Indira pikir dia satu-satunya. Tapi ternyata, dia hanya salah satunya.
Bagi Indira, Rangga adalah segalanya. Sikap lembutnya, perhatiannya, dan pengertiannya, membuat Indira luluh hingga mau melakukan apa saja untuk Rangga.
Bahkan, Indira secara diam-diam membantu perusahaan Rangga yang hampir bangkrut kembali berjaya di udara.
Tapi sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Rangga diam-diam malah menikahi cinta pertamanya.
Indira sakit hati. Dia tidak menerima pengkhianatan ini. Indira akan membalasnya satu persatu. Akan dia buat Rangga menyesal. Karena Indira putri Zamora, bukan wanita biasa yang bisa dia permainkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jarak yang Tak Terjembatani
Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul delapan malam ketika Indira memutar kunci pintu depan. Suara pintu yang terbuka membuat Ayunda yang sedang berbaring di sofa sambil nonton drama Korea melirik sekilas, lalu kembali fokus pada layar televisi tanpa mengucapkan salam atau sapaan apapun.
Indira tidak peduli. Ia bahkan tidak melirik ke arah ruang keluarga. Ia langsung berjalan menuju tangga dengan tas kerja di bahu dan heels yang berbunyi tegas di lantai marmer.
Ia naik tangga dengan langkah mantap, berjalan menuju kamar tamu di ujung koridor. Kamarnya sekarang. Kamar yang lebih kecil, lebih sepi, tapi setidaknya tidak berbagi dengan orang yang mengkhianatinya.
Indira membuka pintu dan langkahnya terhenti.
Di tempat tidur, berbaring telentang dengan kemeja kerja yang sudah kusut dan celana bahan yang sedikit longgar, adalah Rangga. Matanya terpejam, napasnya teratur, tangan terlipat di atas dada. Tidur. Nyenyak. Seolah ini adalah kamarnya sendiri.
Indira menatap pemandangan itu dengan wajah datar. Tidak ada terkejut yang berlebihan. Hanya kelelahan yang semakin dalam karena harus menghadapi drama baru.
Ia menutup pintu dengan bunyi pelan, berjalan melewati Rangga yang tertidur tanpa sekalipun meliriknya. Ia meletakkan tas kerjanya di meja, melepas blazer, lalu berjalan ke lemari untuk mengambil piyama.
Suara gerakan membuat Rangga menggeliat. Ia membuka mata perlahan, pandangannya masih kabur. Lalu ia melihat Indira berdiri di depan lemari dengan piyama di tangan, membelakanginya.
"Dira..." suaranya serak, lelah.
Indira tidak menjawab. Ia hanya terus berjalan menuju kamar mandi, membawa piyamanya.
"Dira, tunggu..." Rangga duduk tegak, tapi Indira sudah masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya. Bunyi gembok yang dikunci terdengar jelas, pertanda Indira tidak ingin diganggu.
Rangga menghela napas panjang, mengusap wajahnya yang lelah. Ia sudah menduga Indira akan menolak kehadirannya. Tapi ia terlalu lelah, terlalu lelah untuk berbagi kamar dengan Ayunda yang hanya bisa mengeluh.
Suara air shower mengalir dari dalam kamar mandi. Rangga duduk di tepi tempat tidur, menatap pintu kamar mandi dengan campuran rasa bersalah dan kelelahan. Ia tahu ia salah. Ia tahu ia tidak berhak ada di sini. Tapi kemana lagi ia harus pergi?
Sepuluh menit berlalu. Pintu kamar mandi terbuka. Indira keluar dengan piyama satin berwarna abu-abu, rambut basah tergerai di pundaknya, wajah bersih tanpa makeup. Ia terlihat segar, berbeda sekali dengan Rangga yang terlihat seperti mayat hidup.
Rangga langsung berdiri, ingin mendekat. Tapi Indira melangkah mundur, gerakan refleks, gerakan penolakan yang jelas.
"Dira..."
"Kenapa Mas di sini?" potong Indira dengan suara datar, dingin. "Ini kamarku. Bukan kamarmu."
"Aku tahu, tapi..."
"Kalau kamu tahu, kenapa kamu masih di sini?" Indira menatapnya dengan tatapan yang tidak berkedip. "Kamar Mas di sebelah. Dengan Ayunda. Istrimu."
"Dira, kumohon," Rangga melangkah mendekat, hanya satu langkah, tidak lebih, takut Indira akan semakin menjauh. "Aku tidak bisa tidur di sana."
"Kenapa?" tanya Indira, meski ia sudah tahu jawabannya. "Ayunda tidak bisa memelukmu dengan nyaman? Atau tempat tidurnya tidak seasik yang kamu bayangkan?"
Rangga terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Karena memang itulah masalahnya, tidur dengan Ayunda tidak se-nyaman tidur dengan Indira. Ayunda tidur dengan berantakan, selimut ditarik semua, AC harus dingin banget, dan ia mengorok pelan, hal-hal kecil yang dulu Rangga tidak tahu karena mereka tidak pernah tidur semalam penuh bersama.
"Tolong," akhirnya Rangga memohon. "Biarkan aku tidur di sini. Hanya malam ini."
"Tidak," jawab Indira final sambil berjalan ke meja rias, mulai mengeringkan rambutnya dengan handuk. "Pergi. Kembali ke kamarmu. Ke istrimu."
"Ayunda tidak bisa apa-apa," Rangga tiba-tiba berkata, kata-kata yang keluar begitu saja, kata-kata keluhan yang sudah ia tahan seharian. "Dia tidak bisa masak. Dia tidak bisa beresin rumah. Dia hanya bisa berbaring dan main ponsel sepanjang hari."
Indira berhenti mengeringkan rambutnya. Ia menatap pantulan Rangga di cermin, wajah lelah, frustrasi, kecewa. Wajah pria yang baru menyadari ia membuat keputusan bodoh.
Tapi Indira tidak merasa simpati. Ia hanya merasa puas.
"Itu pilihan Mas," ucap Indira dengan nada yang sangat tenang sambil melanjutkan mengeringkan rambutnya. "Mas yang pilih dia. Mas yang menikahi dia. Dan Mas juga yang bawa dia tinggal di sini. Jadi sekarang, tanggung konsekuensinya."
"Tapi Dira..."
"Aku tidak mau dengar," potong Indira sambil meletakkan handuk, menatap Rangga melalui cermin. "Apapun yang terjadi antara Mas dan Ayunda, itu bukan urusanku. Mas mau dia jadi istri? Terima semua yang datang dengan paket itu. Termasuk ketidakmampuannya."
Rangga terdiam. Tidak ada bantahan yang bisa ia berikan. Karena Indira benar. Semua ini pilihannya sendiri.
Indira berdiri, berjalan melewati Rangga menuju pintu kamar.
"Dira, kumohon..."
Tapi Indira sudah keluar, menutup pintu di belakangnya. Meninggalkan Rangga berdiri sendirian di kamar tamu, kamar yang bahkan bukan miliknya lagi.
---
Dapur dalam keadaan rapi, berbeda dengan siang tadi ketika Rangga meninggalkannya. Sepertinya Rangga sudah sempat membereskan setelah membersihkan rumah. Indira membuka kulkas, mengambil bahan-bahan yang ia butuhkan.
Ia mulai memasak dengan gerakan yang terlatih, efisien. Ini adalah rutinitas yang ia rindukan, memasak untuk diri sendiri, tidak untuk menyenangkan orang lain. Hanya untuk dirinya.
Suara langkah kaki membuat Indira melirik ke pintu dapur. Rangga berdiri di sana, masih dengan kemeja kusut dan wajah lelah.
"Dira," panggilnya pelan. "Aku... belum makan malam."
Indira tidak menjawab. Ia hanya terus memotong ayam, menaruhnya ke wajan yang sudah panas dengan minyak.
"Aku lapar," lanjut Rangga, kali ini lebih memohon. "Aku tidak makan dari siang."
Indira diam sejenak, lalu dengan gerakan yang sangat tenang, ia mengambil lebih banyak ayam dari kulkas. Memotongnya. Memasukkannya ke wajan yang sama. Menambah porsi nasi yang sedang ia masak.
Tapi ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tidak ada "oh, kamu belum makan?" atau "kenapa tidak bilang dari tadi?" seperti yang biasa ia lakukan dulu. Hanya keheningan yang dingin dan gerakan mekanis.
Rangga duduk di kursi makan, menatap punggung istrinya yang sedang memasak. Dulu pemandangan ini adalah yang paling ia rindukan ketika pulang kerja, Indira di dapur, aroma masakan yang harum, kehangatan rumah tangga.
Sekarang pemandangan yang sama terasa asing. Dingin. Seperti menonton orang asing memasak di rumahnya sendiri.
Lima belas menit kemudian, Indira selesai. Ia mematikan kompor, mengambil dua piring dari rak. Tapi alih-alih menghidangkan makanan di piring dan membawanya ke meja seperti biasa, ia hanya meletakkan piring kosong di meja. Lalu ia mengambil satu piring, menyendok nasi untuk dirinya sendiri, mengambil ayam, sayuran, dan duduk di ujung meja.
Rangga menatap piring kosong di hadapannya. Lalu menatap Indira yang sudah mulai makan dengan tenang.
Pesannya jelas: kamu mau makan? Ambil sendiri.
Dengan perasaan aneh Rangga berdiri, berjalan ke kompor, menyendok nasi sendiri, mengambil ayam dan sayuran sendiri. Seperti di kantin. Seperti orang asing.
Ia kembali ke meja, duduk di seberang Indira. Mereka makan dalam keheningan yang mencekik. Tidak ada obrolan tentang hari masing-masing. Tidak ada tanya "gimana kerjanya?" atau "ada masalah apa?" seperti dulu. Hanya bunyi sendok dan garpu yang bersentuhan dengan piring.
Rangga sesekali melirik Indira yang dulu selalu cerewet, selalu bertanya ini-itu, selalu peduli. Sekarang wanita itu duduk di seberang dengan wajah datar, mata yang tidak menatapnya, seolah ia tidak ada.