Kontrak kerja Tya di pabrik garmen akan segera berakhir. Di tengah kalut karna pemasukan tak boleh surut, ia mendapat penawaran jalur pintas dari temannya sesama pegawai. Di hari yang sama pula, Tya bertemu seorang wanita paruh baya yang tampak depresi, seperti akan bunuh diri. Ia lakukan pendekatan hingga berhasil diajak bicara dan saling berkenalan. Siapa sangka itu menjadi awal pilihan perubahan nasib. Di hari yang sama mendapat dua tawaran di luar kewarasan yang menguji iman.
"Tya, maukah kau jadi mantu Ibu?" tanya Ibu Suri membuyarkan lamunan Tya.
"HAH?!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 Tanda tangan!
"Kamu yang namanya Cantya Lova?" suara manajer Primatex memutus kontak mata Tya yang sedang membalas Diaz dengan senyum dan anggukan.
"Iya betul, Pak." Tya mengangguk sopan. Ia kenal wajah sang manajer karena sering turun ke lapangan berkeliling di jam kerja. Hampir semua karyawan membicarakan positif bahwa Pak Surya orangnya ramah dan perhatian. Setiap melihat ada karyawan yang bekerja dalam kondisi sakit, saat itu juga disuruh pulang untuk istirahat di rumah.
"Silakan duduk, Cantya."
Tya menuju sofa sesuai arah tangan Surya yang keluar dari kursi kebesarannya. Meninggalkan Diaz seorang diri masih dengan posisi duduk santai sambil bersilang kaki. Fokus Tya sekarang pada manajer yang duduk di seberang meja.
"Maaf ya, saya tidak bisa menghapal seluruh wajah seluruh karyawan di pabrik. Ratusan soalnya. Sekarang saya jadi kenal orang QC bernama Cantya Lova karna Mas Diaz ngasih intruksi khusus. Kamu dimajukan selesai kontrak atas permintaan beliau. Saya sengaja memanggil kamu untuk dengar langsung apakah keberatan atau tidak tugasmu berakhir hari ini. Biar yang ngasih intruksi bisa dengar jawaban kamu." Surya melirik sekilas ke arah Diaz dengan sedikit seringai di wajah.
"Tidak keberatan kok, Pak. Memang saya mendadak ada urusan keluarga yang bisa mengganggu jadwal kerja. Jadi nggak bisa nunggu sampai akhir bulan. Alhamdulillah Mas Diaz bisa bantu saya mengurusnya."
Eh, bener nggak sih aku ngasih alasannya.
Tya memang tidak menyangka akan berhadapan dengan manajer dan diwawancarai seperti ini. Biasanya juga aspek kepegawaian cukup ditangani personalia.
"Tentu saja bisa. Kita kan bakal sibuk persiapan pernikahan. Calon istriku udah nggak perlu kerja lagi di sini. Next...kau akan dampingi aku sidak ke pabrik ini."
Bukan hanya Tya yang melongo mendengar Diaz yang nimbrung dalam obrolan, Surya pun melebarkan mata sampai membenarkan letak kacamata minusnya yang mendadak melorot ke pangkal hidung dengan keterkejutan versi berbeda.
"Hei, bos! Serius kah ini?"
Diaz tak menanggapi pertanyaan Surya yang masih terkaget-kaget. Malah melangkah maju menuju Tya. "Ayo kita pulang. Ibu nunggu kita di cafe."
Tya seperti halnya Surya yang butuh konfirmasi tapi beda versi. Ia terkejut mendengar Diaz dipanggil 'Bos'. Apakah itu artinya...
"Ayang, ayo!"
Tya terbatuk padahal tidak sedang makan atau minum. Hanya mendadak tenggorokannya gatal begitu mendengar kalimat pendek Diaz yang terdengar lembut dan mesra. Ia segera berdiri tanpa kata saat melihat Dias melirik arloji di pergelangan tangan kiri.
"Mas Diaz, beneran nggak niat mau klarifikasi?"
"Tunggu aja undangan dari kami. Tanggal 24 save the date!" Setelah itu Diaz permisi sambil menarik tangan Tya yang berdiri seperti patung.
"Mas Diaz, bentar. Kita mau ke mana?" Tya menghentikan langkah sebelum menuruni tangga. Mumpung suasana sepi tak ada orang yang berjalan di koridor. Diaz hanya menggenggam tangannya sampai pintu.
"Tadi di dalam udah kubilang kan. Ibu nunggu kita di di cafe, di Geranium."
"Tasku masih di ruangan. Aku juga belum pamitan sama Bu Dini, pengawas QC. Aku minta izin sebentar mau ambil tas dan pamitan."
"Oke. Aku tunggu di mobil. Mobilku ada di parkiran manajemen."
Tya mengangguk. Berpisah arah dengan Diaz begitu menginjak lobi kantor PT. Primatex. Setengah berlari memasuki bangunan pabrik yang terdiri dari beberapa ruangan.
"Bu Dini, maaf saya harus pulang sekarang. Ini hari terakhir saya kerja." Tya menyampaikan kata dengan ekspresi tidak enak hati. Kebetulan sekali bertemu dengan pengawas yang ada di depan pintu ruang QC.
"Iya. Saya baru saja dapat telepon dari Pak Anton. Tya, makasih sudah bekerja dengan baik. Maaf ya jika selama ini ada ucapan saya yang nggak enak didengar."
"Tidak ada, Bu Dini. Ibu sudah mengajarkan kami untuk disiplin. Terima kasih untuk kesempatan 2 tahun bergabung dengan tim QC yang menurutku menegangkan sekaligus menyenangkan." Tya mengulurkan tangan. Ia tidak bisa berbincang panjang. Tak enak jika Diaz harus menunggu lama.
Sang pengawas terkekeh. "Jujur sekali kamu, Tya. Memangnya mau ke mana sampai buru-buru pengen pergi dari pabrik ini. Ada pekerjaan yang lebih menjanjikan ya?"
Hm...berarti Bu Dini tidak tahu. Cuma Pak Surya aja yang baru tahu.
***
Dengan wajah bercucuran keringat, Tya masuk ke dalam mobil yang sudah menyala mesinnya. Setelah menjawab pertanyaan Dini dengan alasan yang sama seperti disampaikan pada manajer, Tya masuk ke ruang QC untuk mengambil tas. Panggilan Yuni ia abaikan dulu, hanya direspon dengan lambaian tangan. Nanti saja dijelaskan setelah di rumah. Waktunya buru-buru.
"Mas Diaz, apa kita langsung ke cafe?" tanya Tya sambil mencabut dua lembar tisu dari dalam tasnya untuk menyeka wajahnya yang basah oleh tetesan keringat.
"Iya."
"Nggak apa-apa aku masih pakai seragam pabrik gini?" Tya menatap wajah Diaz yang sedang fokus memperhatikan sekuriti yang membukakan pintu gerbang.
"Nggak apa-apa. Aku menjemput karna disuruh Ibu tanpa minta kau ganti baju dulu."
"Termasuk pamer hubungan kita ke Pak Surya sampai kau bilang 'Ayang, ayo', itu juga disuruh Ibu Suri?"
Diaz tak langsung menjawab. Fokus mengikuti arahan sekuriti yang mengatur lalu lintas agar bisa menyeberang jalan. Begitu mobil sudah menyeberang barulah bersuara. "Iya."
"Jadi Mas Diaz bos pabrik ini ya?" Tya merasa ada kesempatan untuk menuntaskan tanda tanya dan rasa heran terhadap calon suaminya itu.
"Pabrik ini dan pabrik kedua di Sukabumi adalah salah satu aset Ayah yang bakal diwariskan padaku. Jangan dulu bertanya lebih jauh, semuanya akan dijelaskan setelah kita nikah."
"Oke siap, bos. Satu pertanyaan lagi boleh nggak?"
"Apa?"
"Biar nggak salah bersikap. Kasih clue atau kode dong kapan waktunya kita akting dan non akting. Biar kedepannya interaksi kita tetap terlihat natural."
"Gini aja. Jika ada orang lain di sekitar kita selain Ibu, otomatis kita akting jadi pasangan bucin. Kalau lagi berdua gini, bebas keluarkan karakter diri masing-masing."
"Baiklah. Aturannya udah aku save di otak minimalis aku."
Tak ada lagi percakapan. Tya memilih menunduk membuka ponselnya karena Diaz pun tak lagi membuka suara. Hingga mobil tiba di parkiran cafe, Diaz sama sekali tidak menegur tindakannya yang bermain ponsel.
Kali ini tempat pertemuan berada di lantai tiga. Ruang tertutup ber AC yang mirip ruang tamu karena tidak ada meja kerja di dalamnya.
"Tya, karna tanggal nikah udah jelas, sekarang kita tandatangani dulu surat perjanjiannya biar kau dan Diaz terikat tanggung jawab dan kewajiban sesuai aturan dalam berkas ini. Ada satu poin yang Ibu tambahkan, bahwa pihak kesatu dan pihak kedua tidak boleh memiliki pacar selama kontrak berlangsung. Tya, kau belum punya pacar, kan?" Suri menatap Tya dengan wajah serius. Segala sesuatunya harus jelas dulu sebelum berkas ditanda tangani.
"Kalau pacar belum punya tapi ada seseorang yang memintaku menunggunya. Dia akan pulang satu tahun lagi. Jadi aman ya, Bu. Aku ketemu dianya setelah jadi janda." Tya tersenyum meringis.
Suri tersenyum simpul tanpa ada kalimat tanggapan. Berbeda dengan Diaz yang berekspresi mencibir cenderung meremehkan.
"Oke, Tya, Diaz. Kalian tanda tangani berkas ini. Anggap aja Ibu dalang dan kalian wayang yang akan Ibu mainkan. Menurutlah! Karna kalian berdua tak akan ada yang dirugikan jika nurut sama skenario yang Ibu buat."
tidur bareng itu maunya ibu suri kaaan.... sabar ya ibu. 🤭