Niatnya mulia, ingin membantu perekonomian keluarga, meringankan beban suami dalam mencari nafkah.
Namum, Sriana tak menyangka jika kepergiannya mengais rezeki hingga ke negeri orang, meninggalkan kedua anaknya yang masih kecil – bukan berbuah manis, melainkan dimanfaatkan sedemikian rupa.
Sriana merasa diperlakukan bak Sapi perah. Uang dikuras, fisik tak diperhatikan, keluhnya diabaikan, protesnya dicap sebagai istri pembangkang, diamnya dianggap wanita kekanakan.
Sampai suatu ketika, Sriana mendapati hal menyakitkan layaknya ditikam belati tepat di ulu hati, ternyata ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Isyt : 15
Sriana bergegas turun, memastikan sendiri kalau sepupunya benar-benar sudah terlelap.
“Ihhh! Rasanya pengen tak kruwes lambe laknat mu iku Tri!” dia geram sekali, jemarinya menyentil bibir Triani.
(Rasanya ingin ku remas bibir laknat mu)
Seandainya saja tidak ada misi penting, pasti Sriana langsung mengerjai kakak sepupunya, tapi dia dapat mengontrol diri, pikirannya pun masih jernih, dan anggota gerak bisa diajak kerjasama.
Sri mengambil ponsel Triani yang masih memutar lagu dangdut, lalu di otak-atik, membuka galeri mencari bukti.
"Ternyata dia cerdik juga, tidak ada satupun foto mesumnya maupun Agung yang disimpan,” gumamnya pelan. Ponsel Triani bersih dari gambar maupun video tidak senonoh.
Triani juga menggunakan pesan timer – dua puluh empat jam terhapus otomatis.
Hembusan napas Sriana terdengar berat, sia-sia dia menggeledah ponsel, tapi hasilnya tak sesuai harapan.
Wanita berwajah jerawat batu itu tertegun, matanya memandang ruangan kecil hanya muat ranjang, lemari pakaian dua pintu, serta meja.
"Pasti ada yang dia sembunyikan, aku ndak boleh menyerah.” Kakinya melangkah mendekati lemari pakaian Triani.
Wanita jahat itu menguasai tempat penyimpanan baju. Membuat Sriana tidak memiliki lemari penyimpanan, selain laci meja serba guna.
Tumpukan lipatan baju di geledah, laci ditarik dan diperiksa isinya, tetap tidak ada apa-apa. Hanya pakaian, tas, aksesoris.
Sriana berkacak pinggang, dia mulai pesimis, tapi masih berusaha untuk terus berupaya.
‘Kamar mandi?’ kalimat itu terlintas begitu saja. Bergegas dia keluar kamar tidur, dan menuju ruangan diseberangnya.
Sriana memijak kloset duduk, lalu naik di meja marmer wastafel. Dibukanya lemari kabinet tempat penyimpanan handuk, dan stok produk kecantikan Triani, digeledahnya dengan memandang lekat, diteliti satu persatu, dibaca cermat kegunaan botol-botol perawatan kulit itu.
‘Apa ini?’ Sriana merasa aneh, kenapa disitu ada baking soda kue. Dia berjinjit agar tangannya bisa dapat menjangkau lebih jauh ke dalam lemari.
‘Pil jerawat?’ ejanya, setahunnya Triani tidak pernah berjerawat.
Baking soda dan pil dia genggam lalu dirinya turun, kemudian duduk di atas kloset duduk. Sriana mengambil ponsel pada saku jaketnya, membuka aplikasi pintar, mencari tahu kegunaan benda tadi.
Pil khusus jerawat apabila dikonsumsi oleh seseorang memiliki kulit sensitif, bukan cuma mengobati tapi dapat juga memperparah kondisi wajah, menyebabkan jerawat batu.
Paragraf itu layaknya anak panah menghujam jantung Sriana. Dia memiliki kulit sensitif, dan mudah timbul bintik-bintik merah seperti biduran kala cuaca dingin yang ekstrim, maupun ruangan pengap berdebu. Sehingga majikannya menyetok pil alergi untuknya, dapat langsung diminum sewaktu-waktu.
Jemari Sriana menari lincah menekan huruf-huruf di layar ponsel, mencari tahu kegunaan baking soda, dan apa saja pemicu munculnya jerawat batu.
Baking soda bila digunakan rutin pada wajah, dapat merusak jaringan kulit, mengikis, dan berefek jerawat.
“Bangsat kowe Tri! Setan, titisan Dajjal!” makinya tidak berkesudahan. Dadanya terasa panas, darah berdesir.
“Berarti selama ini bukan krim dan kulit wajahku yang bermasalah, tapi ulah tangan jahat Triani. Dia mencampurkan bahan berbahaya ini di skincare ku.” Sriana meremat bungkus pil yang masih ada tujuh butir.
Wajah wanita berumur tiga puluh tahun itu memerah, rasanya dia ingin marah, melampiaskan dengan cara sadis.
“Ndak boleh, aku harus waras. Jangan sampai berurusan dengan pihak berwajib, mana sedang di negara orang lagi, kasihan Ambar dan Septian nanti.” Kepalanya menggeleng, dia bergumam, mengusir pikiran liar nan brutal.
Sriana mengambil satu butir pil jerawat, lalu menarik tissu dan menuang bubuk baking soda. Sesudahnya membereskan kembali barang-barang tadi sampai terlihat rapi seperti semula.
“Harus tega! Dia saja merusak wajahku bisa, sama sekali ndak merasa bersalah. Menggoda Agung pun ayo-ayo saja, kenapa aku masih memikirkan bagaimana efeknya nanti. Ya biarkan sajalah, sekali-kali wajib dikasih pelajaran perempuan berpenyakit mental itu!” Genggaman tangannya menguat, mengusir rasa simpati serta empati.
***
Sriana menggerus satu butir pil, lalu dicampurkan ke bubuk baking soda, setelahnya ditaruh piring kecil, dia mengambil sarung tangan plastik.
Mata Sriana berkilat saat melihat botol bubuk cabai diatas meja dekat alat penanak nasi, dia ambil, dan bawa serta.
Dirinya mengintip kamar nenek, memastikan wanita tua itu masih terlelap, baru setelahnya naik ke lantai atas.
Ketika masuk ke dalam kamar, Triani masih tidur dengan posisi seperti tadi, terlentang.
Sriana terkekeh, dia merasa mentalnya jauh lebih sehat ketika otaknya dipaksa bekerja berat memikirkan rencana-rencana jahat.
Perasaannya pun kian membaik. Rasa sedih, nyaris putus asa, menyalahkan diri sendiri, merasa tidak becus menjadi seorang ibu – perlahan-lahan mulai menepi satu persatu.
"Aku ibu yang hebat, kuat – buktinya, sedari Septian dan Ambar Ratih bayi sampai besar, mereka lebih banyak tak nafkahi daripada dihidupi Agung," hatinya tengah menghibur diri.
"Aku juga wanita bermartabat, terhormat. Ndak pernah neko-neko, apalagi main gila. Sangat setia sampai bodoh mencintai secara ugal-ugalan pria bermodalkan tampang tidak seberapa tampan, tapi nyakitin hatiku sampai tembus layar ponsel," monolognya sedikit tidak nyambung.
Sriana memakai sarung tangan, mengambil irisan buah Tomat tadi, membalurkan dengan bubuk mujarab.
Kelopak mata, pipi, sudut bibir, kening, hampir seluruh wajah Triani di tempeli buah berwarna merah cerah.
"Coba jadi aku sehari saja, biar kamu tahu gimana rasanya nahan perih, gatel, panas, akibat jerawat batu ulah tanganmu." Sriana beranjak, keluar dari kamar.
Dia tidak takut kalau semisal Triani menaruh curiga, merasa belum menggunakan masker alami, tapi kenapa wajahnya penuh buah Tomat, sebab pil tadi selain melenakan, bisa juga membuat orang linglung. Jadi, tinggal dia pengaruhi saja jalan pikiran sepupunya.
"Kamu paling suka pakai jubah maroon ini sewaktu vcs menggoda Agung kan? Nah, besok dirimu pasti lebih suka lagi saat merasakan sensasi berbeda, biar bertambah panas membara kegiatan tak senonoh kalian ... Ha ha ha!" Sriana tidak sungkan-sungkan menaburkan bubuk cabai. Beruntung lantai kamar mandi berwarna abu-abu gelap.
Saat misinya selesai, dia tersenyum miring, lalu turun ke lantai bawah, bersiap tidur menemani Bobo.
***
Pukul tiga dini hari.
"Opo ki kok cekit-cekit, gatele rah umum (Apa ini, kok terasa menggigit, gatal sekali)!" Triani gelisah, tidak sadar tangannya menggaruk pipi.
ARRRGGGG ....
.
.
Bersambung.
Hati-hati Sri demi Septian dan ambar
tian bek ambar bikin dek dekan wae😭😭😭
sini ke Aceh dulu..
ngeteh kita 🤭🤭🤣🤣