NovelToon NovelToon
TRANSMIGRASI KE ERA KOLONIAL

TRANSMIGRASI KE ERA KOLONIAL

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Dokter Genius / Romansa / Fantasi Wanita / Transmigrasi / Era Kolonial
Popularitas:6.2k
Nilai: 5
Nama Author: Archiemorarty

Aruna Prameswari tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dalam sekejap. Seorang dokter muda abad ke-21 yang penuh idealisme, ia mendadak terhempas ke abad ke-19, masa kelam kolonial Belanda di tanah Jawa. Saat rakyat tercekik oleh sistem tanam paksa, kelaparan, dan penyakit menular, kehadiran Aruna dengan pengetahuan medis modern membuatnya dipandang sebagai penyelamat sekaligus ancaman.

Di mata rakyat kecil, ia adalah cahaya harapan; seorang penyembuh ajaib yang mampu melawan derita. Namun bagi pihak kolonial, Aruna hanyalah alat berharga yang harus dikendalikan.

Pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Van der Capellen membuka lembaran baru dalam hidupnya. Sosok pria itu bukan hanya sekedar penguasa, tetapi juga lawan, sekutu, sekaligus seseorang yang perlahan menguji hati Aruna. Dalam dunia asing yang menyesakkan, Aruna harus mencari arti keberadaannya: apakah ia hanya tamu yang tersesat di masa lalu, atau justru takdir membawanya ke sini untuk mengubah sejarah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 15. BATAVIA TAHUN 1819

Setelah napas Hilfe kembali stabil, suasana rombongan berubah drastis. Tak ada lagi tatapan sinis pada Aruna. Justru banyak mata yang memandangnya dengan campuran hormat dan terpesona. Bahkan prajurit yang tadi paling keras menentang kini menunduk malu, seolah merasa bersalah karena sempat menodongkan senjata pada perempuan yang baru saja menyelamatkan sahabat mereka dari kematian.

Beberapa tentara berbisik dalam bahasa Belanda, namun kali ini tanpa nada meremehkan.

"Een wonder ... zij is een wonder dokter." (Sebuah keajaiban ... dia dokter ajaib.)

Jendral Willem tetap menjaga wibawanya, tapi sulit menyembunyikan rasa hormat yang kini muncul dalam tatapannya. Ia mendekati Aruna, lalu dengan suara dalam berkata,

"Kau telah menyelamatkan seorang prajuritku. Itu tidak akan kulupakan. Namun ingat, kau tetap tahananku. Jangan mencoba melarikan diri."

Aruna hanya mengangguk, tubuhnya lelah, namun hatinya lega. Ia tidak peduli disebut apa, tabib, tahanan, penyelamat, yang terpenting adalah satu nyawa berhasil ia selamatkan dan juga nyawanya.

Setelah semua siap kembali, rombongan melanjutkan perjalanan. Matahari mulai condong ke barat, dan udara semakin lembap. Jalanan berubah dari tanah desa yang lengang menjadi lebih ramai dengan pedati, gerobak barang, dan orang-orang yang menuju Batavia.

Aruna memerhatikan dengan cermat. Pepohonan besar berganti dengan rumah-rumah lebih rapat. Ada rumah kayu beratap rumbia milik pribumi, ada pula rumah batu bercat putih milik orang Eropa atau Tionghoa. Anak-anak kecil berlarian tanpa alas kaki, sementara para pedagang menjajakan buah, ikan, atau kue-kue sederhana di pinggir jalan.

Semakin dekat ke Batavia, suara kehidupan semakin riuh. Aruna mendengar teriakan kuli yang memanggul barang, suara cambuk kusir yang menyuruh kuda berlari lebih cepat, serta bunyi bel kecil dari para penjual yang berkeliling. Bau campuran, ikan asin, keringat, rempah, dan kotoran hewan, menguar di udara, menusuk hidung, namun sekaligus menandai bahwa mereka sudah mendekati jantung peradaban Hindia Belanda.

Menjelang sore, akhirnya Aruna melihat dari kejauhan bayangan kota yang selama ini hanya ia baca di buku-buku sejarah. Di hadapannya terbentang Batavia tahun 1819, sebuah kota yang pada masanya disebut 'Ratu dari Timur', meski di balik julukan itu menyimpan paradoks antara keanggunan dan penderitaan.

Dari kejauhan, ia melihat kanal-kanal besar yang berkilauan memantulkan cahaya senja. Kanal itu dibangun menyerupai gaya Amsterdam, dengan jembatan-jembatan kayu melintang di atasnya. Namun aroma anyir yang menyengat segera menusuk hidungnya, air kanal tidak jernih, melainkan kehijauan, penuh sampah dan kotoran. Nyamuk berterbangan di atas permukaannya.

Di tepi kanal, berjajar rumah-rumah batu bercat putih dengan jendela besar dan atap genteng merah, milik para pejabat Belanda. Aruna bisa melihat taman-taman kecil dengan bunga tropis yang ditata rapi, pagar besi yang dicat hitam mengilap, serta bendera Belanda yang berkibar angkuh di beberapa sudut.

Namun tak jauh dari sana, berdiri deretan gubuk bambu milik pribumi, berdempetan tanpa ruang. Anak-anak kurus berlari di jalan becek, tubuh mereka hanya dibalut kain tipis. Para perempuan membawa kendi di atas kepala, wajah mereka letih, sedangkan para lelaki kurus menjadi kuli angkut, memikul karung-karung berat untuk para pedagang kaya.

Kontras itu menusuk hati Aruna. Ia melihat dengan jelas: di satu sisi, kemegahan Eropa yang dipaksakan di tanah tropis ini; di sisi lain, penderitaan rakyat yang menjadi pondasi diam-diam dari segala kemewahan itu.

Rombongan mereka masuk melalui jalan utama. Derap kuda berpadu dengan suara roda pedati. Pasar-pasar terbuka dipenuhi orang: pedagang Arab menjual kain, pedagang Tionghoa menawarkan porselen dan teh, pedagang India dengan rempah-rempah harum, serta pribumi yang menjajakan buah tropis. Bahasa bercampur di udara, Melayu pasar, Belanda, Portugis, Hokkien, Arab.

Aruna terpesona sekaligus ngeri. Baginya, ini bukan sekadar kota. Ini adalah persimpangan dunia, tempat segala bangsa bertemu, namun juga tempat segala ketidakadilan dipertontonkan tanpa malu.

Ia melihat benteng besar menjulang di kejauhan, Stadhuis Batavia, gedung pusat administrasi Belanda, dengan dinding putih kokoh, jendela tinggi, dan halaman luas. Di depannya terdapat lapangan tempat eksekusi pernah dilakukan. Aruna merinding membayangkan sejarah berdarah yang pernah tercatat di sana.

Tak jauh dari benteng, terlihat menara gereja tua bergaya Eropa, sementara suara adzan dari surau kecil pribumi menggema bersahut-sahutan. Dua dunia berdiri berdampingan, tapi tidak pernah benar-benar bersatu.

Saat kereta dan kuda mereka bergerak memasuki jantung kota, Aruna merasakan dadanya bergemuruh. Inilah Batavia, kota yang suatu saat akan berubah menjadi Jakarta, ibukota negeri yang merdeka. Namun kini, di hadapannya, Batavia adalah lambang kekuasaan asing yang menindas bangsanya.

Ia menatap lurus, matanya menyimpan api. "Aku dibawa ke sini sebagai tahanan. Tapi suatu hari nanti, kota ini akan menyaksikan kebangkitan anak-anak tanah ini. Bukan untuk tunduk, melainkan untuk berdiri."

Di sampingnya, Jendral Willem melirik sekilas, seolah bisa membaca api itu di mata Aruna. Namun ia tidak berkata apa-apa.

Rombongan terus bergerak menuju gedung besar pusat administrasi. Di sanalah nasib Aruna akan dipertaruhkan.

Langkah-langkah kuda berderap berat di atas jalan berlapis batu bata merah yang mulai tergerus dimakan waktu. Matahari sore menggantung condong di barat, menebarkan cahaya keemasan yang mengilau di permukaan kanal-kanal yang memanjang lurus, membelah kota Batavia bagaikan urat nadi yang berdenyut pelan. Dari atas kereta kuda yang dijaga ketat oleh prajurit kompeni, Aruna menatap ke luar dengan rasa antara kagum, tertegun, sekaligus diliputi ketidakpercayaan.

Batavia, 1819. Nama itu hanya ia kenal dari halaman-halaman buku sejarah, dari catatan-catatan tua yang dulu pernah ia baca di dunia asalnya. Namun kini, nyata di hadapannya: kota yang masih berbau kolonial kental, dengan bangunan-bangunan bergaya Eropa yang berdiri kokoh di sisi kanal, jendela-jendela kayu berdaun lebar, atap genteng yang menurun curam, dan pintu-pintu tinggi berwarna hijau lumut. Di antara arsitektur megah itu, tampak rumah-rumah bambu sederhana milik orang pribumi yang berdiri berkelompok di pinggiran kota. Kontrasnya mencolok, dua dunia berbeda dalam satu ruang.

Udara lembap membawa aroma asin dari laut yang tak jauh, bercampur bau kayu basah, anyir kanal, dan harum rempah yang menguar dari pasar. Suara pedagang pribumi terdengar bersahut-sahutan menawarkan hasil bumi.

"Ikan segar! Ikan segar!" seru seorang lelaki dengan keranjang rotan besar di pundaknya.

Sementara dari sisi lain, seorang perempuan berkerudung tipis menjajakan kue serabi dan nasi uduk dengan suara lirih.

Di sisi jalan, terlihat kerumunan budak pribumi berkulit legam yang sedang mengangkut karung-karung besar berisi pala, cengkeh, dan kopi ke gudang-gudang milik VOC. Mereka berjalan tanpa alas kaki, punggung mereka dibasahi peluh, sementara para mandor Belanda mengawasi dengan cambuk di tangan.

Aruna menelan ludah. Hatinya bergolak. Semua yang ada di sekitarnya terasa asing namun sekaligus akrab. Ia tahu, catatan sejarah pernah menyebut Batavia sebagai 'Mutiara dari Timur' sekaligus 'kuburan orang Eropa' karena malaria dan penyakit tropis merajalela. Namun menyaksikannya langsung, betapa nyata dan hidupnya kota ini, membuatnya gemetar.

"Daar is het stadshuis. (Itulah balai kota).” Suara berat Jendral Willem terdengar dari dalam kereta, telunjuknya menunjuk lurus ke depan.

Aruna mengikuti arah tunjukannya. Di ujung jalan, di sebuah lapangan luas yang kini ramai dengan lalu lintas pedati, kereta, dan pejalan kaki, berdiri sebuah bangunan megah berwarna putih gading dengan atap segitiga besar dan menara jam di tengahnya. Bangunan itu berdiri angkuh, mencerminkan kekuasaan mutlak pemerintah kolonial. Jendela-jendela kayu besar berjajar rapi, sementara pintu utamanya menjulang, dijaga oleh dua meriam tua peninggalan VOC.

Stadhuis Batavia. Yang di masa depan akan dikenal sebagai Museum Fatahillah di Kota Tua Jakarta.

Balai kota. Tempat gubernur jenderal Belanda berkantor, sekaligus pusat administrasi dan kekuasaan Hindia Belanda.

Aruna terdiam. Napasnya tercekat. "Aku benar-benar berada di sini," gumamnya tak percaya.

Kereta berhenti di depan halaman luas yang berlapis batu, dikenal dengan nama Stadhuisplein. Suasana hiruk-pikuk: ada serdadu Belanda yang berbaris rapih, pejabat berjas rapi keluar masuk gedung dengan wajah angkuh, budak pribumi berjongkok di bawah terik sambil menunggu perintah, dan para pedagang kecil yang mencoba mengais rezeki di sela-sela kesibukan.

Bendera Belanda berkibar gagah di atas menara, kain merah-putih-biru melambai angkuh melawan langit sore Batavia.

"Uitstappen! (Turun!)” seru salah satu prajurit sambil mengetukkan popor senapannya ke tanah.

Aruna digiring turun dari kereta. Kakinya menyentuh batu dingin halaman, dan seketika ia merasa bagai seekor burung kecil yang dipaksa masuk ke sarang macan. Ia tahu, di dalam gedung itu menanti seorang pria yang memegang kendali penuh atas hidup dan matinya: Gubernur Jenderal Van der Capellen.

Namun sebelum ia sempat melangkah, pandangannya menangkap sesuatu. Tepat di sisi halaman, ada sekelompok anak pribumi yang sedang berjongkok sambil mengintip rombongan tentara. Mata-mata mereka lebar, penuh rasa ingin tahu, sebagian ketakutan. Aruna melihat bayangan dirinya di wajah anak-anak itu, rasa asing, rasa kecil, dan rasa tidak berdaya di hadapan kuasa yang lebih besar.

Hatinya mencelos. Ia mengembuskan napas pelan, mencoba menenangkan gejolak yang berputar di dalam dada.

Sementara itu, Willem berjalan di depan, langkahnya tegap, sepatu botnya menghentak keras di atas batu.

"Breng hem naar binnen. (Bawa dia masuk.)," perintah Willem kepada anak buah.

Prajurit-prajurit mengapit Aruna dari kanan dan kiri, menodongkan bayonet terhunus ke arahnya. Aruna hanya bisa berjalan, membiarkan dirinya digiring mendekati pintu besar Stadhuis yang menjulang.

Udara di sekitar semakin terasa berat. Detik-detik yang akan mengubah segalanya, kini semakin dekat. Entah apa yang akan terjadi pada Aruna setelah ini.

1
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
cie cie yang mau MP jadi senyum" sendiri 🤣🤭😄
Archiemorarty: Hahahaha.... astaga /Facepalm/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
menjadi melow deh dan jadi baper sama perkataan nya Van Der 😍😭❤❤
Archiemorarty: waktunya romance dulu kita...abis itu panik...abis itu melow...abis itu...ehh..apa lagi ya /Slight/
total 1 replies
Jelita S
gantung z si Concon itu
Archiemorarty: Astaga 🤣
total 1 replies
Jelita S
adakah ramuan pencabut nyawa yg Aruna buat biar tak kasihkan sama si Concon gila itu😂
Archiemorarty: Tinggal cekokin gerusan aer gerusan biji apel aja, sianida alami itu /Slight/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
Van Der lucu banget
Archiemorarty: Hahaha /Facepalm/
total 3 replies
gaby
Tukang Fitnah niat mempermalukan tabib, harus di hukum yg mempermalukan jg. Dalam perang sekalipun, Dokter atau tenaga medis tdk boleh di serang.
Archiemorarty: Benar itu, aturan dari zaman dulu banget itu kalau tenaga medis nggak boleh diserang. emang dasar si buntelan itu aja yang dengki /Smug/
total 1 replies
Wulan Sari
semoga membela si Neng yah 🙂
Archiemorarty: Pastinya /Proud/
total 1 replies
gaby
Jeng jeng jeng, Kang Van der siap melawan badai demi membela Neng Aruna/Kiss//Kiss/
Archiemorarty: Sudah siap sedia /Chuckle/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
Akhirnya sang pujaan hati datang plisss selamat Aruna 😭😭😭😭
gaby
Aduuh Kang Van der kmanain?? Neng geulisnya di fitnah abis2an ko diem aja, kalo di tinggal kabur Aruna tau rasa kamu jomblo lg. Maria & suaminya mana neh, mreka kan berhutang nyawa sm Aruna, mana gratis lg alias ga dipungut bayaran. Sbg org belanda yg berpendidikan harus tau bakas budi. Jadilah saksi hidup kebaikan Aruna. Kalo ga ada Aruna km dah jadi Duda & kamu Maria pasti skrg dah jadi kunti kolonial/Grin//Grin/
Archiemorarty: Hahaha...sabar sabar /Facepalm/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
plisss up yang banyak
Archiemorarty: Hahaha...jari othor keriting nanti /Facepalm/
total 1 replies
Jelita S
dasar si bandot tua,,,tak kempesin perutnya baru tau rasa kamu kompeni Belanda
Archiemorarty: Hahaha...kempesin aja, rusuh dia soalnya /Facepalm/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
aduh bagaimana Aruna menangani fitnah tersebut
Archiemorarty: Hihihi...ditunggu besok ya /Chuckle/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
seru bangettt, ternyata Van deer romantis juga yaa kan jadi baperrr 😍😍😭😭😭
Archiemorarty: Bapak Gubernur kita diem diem bucin atuh /Chuckle/
total 1 replies
gaby
" Jangan panggil aq lagi dgn sebutan Tuan, tp panggilah dgn sebutan Akang". Asseeek/Facepalm//Facepalm/
Archiemorarty: Asyekkk
total 1 replies
gaby
Akhirnya rasà penasaranku terbayarkan. Smoga Maria & suaminya menyebarluaskan kehebatan & kebaikan Aruna, agar Aruna makin di hormati. Kalo Aruna dah pny alat medis, dia bisa jd dokter terkaya di Batavia, ga ada saingannya kalo urusan bedah. Kalo dah kaya Aruna bisa membeli para budak utk dia latih atau pekerjakan dgn upah layak. Ga sia2 Van der membujang sampe puluhan tahun, ternyata nunggu jodohnya lahir/Grin//Grin/
Archiemorarty: Hahaha...membujang demi doi dateng ya/Proud/
total 1 replies
gaby
Babnya lompat atau gmn thor?? Kayanya kmrn babnya tentang Aruna yg menolong wanita belanda yg namanya Maria, apa kabarnya Maria?? Bagaimana reaksi publik ketika melihat Aruna menyelamatkan pasien sesak napas di tengah2 keramaian pasar. Dan bagaimana respon warga kolonial ketika mendengar kesaksian dr suami Maria yg jd saksi kehebatan Aruna. Ko seolah2 bab kmrn terpotong
Archiemorarty: owalah iya, salah update aku...astaga. maapkan othor... update lagi ngantuk ini. ku ubah ya
total 1 replies
gaby
Keren Van der, bisa ga nafsu berada di dekat Aruna yg cantik bening. Jd curiga jgn2 Van der biksu/Grin//Grin/
Archiemorarty: Astaga biksu gx tuh 🤣
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
aduh deg degan banget baca nya
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
Akhirnya Aruna sembuh juga 😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!