Seraphina dan Selina adalah gadis kembar dengan penampilan fisik yang sangat berbeda. Selina sangat cantik sehingga siapapun yang melihatnya akan jatuh cinta dengan kecantikan gadis itu. Namun berbanding terbalik dengan Seraphina Callenora—putri bungsu keluarga Callenora yang disembunyikan dari dunia karena terlahir buruk rupa. Sejak kecil ia hidup di balik bayang-bayang saudari kembarnya, si cantik yang di gadang-gadang akan menjadi pewaris Callenora Group.
Keluarga Callenora dan Altair menjalin kerja sama besar, sebuah perjanjian yang mengharuskan Orion—putra tunggal keluarga Altair menikahi salah satu putri Callenora. Semua orang mengira Selina yang akan menjadi istri Orion. Tapi di hari pertunangan, Orion mengejutkan semua orang—ia memilih Seraphina.
Keputusan itu membuat seluruh elite bisnis gempar. Mereka menganggap Orion gila karena memilih wanita buruk rupa. Apa yang menjadi penyebab Orion memilih Seraphina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon secretwriter25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Dibuang
Fajar pertama melukis jendela kamar dengan warna abu-abu pucat yang muram. Seraphina mengerang pelan, suara serak yang menyayat tenggorokannya. Setiap otot di tubuhnya menjerit, paduan rasa sakit yang ditinggalkan oleh perlakuan brutal Selina kemarin.
“Mama…” panggilnya saat tak menemukan ibunya yang semalaman memeluknya erat.
Seraphina menghela napas berat. Sepertinya ibunya memang sudah pergi dan bersiap untuk melakukan pekerjaannya lagi.
Sera meringis saat merasakan punggungnya berdenyut nyeri, sementara tulang rusuknya terasa memar—setiap tarikan napas harus dilakukan hati-hati. Ia memaksa diri bangkit, sprei sutra bergesekan dengan kulitnya yang lebam, dan suara desisan tertahan lolos di antara giginya.
Ketukan lembut terdengar di pintu.
“Nona Sera? Kau sudah bangun?”
Alina, masuk perlahan. Wajahnya memancarkan kekhawatiran. Ia membawa nampan perak berisi secangkir teh panas dan sepiring kecil kue.
“Tuan Damian menunggu Anda di ruang makan. Beliau ingin sarapan berdua saja.”
Kening Seraphina berkerut, sedikit terkejut hingga rasa sakit di tubuhnya seakan terlupakan sesaat.
“Berdua? Papaku?” katanya tak percaya. Kata-kata itu terasa asing di lidahnya. Ayahnya, Damian, tidak pernah makan bersama dengannya. Masih terngiang di kepalanya ucapan kejam sang ayah yang sudah seperti kutukan. “Wajah menjijikkanmu membuat selera makanku hilang.”
“Benar, Nona. Beliau sudah menunggu,” jelas Alina. “Aku akan membantumu untuk segera bersiap-siap.”
Seraphina menelan ludah, perasaan was-was menyesakkan dadanya. Ini aneh. Terlalu aneh. Ia berpakaian perlahan, setiap gerakan terasa menyakitkan.
Di ruang makan, Damian duduk di ujung meja mahoni panjang. Satu tangan memegang cangkir kopi panas, tangan lain membuka koran.
“Duduklah, Seraphina,” katanya datar, suaranya memecah kesunyian. “Kita akan berburu hari ini.”
Seraphina berhenti di tengah langkah. “Berburu? Aku?” suaranya nyaris tak terdengar. Ia sudah bertahun-tahun tak berburu, sebab Damian hanya ingin bersama Selina saja.
“Ya,” jawab Damian tanpa menoleh. “Ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu. Tentang Orion.” Ia menyesap kopi perlahan, matanya tetap menatap putrinya. “Tentang hubungan kalian.”
Rasa takut dingin menjalari dada Seraphina. Apakah ayahnya akan memintanya meninggalkan Orion untuk Selina?
“Tapi… Papa, aku tidak—”
“Tidak ada tapi.” Damian menghentakkan korannya ke meja, suara kerasnya membuat Seraphina terlonjak. “Kita berangkat setelah sarapan.”
—
Setelah bersiap-siap, mereka berangkat menggunakan mobil hitam milik keluarga. Sepanjang perjalanan Damian banyak bicara, tapi Sera hanya menjawab seperlunya. Di matanya, ayahnya itu tampak tenang— erlalu tenang, sampai terasa janggal.
Mobil terus melaju melewati jalan berliku, melewati perbukitan dan pepohonan tinggi. Udara makin dingin, kabut mulai turun.
Sera menatap keluar jendela, pemandangan hutan lebat terlihat di kejauhan.
“Kita jauh sekali dari kota…” gumamnya.
“Ya,” jawab Damian singkat.
Seraphina menghela napas kasar. Sebenarnya ke mana ayahnya akan membawanya pergi? Jalannya tidak sama dengan jalan ke tempat berburu biasanya.
Hutan menelan mereka bulat-bulat. Pepohonan tua menjulang membentuk kanopi hijau lebat, sinar matahari menembus di antara dedaunan dan menari di tanah yang lembap. Seraphina menunggang seekor kuda betina jinak, tubuhnya masih terasa remuk, pikirannya dipenuhi kecemasan.
Damian menunggang di depan, siluetnya tegas di antara bayangan cahaya yang bergeser-geser. Mereka terus masuk lebih dalam, meninggalkan jalur yang biasa dilewati, menuju wilayah liar yang tak dikenal.
“Papa, ke mana kita pergi?” tanya Seraphina pelan, suaranya nyaris tertelan desau angin dan irama derap kaki kuda.
Damian menarik tali kekang kudanya, lalu menoleh perlahan. Sebuah senyum tipis terbentuk di wajahnya—senyum yang tidak membawa arti apa pun selain hawa dingin.
“Pulang, Seraphina.”
“Ini satu-satunya jalan agar Selina bahagia, Sera. Papa harap kamu mengerti dan mengalah untuk Selina,” ucapnya.
Tangannya bergerak cepat. Ia melepaskan tas pelana milik Seraphina, menarik keluar sebuah belati kecil berhias ukiran perak.
“Ini untukmu. Untuk melindungi diri,” katanya datar, melemparkan belati itu ke tanah. Benda itu jatuh dengan bunyi lembut di antara dedaunan.
Sebelum Seraphina sempat bereaksi, Damian sudah memacu kudanya, lenyap di balik rimbun pepohonan.
“Pa?” panggilnya. Damian tidak menatap balik. “Pa! Tunggu! PA!!” teriak Sera keras, berlari mengejar. Tapi kuda itu melaju kencang, meninggalkan debu dan angin dingin yang menampar wajahnya.
“Papa! Tunggu!” teriaknya panik, suaranya pecah.
Sera berhenti. Nafasnya tersengal. Tangannya gemetar. Namun hanya gema suaranya sendiri yang kembali. Panik menelannya hidup-hidup. Ia memandang sekeliling—pohon-pohon tinggi menjulang seperti dinding yang menutup jalan. Tak ada jalur, tak ada jejak tapal kuda, hanya hutan tanpa ujung. Tak ada ponsel, tak ada penanda arah, tak ada siapa-siapa.
“Papa…?” suaranya pecah. Ia berlari menyusuri jalan itu, tapi ayahnya sudah tak terlihat. Hanya hutan dan suara serangga yang menggema di sekelilingnya.
Tangisnya pecah seketika. Ia jatuh berlutut di tanah, memeluk dirinya sendiri.
“Kenapa, Pa… kenapa?” bisiknya lirih. “Apa aku seburuk itu sampai Papa rela membuangku?”
Kuda betinanya meringkik gelisah, seolah merasakan ketakutan tuannya. Seraphina turun, lututnya gemetar. Ia benar-benar sendirian. Udara terasa berat, setiap suara alam terdengar terlalu keras, gemerisik daun, patahnya ranting, desir angin. Semua berubah menjadi ancaman.
Langit mulai gelap. Angin semakin dingin. Ia berusaha mencari arah pulang, tapi jalannya terlalu jauh, dan kabut turun cepat.
Seraphina berjalan menyusuri tepian hutan, berharap menemukan rumah atau siapa pun. Namun langkahnya makin gontai, pakaiannya mulai kotor, dan lututnya tergores ranting.
Sampai akhirnya—gelap total.
Hanya suara serigala dan hembusan angin yang menemani. Sera memeluk tubuhnya erat, menatap langit yang hanya disinari cahaya bulan samar. Sebuah kesadaran perlahan menekan dadanya—ayahnya sengaja meninggalkannya di sini.
Ketika malam turun sepenuhnya, hutan berubah menjadi makhluk raksasa yang menyeramkan. Bayangan pepohonan memanjang dan berputar menjadi bentuk-bentuk ganjil. Suara jangkrik terdengar seperti ribuan bisikan, diselingi suara burung hantu yang melolong pilu—gema yang seirama dengan ketakutan di dadanya.
Seraphina meringkuk di bawah pohon ek tua yang bengkok, menggenggam belati kecil itu erat-erat. Ia takut jika ada hewan buas yang tiba-tiba muncul dan menerkamnya.
Setiap bunyi, setiap desir angin membuat tubuhnya menegang. Kegelapan menutup rapat dari segala arah, menyesakkan napas.
Ia tersesat. Ditinggalkan. Dan baru saat itu Seraphina benar-benar mengerti—betapa kejamnya cinta seorang ayah yang tak pernah ingin mengakui dirinya sebagai anak.
“Tuhan… kalau memang ini akhirku… aku nggak masalah,” gumamnya parau.
Air matanya jatuh lagi, membasahi pipinya yang dingin. Tubuhnya semakin menggigil. Entah sudah berapa lama dia terjebak di dalam hutan yang gelap dan dingin itu.
“Tuha… tolong bantu aku…” guman Sera. “Aku takut…” lanjutnya.
“Sepertinya Tuhan memang mengirimkan Orion untuk memberikanku kenangan indah sebelum mati,” Sera memejamkan matanya. “Terima kasih sudah hadir dalam hidupku, Rion…”
“Apa Orion akan menyelamatku? Orion bilang dia akan menemukanku di manapun aku berada.” Seraphina terisak.
“Orion…?” bisiknya lemah sebelum tubuhnya ambruk di tanah basah, kehilangan kesadaran.
🍁🍁🍁
Bersambung...