NovelToon NovelToon
INGRID: Crisantemo Blu

INGRID: Crisantemo Blu

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:730
Nilai: 5
Nama Author: I. D. R. Wardan

INGRID: Crisantemo Blu💙

Di balik nama Constanzo, Ingrid menyimpan luka dan rahasia yang bahkan dirinya tak sepenuhnya pahami. Dikhianati, dibenci, dan hampir dilenyapkan, ia datang ke jantung kegelapan-bukan untuk bertahan, tapi untuk menghancurkan. Namun, di dunia yang penuh bayangan, siapa yang benar-benar kawan, dan siapa yang hanya menunggu saat yang tepat untuk menusuk dari bayang-bayang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I. D. R. Wardan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15 Accordo

"La Cosa tidak bisa dihancurkan hanya dengan amarah dan ambisi, Ingrid. Kau butuh strategi, koneksi, dan aku." Frenzzio mengisi kembali gelasnya yang telah bersih. "Jadi bagaimana?" Frenzzio mengangkat tangannya untuk berjabat tangan dengan gadis di depannya ini.

"Kenapa aku? Aku tak akan berguna untukmu. Dan aku adalah putri orang yang menghancurkan keluargamu. Kau hanya Ingin memanfaatku saja, bukan? Setelah itu kau akan membakarku bersamanya setelah tujuanmu tercapai."

"Jika kau terbakar, aku akan terbakar bersamamu."

"Tak akan kubiarkan diriku terbakar."

Ingrid menyambut jabatan tangan Frenzzio dengan kesungguhan.

Kesepakatan telah dibuat.

"Sepakat. Tapi, aku masih belum bisa sepenuhnya mempercayaimu."

"Aku tidak membutuhkan kepercayaanmu, aku hanya ingin kau membutuhkanku."

Kedua pasang netra biru mereka saling mengunci, seolah ada perang tak kasat mata di antara mereka. Sesuatu dalam tatapan Frenzzio membuat Ingrid merinding, membuatnya ingin lari, tetapi juga membuatnya terpaku.

"Kau sangat berbahaya, aku akan mempertimbangkan tawaranmu lagi." suara Ingrid terdengar lirih, hampir seperti bisikan.

"Menurutmu begitu?" Frenzzio menyeringai tipis, penuh ancaman namun menggoda. "Apa aku menakutimu, Blu?" tawanya rendah dan seram, memantul di ruang sunyi itu.

Pintu ruangan terbuka. Seorang pria paruh baya masuk dengan langkah berat, sorot matanya menyelidik dan tajam, berhenti tepat pada Ingrid.

"Siapa dia?"

"Dia putri Giorgio, paman," jawab Frenzzio santai sambil memutar gelas di tangannya.

"Apa?! Bagaimana bisa kau membawa musuh masuk kemari, Frenzzio? Kau sudah gila!"

"Dia memang gila," celetuk Ingrid.

"Paman Lanzo, tenanglah. Dia bukan musuh kita, dia adalah rekan kita."

"Gadis ini? Kau sudah kehilangan akal sehatmu?" Lanzo mendengus tajam. "Aku sangat ingin melubangi kepalanya sekarang juga."

Sorot mata Frenzzio berubah dingin. "Jangan coba-coba memikirkan hal itu, Paman. Dia milikku."

Ingrid mendengus tak percaya, mencoba menyembunyikan kekacauan emosinya di balik tatapan dingin. Namun, debar jantungnya sulit diabaikan. Ia tidak tahu seberapa jauh Frenzzio mengendalikan situasi atau seberapa dalam terobsesinya lelaki itu terhadapnya.

"Kita pergi."

Ingrid mengangguk, matanya tak lepas dari Lanzo yang juga masih menatapnya dengan kebencian yang kentara.

...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...

Setelah kembali ke rumah, langkah mereka terhenti ketika Vesa berdiri di lorong, memandang mereka dengan tatapan tajam.

"Dari mana kalian?"

"Pesta sekolah, ibu," jawab Frenzzio polos, senyumannya manis namun menipu. Ingrid hampir tidak mengenalinya-bagaimana seseorang bisa berubah wajah secepat itu?

"Seharusnya kau istirahat, Ingrid, agar kakimu lekas sembuh, bukannya keluar untuk hal tidak berguna," cibir Vesa.

"Tidak berguna bagimu, tapi tidak untukku, Nyonya Vesa. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku." Ingrid tak kalah palsu dari Frenzzio.

"Kau persis seperti ibumu."

"Itu bukan pujian bagiku." Senyum mereka sama-sama dingin.

Vesa melirik Frenzzio sekilas. "Istirahatlah."

"Ya, Bu." Frenzzio membalas dengan sopan, membuat Ingrid merasa mual.

Nyonya Vesa melangkah melewati keduanya tanpa banyak bicara, hanya melirik sekilas sebelum berlalu pergi, meninggalkan Ingrid dan Frenzzio berdiri di lorong yang terasa semakin sunyi.

Mereka kembali melangkah. "Kau sangat tidak sesuai bersikap manis dan polos," sindirnya.

Frenzzio mengangkat bahu dengan santai, seolah komentar itu tidak berpengaruh padanya. "Itu salah satu bentuk melindungi diri."

Ingrid mendengus. "Itu membuatku mual."

Frenzzio terkekeh kecil, melangkah lebih dekat. "Kau harus terbiasa."

"Tidak ada alasan bagiku untuk terbiasa dengan itu," Ingrid membalas tajam, suaranya penuh ketidaksabaran.

Frenzzio menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak, lalu berkata dengan nada santai, "Tadi itu perlawanan yang bagus."

"Heh," Ingrid mendengus sinis, menatapnya dengan tatapan penuh perhitungan. "Aku tidak akan berada di sini dalam waktu yang lama."

Frenzzio mencondongkan tubuhnya sedikit ke arahnya, suaranya merendah. "Memang itu yang akan terjadi."

Ingrid merasakan sesuatu merayap di bawah kulitnya, bukan ketakutan, tapi ketegangan yang aneh. Ia mengeraskan ekspresinya, menolak menunjukkan kelemahan di hadapan pria ini. "Aku akan gila jika berada di sini lebih lama," desisnya. "Aku ingin menyelesaikan semua ini dengan cepat, dan mengucapkan selamat tinggal padamu."

Frenzzio menatapnya sejenak, lalu tersenyum miring. "Tidak semudah itu, Amore."

Nada lembut di suaranya membuat Ingrid ingin merespons dengan sarkasme, tetapi sebelum ia sempat mengatakan apa pun, Frenzzio mengangkat tangannya dan dengan gerakan santai, menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinganya.

Sebuah sentuhan kecil, tapi dampaknya tidak sekecil itu.

Ia tidak bisa mengabaikan kedekatan mereka, betapa mudahnya pria itu menyentuhnya, seolah-olah ada sesuatu di antara mereka yang lebih dari sekadar tarik ulur penuh ketegangan.

"Aku tidak ingat ada kesepakatan di mana kau dapat seenaknya menyentuhku." Ingrid memperingatkan dengan nada tajam.

Frenzzio tersenyum kecil, sama sekali tidak terpengaruh oleh ancamannya. "Aku hanya memastikan rambutmu tidak menutupi wajah cantikmu."

"Aku tidak peduli," balas Ingrid, melangkah mundur.

"Tapi aku peduli."

Kalimat itu menghantam Ingrid lebih keras dari yang ia duga. Ia menatapnya dengan tatapan penuh keraguan, mencoba mencari kebohongan di matanya, tetapi seperti biasa, Frenzzio tetap misterius.

"Selamat malam, Ingrid," ucapnya akhirnya, sebelum berbalik dan melangkah pergi dengan langkah tenang, meninggalkannya dalam kebingungan yang enggan ia akui.

Ingrid tetap berdiri di tempatnya untuk beberapa saat, napasnya terasa sedikit lebih berat dari sebelumnya. Ia merasakan tekanan di dadanya, bukan karena takut, tetapi karena kenyataan bahwa Frenzzio tahu cara membuatnya kehilangan keseimbangan.

Baru beberapa hari saja di rumah ini sudah cukup membuatnya merasa tertekan.

Bagaimana jika lebih lama?

Bagaimana jika ia tidak hanya harus bertahan, tetapi juga harus menghadapi tarikan aneh yang mulai mengikatnya dengan pria itu?

Pikiran itu membuatnya menggertakkan giginya.

Tidak.

Ia ada di sini bukan untuk permainan seperti ini.

Ia harus tetap fokus.

...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...

Ingrid tersentak kaget ketika bahunya di tepuk dari belakang. Ketika ia menoleh, pelakunya adalah Marcello.

"Apa?" tanya gadis itu dengan ketus.

"Kita harus bicara."

Ingrid mendengus. "Katakan."

"Tidak di sini. Di kamarmu saja."

Dengan enggan Ingrid berjalan masuk menuju kamarnya bersama saudaranya itu.

Setelah sampai di kamar, Marcello bergegas mengunci pintu. Dengan raut serius ia berkata, "Kau akan pergi dari sini."

"Apa? Tidak!"

"Apa maksudmu, tidak? Kau tidak ingin berada di sini, bukan? Kenapa kau berubah pikiran?"

"Karena aku nyaman tinggal di sini."

Marcello mengusap wajahnya kasar. "Apapun itu, kau harus pergi dari sini, dari semua ini, sejauh mungkin."

"Berikan aku alasan yang kuat kenapa aku harus pergi dari rumahku sendiri?" Ingrid mendudukkan dirinya di tepi tempat tidur dengan santai.

"Kau tidak akan aman berada di sini. Dan salah satunya karena ayah kandung kita, Giorgio," Marcello menghembuskan nafas panjang, "kau harus tahu, keluarga kita bukan keluarga biasa, keluarga kita adalah pemilik organisasi mafia."

Ingrid tidak menunjukkan reaksi terkejut atau apapun yang membuat Marcello heran.

"Kau sudah tahu tentang ini?"

Dengan enggan Ingrid berkata, "ya."

"Apa Frenzzio ...."

"Cukup, tidak perlu menginterogasiku."

"Ada satu peraturan di keluarga ini, di mana anggota wanita keluarga Constanzo akan menjadi barang pembayaran atau pertukaran."

Nafas Ingrid tersendat. Ia tidak tahu tentang hal itu. Frenzzio tidak mengatakan tentang ini padanya.

Apa Marcello mencoba menipunya?

"Kau sudah cukup dewasa untuk tahu apa yang dimaksud dengan barang pembayaran. Hidupmu akan hancur. Aku tidak bisa menyaksikan hal itu. Itu sebabnya ku mohon, kau harus pergi dari sini, sejauh mungkin. Aku sudah menyiapkan segalanya."

"Bagaimana aku bisa yakin bahwa kau tidak berusaha menipuku?"

"Ibu ... Dia mengalaminya, dan aku tidak bisa melakukan apapun."

Dunia Ingrid seolah runtuh dalam sekejap. Nafasnya tersengal, dadanya terasa sesak. "Barang pembayaran ..." katanya pelan, hampir seperti bisikan. Suaranya bergetar, bukan karena ketakutan, tapi karena kemarahan yang mulai menjalar. "Kalian memperlakukan perempuan di keluarga ini seperti barang?" Matanya membara, tangannya mengepal hingga kuku-kukunya menekan telapak tangannya.

Marcello menunduk malu sejenak.

"Alasan ayah membawamu ke mari adalah ini. Dia tidak peduli pada apapun selain pada keuntungannya. Kumohon ikutlah denganku."

Hati dan pikiran Ingrid berkecamuk hebat. Ia sangat bingung, apakah ia harus pergi menyelamatkan dirinya dan melupakan balas dendamnya, atau tetap di sini menghancurkan dirinya sendiri dan membalaskan dendamnya.

Apa yang harus aku lakukan?

Marcello mengulurkan tangannya. "Waktumu hanya malam ini untuk pergi dari sini. Setelah ini aku tidak tahu apa bisa membawamu keluar atau tidak."

Ingrid menatap tangan dan mata Marcello bergantian. Ia begitu bimbang. Ingrid mengangkat tangannya berniat menyambut ukuran tangan Marcello. Tapi, ketika bayangan ayahnya yang tergeletak bersimbah noda merah dan dingin tak bernyawa membuatnya menarik tangannya kembali.

Ingrid menatap mata Marcello dengan mantap. "Aku akan tetap di sini."

Tampak keterkejutan, kemarahan, dan kecewa terpancar dari netra biru Marcello. Marcello sudah bisa membayangkan bagaimana kehidupan adiknya ini kelak.

Mengerikan.

"Tidak. Maaf, tapi aku tidak bisa membiarkan kau menghancurkan hidupmu sendiri," desis Marcello seraya menggenggam tangan Ingrid erat.

Tatapannya penuh determinasi, seolah ingin meyakinkan bahwa hanya dia satu-satunya yang bisa menyelamatkannya. "Aku tidak akan membiarkan Ayah mengikatmu dalam rantai yang sama seperti yang mereka gunakan untuk perempuan lain di keluarga ini."

Marcello mengambil sapu tangan yang sudah ia siapakan sebelumnya. Ia membekap Ingrid yang memberontak hingga tak sadarkan diri.

Marcello berdiri di ambang pintu kamar Ingrid, napasnya memburu. Ia tahu ini adalah satu-satunya kesempatan sebelum semuanya terlambat. Saat mata Ingrid memudar di bawah pengaruh sapu tangan yang menutupi wajahnya, Marcello menahan perasaan bersalah yang menikam dadanya.

"Maaf," bisiknya lirih.

Ia mengangkat tubuh Ingrid yang terkulai lemah dengan hati-hati. Pintu kamar terbuka pelan, dan ia memeriksa lorong dengan saksama. Jam dinding berdentang lembut, memecah keheningan yang mencekam.

Marcello menuruni tangga dengan hati-hati, membawa Ingrid yang tak sadarkan diri dalam gendongannya. Napasnya berat, pikirannya penuh dengan segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi.

Marcello bergerak cepat, langkahnya senyap namun tergesa. Kamera pengawas yang sudah ia nonaktifkan sejak dua jam lalu memberinya waktu, tapi tidak banyak. Jika Frenzzio menyadari Ingrid hilang, segalanya bisa berakhir dengan kekacauan berdarah.

Di persimpangan koridor, suara langkah sepatu membuat Marcello berhenti mendadak. Tubuhnya menegang. Napasnya tertahan. Ia menoleh, sekilas melihat bayangan seseorang yang mendekat.

Sial!

Dengan cepat, Marcello membuka salah satu pintu ruangan kosong dan menyelinap masuk. Ia merapatkan tubuhnya ke dinding, jantungnya berpacu seakan hendak meledak.

Dari celah pintu, Marcello melihat seorang pengawal tengah memeriksa keadaan rumah seperti biasa, matanya tajam seperti elang, memindai sekitar seolah mencurigai sesuatu. Marcello menahan napas, bahkan nyaris lupa berkedip.

Pria itu berhenti. Tatapannya tertuju pada kamar Ingrid yang pintunya sedikit terbuka. Jari-jarinya melonggarkan kancing jasnya, seakan siap menarik pistol kapan saja.

'Cepatlah pergi...' gumam Marcello dalam hati.

Seolah mendengar doa tersembunyi itu, pria tersebut akhirnya melanjutkan langkahnya menuju ke area lain. Marcello menunggu beberapa detik sebelum bergegas keluar, menuju pintu belakang rumah.

Kamera pengawas yang seharusnya sudah ia matikan dengan hati-hati, ternyata masih ada satu yang menyala, sesuatu yang tak ia sadari hingga detik ini.

Di luar, udara malam menyambut dengan dingin yang menusuk tulang. Cahaya bulan setengah tersembunyi di balik awan, menciptakan bayangan gelap di sekitar taman belakang. Sebuah mobil hitam dengan kaca gelap sudah menunggu di ujung jalan kecil, mesin menyala perlahan.

Marcello mendekat dengan cepat. Pintu belakang mobil terbuka, seseorang berjas hitam dengan senjata tersembunyi di pinggang berdiri di sana, Lorenzo. Wajahnya tegang.

"Apa semuanya lancar?" desisnya.

"Lumayan. Ada sedikit masalah kecil, tapi bisa diatasi," jawab Marcello cepat. "Ayo pergi sekarang!"

Lorenzo itu membantu memindahkan Ingrid ke dalam mobil, membaringkannya dengan hati-hati di kursi belakang. Marcello segera menyusul masuk, menutup pintu dengan bunyi klik yang samar.

Mobil melaju, menyusuri jalanan sepi yang diterangi lampu jalanan kuning redup. Di belakang, bayangan kediaman Constanzo semakin jauh, tenggelam dalam pepohonan dan gelap malam.

Namun, perasaan lega itu tidak bertahan lama ketika Marcello merogoh saku jaketnya, mengeluarkan ponsel dan memeriksa pesan terakhir. Sebuah pesan singkat muncul di layar.

"Kembali atau kau akan terkena masalah."

-Frenzzio

Darahnya membeku. Marcello menoleh ke arah Lorenzo, laki-laki itu tetap pada jalan. Adrenalinnya kembali melonjak. Frenzzio sudah mengetahui rencananya.

Dari kejauhan, lampu kendaraan mendekat dengan kecepatan yang tidak wajar. Marcello menoleh ke belakang, melihat lima mobil hitam tanpa plat nomor.

"Percepat! Kita dikejar!" serunya.

Mobil yang mereka tumpangi langsung melaju lebih kencang, menambah ketegangan yang sudah menggantung. Suara deru mesin mobil-mobil pengejar terdengar semakin jelas, semakin mendekat.

Lorenzo membelokkan mobil ke gang kecil dengan kecepatan tinggi, hampir menabrak pagar besi yang sudah berkarat. Namun, salah satu mobil pengejar berhasil menyusul, menutup jalan di depan.

"Ingin kau bawa ke mana dia?" Frenzzio berkata dengan santai, suaranya menggema dalam kegelapan.

Marcello menggeram, menatap Ingrid yang masih tak sadarkan diri. Ia tidak bisa membiarkan semuanya sia-sia. Dengan cepat, ia meraih pistol di balik jasnya.

"Pegang Ingrid! Lindungi dia!" Marcello memberi perintah cepat pada Lorenzo di kursi depan.

Tanpa ragu, ia membuka pintu mobil dan menembak ke arah Frenzzio dan pria-pria yang mendekat. Tembakan balasan datang, memecahkan kaca mobil dan menancap di badan kendaraan. Suara peluru memekakkan telinga, memecah keheningan malam.

Marcello tahu mereka kalah jumlah, tapi ini bukan lagi soal menang atau kalah, ini soal saudarinya.

"Pergi sekarang!" teriaknya.

Mobil melaju kencang, meninggalkan Marcello yang masih menembak untuk mengalihkan perhatian. Begitu mobil itu menghilang di tikungan. Satu tembakan dari Frenzzio melesat ke arah Marcello. Marcello mengelak, peluru menggores lengannya. Sehingga pistol yang berada di tangannya terlepas. Frenzzio mengambil kesempatan dengan langsung menodong kepala Marcello dengan pistol yang dipegangnya, diikuti para pengawal yang bersamanya.

"Cukup," Frenzzio melirik ke arah beberapa orang yang baru tiba, "tahan dia, aku akan mengejar mobil itu."

...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...

1
minato
Terhibur banget!
I. D. R. Wardan: makasih udah mampir, semoga gak bosan ya🥹💙
total 1 replies
Yuno
Keren banget thor, aku jadi ngerasa jadi bagian dari ceritanya.
I. D. R. Wardan: Makasih ya🥹
total 1 replies
Yoh Asakura
Menggugah perasaan
I. D. R. Wardan: Makasih ya🥹 author jadi makin semangat nulisnya 💙
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!