua bumbu-bumbu itu." Adit menunjuk dua nampan kecil berisi beberapa rempah dan bawang yang sudah terkupas.
Milana membawa pandangannya ke arah yang ditunjuk Adit. Sedetik kemudian matanya membulat. "Mas Adit, yang benar saja! Masa aku disuruh menghaluskan bumbu sebanyak itu, sih! Ya pegal, dong tanganku, Mas!" protesnya seraya menatap sebal ke arah pria berseragam koki di depannya itu.
Adit mendengkus, sementara tangannya masih sibuk mengoles madu ke atas ikan fillet. "Kok, bisa pegal? Memangnya blendernya kamu ayun-ayun, hah?"
Milana nyengir kuda. "Kupikir disuruh menghaluskan memakai cobek." Lalu terkekeh.
Adit mencebik. "Ya Kali, aku suruh kamu menghaluskan pakai cobek. Pakai blender saja, belum tentu bisa kau kerjakan dengan benar."
Milana mendengkus ala banteng. "Aku bisa!"
Adit mencebik. Paham betul gadis di depannya itu memang selalu percaya diri, meskipun ujung-ujungnya dia tidak bisa mengerjakan apapun dengan benar. "Pasti kamu bikin masalah lagi, ya? Makanya, Mas Rayn menyuruhmu kembali ke dapur?" tuduhnya.
Milana mendelik kesal. "Tidak, ya! Aku saja baru datang tiba-tiba ditarik ke ruangannya ... disuruh menunggu dan berakhir disuruh ke dapur, padahal aku 'kan tidak suka dapur." Milana melirik Adit. "Selain tidak bisa masak ... Ada koki galak," ucapan terakhir Milana pelan, tetapi Adit masih bisa mendengar.
"Siapa bilang aku galak! Aku hanya galak padamu saja ya, Milan. Itu juga karena kamu ngeselin!" ujar Adit tak terima dibilang galak.
Milana mencebik. "Enggak! Mas Adit, tuh emang galak. Makanya cepet tua." Milana tertawa melihat wajah sebal Adit. Berlari menjauh saat Adit mengangkat sawi yang seolah hendak dilempar ke arahnya.
Milana tertawa-tawa, seraya bertanya, "Mas, mana blendernya?" Dia sudah berdiri di ujung dapur.
"Di lemari atas kamu itu, hati-hati mengambilnya. Ada banyak barang di sana!"
Milana tak menjawab, bergegas mengambil blender dari lemari dan segera melakukan apa yang diperintahkan Adit.
...****************...
Rayn pergi ke dapur, berniat mengecek pekerjaan Milana. Memastikan gadis itu tak membuat masalah lagi. Namun, Baru sampai di ambang pintu, Rayn bisa mendengar dan melihat Adit sedang mengomel.
"Kamu gimana, sih, Milana ... Kenapa bumbu itu malah kamu campur jadi satu?!" Suara Adit terdengar kesal.
"Mas Adit, 'kan gak bilang kalau jangan dicampur! Cuma bilang suruh menghaluskan semua bumbu. Ya, mana kutahu kalau tidak boleh dicampur!" sahut Milana tak kalah kesal.
"Seharusnya kamu bisa mikir, dong! Itu ada dua nampan. Artinya itu berbeda, Milana!"
"Ya aku mana tau, Mas ... Lagian udah tau, aku gak ngerti apa-apa soal dapur, kenapa gak jelasin aja dari awal kalau harus dibedakan." Milana masih tidak mau kalah. Merasa bahwa Adit memerintahnya dengan kurang jelas. "Sekarang malah ngomel-ngomel, lagi."
"Kalau tau kamu nggak mampu ... kenapa menerima pekerjaan ini?" Adit kesal. Sebenarnya ia tak berniat membuat Milana tersinggung. Hanya saja saat ini dia kesal pada gadis itu.
Rayn yang masih di ambang pintu dapur menghela napas panjang sebelum akhirnya berseru, "Apa kamu membuat masalah lagi, Milana?!" Ia paham, Adit tidak akan bersuara tinggi jika tidak terjadi masalah.
Membuat Adit dan Milana yang tengah asyik berdebat menoleh bersamaan. Tampak Rayn berjalan ke arah mereka.
Milana berdecak samar. Sebal. 'Aduh ... tanda-tanda bahaya, nih. Eh, tapi tadi 'kan dia yang menyuruhku ke dapur. Itu saja kujadikan senjata kalau dia mengomel,' Milana membatin.
"Ini ... Milana aku suruh menghaluskan bumbu untuk soto dan bumbu merah, tapi malah dicampur jadi satu," jelas Adit dengan nada masih sedikit kesal.
Milana mendelik mendengar ucapan Adit.
Rayn menatap Milana, begitu pun sebaliknya. "Tidak bisakah sehari saja ... kamu bekerja dengan serius, Milana? Bekerja sebaik mungkin dan tidak membuat masalah! Kenapa selalu membuat masalah di dapur?"
Milana memejamkan mata sebentar dengan bibir berdecak kecil. "Maaf ya, Mas Rayn. Siapa yang suruh saya untuk bantu-bantu di dapur? Padahal, sudah tahu saya tidak bisa bekerja di dapur ... Kenapa sekarang saya diomeli?" Milana kesal. Merasa bahwa ini juga salah Rayn. "Saya sudah menolak, tadi."
Rayn dan Adit saling pandang untuk beberapa detik.
"Kalau kamu memang mau bekerja, di manapun kamu ditempatkan seharusnya bisa bertanggung jawab dengan pekerjaan yang diberikan!" Suara Rayn agak meninggi. Ia tidak bisa terus-menerus menoleransi kesalahan dengan alasan yang dibuat Milana.
Milana mengambil napas panjang. "Iya, oke ... saya minta maaf. Sekarang apa boleh saya lanjutkan pekerjaan yang seharusnya saya kerjakan di depan?"
Rayn tak segera menjawab. Menghela napas panjang dan menatap gadis itu lama sebelum berkata, "Milan, ini kesempatan kamu yang terakhir. Kalau ada masalah lagi, saya tidak akan berpikir dua kali untuk memecat kamu. Silahkan ke depan dan kerjakan tugas yang menjadi tanggung jawab kamu."
Milana tak lagi menjawab. Hanya mengangguk walaupun di hati sebenarnya mengomel tak terima, 'Selalu saja mengancam pecat, mentang-mentang aku butuh pekerjaan ini dia seenaknya bersikap padaku!'
Rayn terus menatap Milana hingga gadis itu hilang di balik pintu dapur.
'Aku terlalu tergesa-gesa menerimanya bekerja di sini, padahal dia membuat schotel panggang saja tidak bisa,' sesalnya dalam hati.
.
.
.
Bersambung...
Milana. ,gadis SPG seperti diriku/Hey/