Doa Serena setiap waktunya hanya ingin bahagia, apakah Serena akan merasakan kebahagiaan yang dia impikan? atau malah hidupnya selalu di bawah tekanan dan di banjiri air mata setiap harinya?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita03, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Halaman Enam Belas
***
Langit malam mulai gelap saat Serena berdiri di depan cermin kecil di kontrakannya. Di tangannya, selembar gaun berwarna maroon jatuh ringan seperti helai kelopak mawar yang baru dipetik.
Gaun itu tiba sorenya dalam kotak putih sederhana yang dikirimkan kurir ke depan rumahnya—tanpa nama pengirim, hanya disertai sebuah pesan singkat:
“Kalau kamu mau datang malam ini, pakai ini. Aku nggak bisa jemput, ada urusan mendadak. Tapi aku akan menunggu di sana.” – Hafiz.
Serena membaca pesan itu berkali-kali, jantungnya berdetak tidak beraturan. Ia tidak menyangka Hafiz akan mengirimkannya gaun untuk acara malam ini.
Bahkan ia tidak yakin akan datang. Namun kini, rasa menolak itu perlahan terkikis oleh perhatian kecil yang sederhana, namun tulus. Seolah-olah Hafiz tahu bahwa jika tidak memberinya alasan yang cukup, Serena akan memilih tetap tinggal dan menutup diri.
Perlahan, ia bersiap. Air hangat menyentuh kulitnya saat ia mandi dan menenangkan pikirannya. Selesai mandi, ia memilih riasan yang sangat ringan—sekadar bedak tipis, eyeliner halus, dan lipstik lembut berwarna nude.
Rambutnya ia biarkan tergerai dengan lembut di bahu. Gaun maroon itu ternyata pas di tubuhnya. Tidak ketat, tidak terlalu longgar—jatuh anggun di pinggang dan mengembang ringan di bagian bawah.
Serena berdiri lama menatap bayangannya sendiri di cermin, seolah sulit percaya bahwa perempuan dalam pantulan itu adalah dirinya.
Ia mengenakan sepatu hak tinggi senada dan membawa clutch kecil. Jam menunjukkan pukul 19.02 saat ia memesan taksi online dari aplikasinya. Tak lama, ponselnya berbunyi tanda sopir sudah menunggu di depan gang kecil tempat kontrakannya berada.
Serena melangkah perlahan keluar rumah. Hak sepatunya mengetuk permukaan tanah dengan irama tenang. Di ujung gang, seorang ibu tetangga yang sedang menyapu sempat berhenti dan memperhatikannya. “Wah, Mbak Serena cantik banget malam ini, ada acara ya?” tanyanya ramah.
Serena hanya tersenyum kecil. “Iya, Bu. Ada acara kantor.”
Sepanjang perjalanan, lampu-lampu kota menghiasi jendela taksi seperti gemintang. Serena duduk diam, menatap ke luar. Hatinya campur aduk—antara gugup, bingung, dan… sedikit bahagia.
Ini bukan pertama kalinya ia menghadiri acara perusahaan, tapi kali ini berbeda. Ia merasa seperti tamu yang benar-benar diundang, bukan hanya staf tambahan yang hadir karena wajib.
Ketika taksi tiba di pelataran hotel, gedung tinggi dengan ornamen lampu kristal di pintu masuk tampak begitu megah. Banyak karyawan sudah berdatangan, sebagian berfoto di spot-spot dekorasi yang dihias dengan bunga putih dan lampu gantung kecil.
Serena menarik napas panjang sebelum keluar dari mobil. Hatinya kembali bergemuruh. Apakah ia akan terlihat aneh? Apakah orang-orang akan bertanya soal gaun yang ia kenakan? Apakah akan ada yang memandanginya seperti dulu—seperti si gadis yang tidak pantas berada di tempat semewah ini?
Namun semua pikiran itu ia telan pelan-pelan. Ia datang karena diundang. Ia datang bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk dirinya sendiri. Untuk belajar berdiri lebih tegak.
Di dalam ballroom, suasana lebih meriah dari bayangannya. Musik lembut mengalun, lampu-lampu temaram menghiasi langit-langit tinggi. Meja-meja bundar berjajar rapi, dan di depan ada panggung kecil dengan layar LED bertuliskan:
"Anniversary ke-12 – PT Nusaraya Gemilang"
Beberapa orang melirik Serena saat ia masuk, sebagian mengenali wajahnya, sebagian hanya melihat lalu tersenyum sopan. Ia membalas dengan anggukan kecil. Di antara keramaian itu, ia mencoba mencari sosok Hafiz, tapi tak kunjung melihatnya.
“Serena?”
Ia menoleh. Mbak Rina dan Fifi menghampirinya dengan ekspresi antusias.
“Ya ampun, kamu cantik banget malam ini! Serius deh,” puji Fifi sambil melirik gaunnya dari atas sampai bawah.
“Iya, aku sempat mikir kamu nggak bakal datang,” timpal Mbak Rina. “Tapi ternyata... wow. Keren banget.”
Serena tersenyum, gugup. “Tadi sore baru mutusin datang.”
Mereka bertiga berjalan bersama menuju meja yang disediakan untuk tim Divisi Umum. Di sana sudah ada Jaja dan Andra yang langsung memberi tepuk tangan pura-pura saat melihat penampilan Serena.
“Aduh, kalah start nih kita, Ja. Serena yang menang malam ini,” canda Andra sambil menyeruput minuman.
Serena tertawa kecil. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa benar-benar diterima. Tidak hanya dilihat, tapi juga dihargai—dan itu bukan karena penampilannya malam ini, tapi karena ia mulai membuka dirinya sedikit demi sedikit.
Sekitar pukul delapan malam, acara resmi dimulai. Ada sambutan dari CEO lama, pemutaran video perjalanan perusahaan, dan hiburan musik dari band lokal.
Saat sesi makan malam dimulai, barulah Serena melihat Hafiz muncul dari arah pintu belakang ballroom.
Mata mereka bertemu sejenak. Hafiz mengenakan jas hitam dengan dasi warna senada gaun Serena. Ia tidak langsung menghampiri, hanya memberi anggukan kecil sambil tersenyum tipis. Serena membalasnya pelan, lalu kembali ke obrolan bersama rekan-rekannya.
Ada jarak yang dibiarkan Hafiz malam itu. Ia tidak memaksa mendekat, tidak membuat Serena menjadi pusat perhatian. Tapi dari jauh, Serena tahu… ia memperhatikan.
.
Acara terus berlangsung meriah. Musik menggema lembut, tawa para tamu bersahut-sahutan, dan para karyawan mulai bergerak ke area photobooth, menyempatkan diri mengambil gambar kenang-kenangan malam itu.
Serena masih duduk di kursinya, memperhatikan sekeliling sambil sesekali menyesap minuman manis di gelas plastik anggun yang disediakan.
Matanya, entah kenapa, terus mencari sosok Hafiz. Ia pikir—atau berharap—laki-laki itu akan menghampirinya, sekadar menyapa atau mengajaknya berbincang seperti biasanya.
Tapi waktu berlalu.
Yang ia lihat justru pemandangan lain yang tak ia duga.
Di sisi ruangan yang sedikit lebih tenang, dekat pintu menuju ruang VIP, Hafiz berdiri bersama kedua orang tuanya—Bu Farhana dan Pak Fadlan. Mereka tampak sedang berbincang akrab dengan sepasang suami istri paruh baya dan… seorang gadis cantik bergaun silver dengan rambut disanggul elegan.
Serena tidak mengenal siapa mereka. Tapi dari cara para orang tua itu tertawa dan menepuk-nepuk lengan Hafiz dengan ramah, dari cara perempuan cantik itu sesekali melirik Hafiz sambil tersenyum malu, Serena langsung merasa sesuatu menusuk dadanya pelan.
Ia berusaha mengalihkan pandangan, berpura-pura tidak peduli. Tapi matanya terus saja melirik ke arah itu.
Dan ketika Hafiz tersenyum dan menyentuh punggung tangan perempuan itu dengan sopan—sebagai bagian dari percakapan—dadanya seperti tercekat. Entah kenapa rasanya sesak.
Serena bangkit dari kursinya, berpura-pura hendak ke toilet. Ia melewati deretan meja, berjalan pelan menuju koridor samping yang mengarah ke toilet hotel.
Di sepanjang lorong itulah, ia tanpa sengaja mendengar percakapan dari balik dinding tipis yang memisahkan lorong dan ruang tunggu kecil.
“Katanya gadis yang lagi sama Pak Hafiz itu calon tunangannya.”
“Katanya sih iya, Cantik, pintar, dan dari keluarga baik-baik,” timpal yang lain, disusul tawa pelan.
“Tapi, bukannya pak Hafiz dekat sama karyawan baru dari Divisi Umum itu ya?”
“Mereka temenan mungkin, kalau ia dekat nggak mungkin kan ada kabar kalau Pak Hafiz akan bertunangan dengan Putri dari salah satu pengusaha di kota ini.”
Langkah Serena terhenti. Jantungnya berdetak cepat.
Tunangan? pikirnya. Hafiz… akan bertunangan?
Perlahan, ia mundur. Kaki-kakinya seperti kehilangan tenaga. Dadanya panas, seolah ada yang diremas dari dalam. Ia tidak tahu kenapa ia merasa begini.
Bukankah sejak awal ia memang tidak berharap apa-apa? Bukankah ia tahu tempatnya?
Tapi tetap saja…
Ada sesuatu yang hancur diam-diam di dalam dirinya malam itu.
Serena kembali ke arah ballroom, tapi bukan untuk duduk. Ia langsung berjalan menuju lobi hotel dan memesan ojol.
Tangannya sedikit gemetar saat mengetik. Beruntung, ada pengemudi yang cepat menerima pesanannya.
Sebelum meninggalkan hotel, ia sempat mengirim pesan pada Mbak Rina:
“Mbak, maaf aku pulang duluan. Ada urusan mendadak. Terima kasih ya malam ini.”
Tak butuh waktu lama, ojek online yang ia pesan datang dan Serena segera naik. Ia tidak menoleh ke belakang. Ia tidak ingin melihat ballroom yang penuh gemerlap itu lagi.
Malam yang tadi terasa hangat, kini hanya meninggalkan rasa dingin yang menggigit.
Dalam perjalanan pulang, Serena memejamkan mata. Ia menahan air mata agar tak jatuh. Ia tak tahu harus merasa apa.
Tapi ia tahu, malam ini ia belajar satu hal: jangan pernah menggantungkan harapan pada seseorang yang belum pernah benar-benar menyatakan apa pun.