Aruna tahu hidupnya tidak lama lagi. Demi suami dan putri kecil mereka, ia memilih sesuatu yang paling menyakitkan... mencari wanita yang akan menggantikannya.
Alana hadir sebagai babysitter tanpa mengetahui rencana besar itu. Adrian salah paham dan menilai Lana sebagai perusak rumah tangga. Namun, pada akhirnya Aruna memaksa keduanya menikah sebelum ia pergi untuk selamanya.
Setelah Aruna tiada, Adrian larut dalam rasa bersalah dan menjauh dari istri keduanya. Lana tetap bertahan, menjalankan amanah Aruna meski hatinya terus terluka. Situasi semakin rumit saat Karina, adik Aruna berusaha merebut Adrian dan menyingkirkan Lana.
Akankah Adrian berani membuka hati untuk Alana, tanpa mengkhianati kenangan bersama Aruna? Atau justru semuanya berakhir dengan luka yang tak tersembuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 15.
Di ruang tengah, keheningan menggantung seperti kabut tipis yang enggan pergi.
Adrian menatap ponselnya, lalu menyodorkannya pada Alana. “Aku minta nomormu. Aku nggak mau kejadian kayak tadi terulang, tapi aku malah nggak bisa menghubungimu.”
Alana sempat ragu, tapi akhirnya ikut menyerahkan ponselnya. Jari mereka bersentuhan sekilas saat bertukar nomor, sentuhan ringan yang entah kenapa terasa lebih lama dari seharusnya.
“Tuan tahu saya pergi, darimana?” tanya Alana pelan.
Adrian mendengus dalam hati.
Tuan, lagi. Apa susahnya panggil Mas?
“Mulai sekarang, panggil aku Mas. Aku suamimu, bukan majikanmu.” Katanya datar tapi tegas.
Pipi Alana seketika bersemu merah. “B-baik, Mas.”
“Tadi, Alima yang ngasih tahu... dia nelpon dari jam tangannya.”
“Oh...” Alana mengangguk kecil, ada rasa malu sekaligus haru.
Adrian menarik napas panjang. “Tentang Ibuku... dia sudah keterlaluan. Aku nggak tahu dia bakal datang dan ngusir kamu, aku bakal beresin semuanya.”
Alana buru-buru menggeleng. “Jangan, Mas. Saya nggak mau Mas bertengkar dengan Ibu. Saya tahu diri... saya cuma orang luar di rumah ini.”
Tatapan Adrian menajam, tapi nadanya lembut. “Kamu salah, kamu adalah istriku.”
Kalimat itu sederhana, tapi mengguncang. Alana menunduk, bibirnya bergetar pelan. Tangan Adrian masih menggenggam tangannya, hangat dan tegas.
Adrian berdehem, mencoba mengalihkan suasana yang tiba-tiba terlalu sunyi. “Aku lapar, bisa masak sesuatu?”
Alana sempat terpaku, lalu cepat bangkit. “Tunggu sebentar, saya masak sekarang.”
Di luar, hujan turun makin deras.
Di dalam, dua hati yang sama-sama retak mulai berdetak dalam nada yang perlahan menyatu.
.
.
.
Pagi itu rumah keluarga Halim terasa dingin, bukan karena cuaca, melainkan karena udara tegang yang menggantung di setiap sudutnya. Langit di luar mendung, cahaya matahari hanya menembus tipis melalui jendela besar ruang tamu.
Adrian melangkah masuk dengan langkah pasti ke dalam rumah keluarganya. Jas kerjanya masih rapi, tapi wajahnya menunjukkan ketegangan yang tak bisa disembunyikan. Di dalam ibunya sedang duduk di kursi utama, ditemani oleh Karina yang tampak begitu betah seolah sudah menjadi bagian dari rumah itu.
Karina menatap Adrian dengan senyum dibuat-buat. “Mas Adrian, pagi. Aku hanya main sebentar, bantu Tante menemani sarapan.”
Adrian tidak menjawab, ia menatap ibunya. “Mah, kita perlu bicara.”
Ibu Adrian meletakkan cangkir tehnya perlahan. “Kalau ini tentang perempuan itu, aku tidak mau mendengarnya lagi.”
“Justru itu yang harus Mama dengar.” Adrian duduk di seberang, suaranya rendah tapi tegas. “Alana bukan orang luar, dia istriku.“
Karina mengangkat alis pura-pura terkejut. “Mas, kami cuma kasihan sama kakakku. Kak Aruna baru pergi, dan tiba-tiba kamu—”
“Diam, Karina!”
Nada suara Adrian memotong kata-katanya tajam seperti pisau. “Kamu tidak tahu apa-apa tentang kakakmu sendiri, jadi jangan bicara seolah kamu mengenalnya lebih dari saya.”
Karina menegang, ia memandang ibunya Adrian mencari dukungan. Namun sang ibu juga tampak terkejut dengan kemarahan putranya.
Adrian melanjutkan, menatap ibunya dalam-dalam. “Sebelum meninggal, Aruna memintaku untuk menikahi Alana. Dia tahu Alana perempuan yang tulus. Selama Aruna sakit, hanya Alana yang benar-benar ada untuknya. Dia yang menggantikan peranku saat aku terlalu sibuk berduka bahkan sebelum kematian datang.”
Ruangan menjadi sunyi.
Adrian menarik napas berat sebelum melanjutkan, “Aku menikahinya... karena aku menghormati wasiat Aruna. Dan seiring waktu, aku tahu Aruna tidak salah memilih.”
“Adrian,” suara ibunya bergetar, namun tetap dingin. “Kau yakin Aruna ingin kamu menikah dengan perempuan sekelas dia? Seorang pengasuh?”
Adrian menatap tajam. “Ya. Dan aku yakin Mama tahu betul Aruna tidak akan meminta hal seperti itu tanpa alasan. Alana bukan hanya pengasuh, dia punya hati yang bersih. Dia membuat cucumu selalu tertawa setelah kematian ibunya, itu sesuatu yang bahkan aku tidak bisa lakukan... karena aku egois hanya memikirkan kesedihanku sendiri.”
Karina menyela lagi, suaranya menekan. “Mas Adrian, semua orang tahu perempuan seperti dia cuma ingin kedudukan. Siapa yang nggak mau jadi istri pengusaha sepertimu?”
Adrian berdiri perlahan, menatap Karina dengan pandangan yang membuat udara seolah membeku. “Kau salah! Alana tidak pernah minta uang, bahkan tidak meminta status. Dia tetap ikhlas merawatku, meski aku selalu mendorongnya menjauh dan menolaknya karena masih berduka atas kehilangan Aruna.”
“Tapi sekarang, aku sudah menerimanya jadi istriku. Siapapun yang berani menghina atau menyentuhnya, sama saja dengan menantang amarahku!“
Karina menggigit bibir. “Mas, aku cuma—”
“Sudah cukup, Karina. Jangan datang lagi ke rumah ini untuk menjelek-jelekkan Alana. Sekali lagi kamu berani memfitnah istriku, aku akan membuatmu menyesal!“
Karina terdiam, air mukanya memucat.
Ibu Adrian bangkit dari kursinya, suaranya meninggi. “Adrian! Kau bicara di depan Mama seperti ini hanya karena perempuan itu?”
Adrian menghela napas panjang. “Aku bicara seperti ini karena Mama tidak mau bicara denganku dan mendengarkan alasanku. Mama malah percaya omongan orang lain. Aku menghormatimu sebagai ibuku, tapi tolong jangan lagi mencampuri urusan rumah tanggaku. Kalau Mama tidak bisa menerima Alana sekarang, aku berharap waktu yang akan membuat Mama melihat sendiri siapa dia sebenarnya.”
Keheningan panjang kembali mengisi ruangan.
Adrian lalu berbalik, melangkah pergi.
Sebelum keluar dari pintu, ia menoleh sebentar. “Dan satu lagi, Mah. Alana bukan pengganti Aruna, tidak ada yang bisa menggantikan posisi Aruna dalam hatiku. Tapi Alana membuatku bisa hidup lagi, setelah Aruna pergi. Untuk saat ini... itu sudah cukup bagiku untuk menghargainya.”
Langkahnya meninggalkan rumah terdengar mantap.
Karina menatap punggung pria itu yang menghilang di balik pintu, dan senyum liciknya benar-benar pudar.