 
                            Leonardo, seorang pria berusia 30 tahun pengusaha kaya raya dengan aura gelap. Dari luar kehidupan nya tampak sempurna.
Namun siapa yang tahu kalau pernikahannya penuh kehampaan, bahkan Aurelia. Sang istri menyuruhnya untuk menikah lagi, karna Aurelia tidak akan pernah bisa memberi apa yang Leo inginkan dan dia tidak akan pernah bisa membahagiakan suaminya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nura_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penerbangan ke Singapura
Di ruang kerja yang luas, dindingnya dipenuhi rak buku dan sertifikat penghargaan perusahaan, Leonardo duduk di kursi kulit hitamnya, jas rapi menempel di bahunya. Di depan layar besar, tampak beberapa jendela CCTV menampilkan sudut-sudut rumah, termasuk kamar Arinda.
Matanya berhenti pada satu layar—Arinda sedang duduk di kursi makan, tersenyum sambil menyuap makanan yang dibawakan Sofia. Tubuh mungilnya tampak polos dan lugu, wajahnya berseri-seri menikmati hidangan. Tanpa sadar, sudut bibir Leonardo terangkat sedikit, senyum tipis yang jarang sekali terlihat oleh orang lain. Aura dinginnya tetap ada, tapi ada kilatan hangat yang muncul karena melihat istrinya begitu polos dan bahagia.
Setelah beberapa saat, ia mengalihkan pandangannya ke meja kerja. Dokumen dan laporan menumpuk, mengharuskan perhatian penuh. Tangannya mulai menandatangani beberapa kontrak penting, membaca laporan keuangan, dan memeriksa strategi bisnis terbaru. Aura karismatik dan tegasnya kembali mendominasi, tatapan intens dan dinginnya membuat siapa pun yang bekerja di bawahnya merasa terkontrol.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Leonardo mengambilnya dengan cekatan. “Ya?” suaranya tegas dan datar.
Adrian terdengar di ujung telepon, nada santai khasnya. “Tuan, ada apa lagi? Jangan bilang ada masalah di kantor?”
Leo menghela napas ringan, nada suaranya tetap dingin. “Besok, siapkan penerbangan ke Singapura. Kita harus bertemu beberapa kolega bisnis di sana. Siapkan semuanya dari hotel hingga transportasi. Pastikan semua rapi.”
Adrian terdengar terkejut namun cepat menyesuaikan diri. “Berapa hari kita di sana, tuan?”
“Seminggu,” jawab Leo singkat, lalu menutup percakapan tanpa basa-basi. Ia kembali menatap layar CCTV, memastikan Arinda tetap nyaman sambil menikmati makanannya.
Sementara itu, di lantai 3 kamar Arinda, rasa penasarannya muncul kembali. Ia menatap Sofia dengan mata besar dan polos. “Mbak… aku boleh tanya sesuatu?”
Sofia, yang sedang membereskan meja makan di kamar Arinda, tersenyum lembut. “Tentu, nona kecil. Apa yang ingin kamu tanyakan?”
Arinda menunduk sebentar, ragu, lalu berkata pelan, “Mbak… pernikahan Ny… nyonya Aurelia dengan mas Leo… gimana ceritanya? Kenapa nyonya Aurelia menyuruh Mas Leo menikah lagi?”
Sofia tersenyum tipis, matanya menyiratkan pengertian tapi juga kewaspadaan. “Ah, nona kecil… itu urusan masa mereka. Sudahlah, jangan pikirkan itu terlalu banyak. Kalau tuan Leo tahu kamu kepo, nanti tuan marah, lho.”
Arinda menatap Sofia, matanya sedikit berkaca-kaca, tapi kepolosannya membuatnya menuruti kata-kata pembantu setia itu. Ia mengangguk pelan. “Iya… Mbak. Arinda janji… nggak akan tanya-tanya lagi…”
Sofia mengelus lembut tangan Arinda, senyumnya hangat. “Bagus, nona kecil. Sekarang selesaikan makan nona dulu.”
Arinda tersenyum kecil, hati polosnya masih bertanya-tanya tapi memilih menuruti. Ia kembali fokus pada makanannya, sementara di layar CCTV, Leonardo menatapnya dengan tatapan tajam namun hangat dari kejauhan. Aura dingin tetap melekat, tapi hatinya sedikit tergerak melihat istrinya yang polos dan lugu menikmati momen sederhana di rumah megah itu.
Setelah beberapa saat, Leonardo menutup salah satu layar CCTV dan menghela napas. Ia kembali menundukkan kepala pada dokumen, namun senyum tipis itu masih tersisa, menunjukkan bahwa meski keras dan dingin, hatinya sudah mulai menyimpan perhatian khusus pada Arinda—istri kedua yang polos dan lugu, yang entah bagaimana membuat aura dingin dan gelapnya sedikit mencair.
Pukul tujuh pagi, suasana rumah besar itu sudah mulai berdenyut dengan aktivitas. Di ruang makan, meja panjang yang dihiasi taplak putih bersih sudah tertata rapi. Beberapa pelayan berdiri di sudut ruangan, menunggu perintah. Dari arah lift, pintu terbuka dengan suara ting lembut.
Leo keluar dengan tampilan yang rapi: kemeja putih pas badan, jas abu muda yang membuat tubuhnya semakin tegap, serta sepatu hitam mengilap. Aroma parfum maskulin menguar samar saat ia melangkah anggun menuju meja makan. Satu tangannya sibuk mengecek arloji, sementara yang lain merapikan lengan jasnya.
Di belakangnya, Adrian mengikuti sambil membawa satu koper besar. Pria itu terlihat sigap, seakan terbiasa mengikuti langkah majikannya yang selalu penuh ketegasan.
“Semua sudah siap?” tanya Leo datar tanpa menoleh.
“Sudah, Tuan. Mobil juga menunggu di depan,” jawab Adrian sopan.
Leo mengangguk kecil. Ia kemudian menoleh ke arah salah satu pelayan.
“Apakah Nona Arinda sudah sarapan?”
Pelayan itu saling pandang sejenak sebelum salah satunya memberanikan diri menjawab dengan nada pelan, “Belum, Tuan. Sepertinya Nona Arinda masih di kamar.”
Seketika tatapan mata Leo sedikit melembut. Ada secuil rasa khawatir yang jelas tergambar di wajah dinginnya.
“Bawakan sarapan ke kamarnya,” perintah Leo tegas namun lembut. “Kakinya mungkin masih sakit. Jangan biarkan dia turun dulu.”
Para pelayan langsung menunduk memberi hormat.
“Baik, Tuan.”
Tanpa berkata lagi, Leo mulai menyantap sarapannya dengan tenang. Gerakannya rapi, nyaris tanpa suara. Sesekali ia melirik jam tangan, menghitung waktu keberangkatan. Tak sampai lima belas menit, ia sudah selesai, meneguk kopi terakhir lalu bangkit berdiri.
“Arinda jangan dibiarkan kelaparan,” ucapnya lagi sebelum melangkah keluar. Adrian segera mengikutinya, membawa koper, lalu bersama-sama mereka menuju bandara.
Di sisi lain, di kamar Arinda.
Gadis itu duduk bersila di depan meja rias. Rambut hitamnya terurai panjang, wajah polosnya tanpa polesan apapun. Di sampingnya berdiri Sofia, tangan cekatan membimbing dengan sabar.
“Nona, setelah cuci muka pakai sabun ini, lalu oleskan toner. Setelah itu serum, baru pelembab.”
Sofia mencontohkan satu per satu, gerakannya terampil.
Arinda hanya manggut-manggut dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Baginya, dunia skincare ini seperti ilmu baru yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Sejak kecil, ia terbiasa hidup sederhana. Sabun mandi pun kadang dipakai untuk wajah. Kini, di hadapan Sofia, ia merasa seperti anak sekolah yang baru belajar membaca.
“Lalu ini…?” Arinda menunjuk botol kecil bening.
“Itu serum, Nona. Dipakai sedikit saja, jangan banyak-banyak.”
Dengan wajah serius, Arinda menuang cairan itu di telapak tangan. Namun karena terlalu semangat, ia justru menuangkan banyak hingga hampir tumpah.
“Eh—ehh! Kepenuhan, Mbak!” seru Arinda panik.
Sofia terkekeh pelan. “Pelan-pelan, Nona. Tidak perlu banyak, cukup beberapa tetes saja.”
Arinda menunduk malu, pipinya merona. Ia menepuk-nepuk wajahnya dengan kikuk, bahkan beberapa kali matanya perih karena cairan itu mengenai dekat kelopak. Sofia cepat-cepat mengambil kapas dan mengelapnya.
“Begini caranya, Nona. Lembut, jangan digosok keras-keras.”
Arinda mengangguk polos. “Arinda kira harus ditekan biar meresap, Mbak…”
Sofia hanya tersenyum. Begitu polosnya gadis ini, batinnya. Ada rasa kasihan sekaligus hangat melihat keluguan Arinda yang nyata.
Tak lama, pintu kamar diketuk pelan. Arsena, kepala pelayan, masuk dengan membawa nampan berisi sarapan lengkap: bubur hangat, segelas susu, serta buah potong.
“Selamat pagi, Nona. Tuan memerintahkan agar Anda sarapan di kamar saja.”
Arinda menoleh cepat. “Eh? Kenapa di sini? Arinda bisa kok turun ke bawah, Mbak…”
Sofia melirik Arsena sekilas, lalu menaruh peralatan skincare ke samping. Arsena hanya menggeleng dengan hormat.
“Itu sudah perintah Tuan. Beliau khawatir karena kaki Anda masih sakit.”
Arinda terdiam sejenak. Hatinya tiba-tiba hangat, tapi wajahnya menunduk cepat menutupi rona merah yang muncul. Dengan suara lirih ia berucap, “O-oh… begitu ya.”
Tangannya yang mungil meraih sendok perlahan, matanya menatap bubur itu dengan polos. Ia sebenarnya ingin bertanya lebih jauh: Kenapa harus perhatian begitu? Benarkah Leo peduli padanya? Atau hanya sekadar kasihan? Namun bibirnya kelu, pertanyaan itu hanya berputar di kepalanya.
Sofia menatap ekspresi Arinda sambil tersenyum samar. Ia tahu betul ada banyak hal yang ingin gadis itu tanyakan, terutama soal Aurelia. Namun, Sofia memilih diam. Sebab ia tahu, jawabannya bisa membuat keadaan semakin rumit.
“Nona, ayo dimakan. Jangan sampai dingin,” ucap Sofia lembut.
Arinda menunduk dan mulai menyuap bubur itu. Gerakannya sopan, lambat, seolah ia sedang menikmati sesuatu yang baru. Sesekali ia mendengus kecil karena buburnya panas, lalu meniup dengan pipi mengembung.
Sofia tersenyum makin lebar. Sungguh, tingkah polos itu membuat suasana kamar terasa hidup. Bahkan Arsena yang biasanya dingin pun hampir menahan tawa melihat wajah Arinda yang begitu lugu.
 
                    