Hannah, seorang perempuan yang tuli, bisu dan lumpuh. Ketika melihat perut Hannah terus membesar, Baharudin—ayahnya—ketakutan putrinya mengidap penyakit kanker. Ketika dibawa ke dokter, baru diketahui kalau dia sedang hamil.
Bagaimana bisa Hannah hamil? Karena dia belum menikah dan setiap hari tinggal di rumah.
Siapakah yang sudah menghamili Hannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Hannah menatap wanita di hadapannya dengan sorot mata yang ragu. Penampilan wanita itu sangat mencolok—dengan gaun pas badannya yang tinggi langsing, heels mengkilap, dan rambut disanggul rapi layaknya sosialita yang baru turun dari mobil mewah. Dalam hati kecilnya, Hannah mengira wanita itu adalah kekasih Arka. Tapi tatapan tajam Arka, juga raut wajah tegang yang ia tunjukkan, justru menyiratkan ketidaknyamanan yang tidak bisa disembunyikan. Sesuatu sedang terjadi di antara mereka.
"Siapa mereka itu tidak ada hubungannya dengan kamu," kata Arka tegas, nadanya ketus seperti mengusir.
Yasmin yang masih menggenggam erat tangan Arka menoleh ke wanita itu dengan polos. Rasa ingin tahunya mengalahkan ketegangan di antara para dewasa.
"Tante siapa?" tanya gadis kecil itu dengan wajah polos tanpa dosa.
"A–" Inggrid membuka mulut, hendak memperkenalkan diri, tapi suara Arka memotong cepat dan tajam.
"Dia bukan siapa-siapa. Sebaiknya kita lanjutkan lagi perjalanan kita," ucap Arka tanpa memberi ruang penjelasan. "Yasmin, tadi ingin makan gula-gula, kan? Kita cari ke sana."
Senyum mengembang di wajah Yasmin, dan dia mengangguk semangat. Arka membalas senyum itu, menunduk sedikit untuk menyamai tinggi tubuh gadis kecil itu. Keduanya terlihat seperti ayah dan anak kandung yang memiliki kedekatan alami.
Inggrid menatap kedekatan mereka dengan sorot mata penuh tanda tanya. Ketika Arka menggandeng Yasmin hendak pergi, dia langsung melangkah ke depan dan menghalangi jalan mereka.
"Tunggu!" seru Ingrid, suaranya gemetar, antara emosi dan bingung.
"Ada apa? Kamu jangan ganggu kami," balas Arka dengan sorot mata tajam yang menusuk. Wajahnya mengeras.
"A ... pa dia a-nak ka-mu?" tanya Inggrid ragu, menunjuk Yasmin.
Pertanyaan itu membuat waktu seperti berhenti sejenak. Arka menatap Yasmin—sosok mungil yang menggenggam tangannya penuh percaya. Hatinya tertusuk. Ia tahu betul gadis kecil ini tumbuh tanpa figur seorang ayah. Dalam sepersekian detik, keputusan muncul dari lubuk hatinya.
"Iya. Dia anakku," jawab Arka lantang, penuh ketegasan. "Jadi, kamu jangan ganggu kebahagiaan kami."
Seolah ada bom meledak dalam keheningan itu. Yasmin terkejut dan menatap Arka dengan mata melebar. Inggrid bahkan menutup mulutnya dengan tangan, tidak percaya dengan jawaban yang baru didengarnya. Hannah dan Pak Baharuddin menegang. Jantung mereka seolah meloncat dari tempatnya. Mereka tidak pernah menyangka Arka akan mengatakan hal itu.
"Kamu ... nggak bohong, kan?" tanya Inggrid, suaranya lebih lirih. Matanya mulai memerah.
"Tentu saja tidak," jawab Arka sambil sedikit menunduk, menatap Yasmin dengan tatapan lembut. "Apa kamu tidak lihat? Warna matanya sama seperti aku—cokelat muda."
Inggrid seolah terhempas oleh angin dingin. Ia datang dengan niat memperbaiki hubungan yang telah lama retak. Namun, ternyata kenyataan telah jauh meninggalkannya.
"Anakmu itu seusia anak TK. Apa kamu langsung menikah begitu putus dengan aku?" tanyanya, nada suaranya menggigil. Mungkin karena marah. Mungkin juga karena kecewa.
Hannah menunduk. Pak Baharuddin pun diam seribu bahasa. Mereka tidak ingin menambah panas situasi. Tidak tahu sepenuhnya masa lalu mereka, dan tidak mau membuatnya semakin berantakan.
"Sudah kubilang, jangan ganggu kami!" ucap Arka lagi. Kali ini suaranya meninggi, seperti menegaskan bahwa batas kesabarannya telah habis.
Yasmin menoleh ke Inggrid. Wajah kecilnya ikut memerah karena suasana makin tak nyaman. "Tante, tolong jangan buat Papa marah!" ucap Yasmin lantang, polos tapi menohok.
Ucapan itu membuat Arka terdiam. Papa, kata itu mengisi ruang hatinya dengan kehangatan tak terduga. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, seseorang memanggilnya dengan sebutan itu—dan dia menyukainya.
Sebaliknya, Hannah yang mendengar panggilan itu, merasa dada kirinya seperti ditusuk jarum. Tangan kirinya mencengkeram gagang kruk lebih erat, mencoba meredam getaran tak jelas dalam dadanya. Tatapannya bergeser ke arah Yasmin yang berdiri tanpa rasa bersalah.
"Apa yang kamu katakan, Yasmin!" gerak bibir Hannah dengan isyarat tangan cepat, menunjukkan rasa tak setuju. Namun, Pak Baharuddin dengan tenang meredam kegusaran putrinya.
Tentu saja Yasmin yang berdiri di depan, tidak melihat peringatan dari ibunya. Jadi, cuek saja.
"Ayo, Pah, kita pergi!" Yasmin menarik tangan Arka seperti sudah sangat dekat dan akrab.
Arka menurut. Dia membiarkan tangan kecil itu memimpin langkahnya, meninggalkan masa lalu yang kini hanya tinggal debu.
Hannah dan Pak Baharuddin menyusul di belakang, perlahan-lahan, membawa luka yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang menyaksikan dari dekat.
Sementara itu, Inggrid masih berdiri di tempat yang sama. Tubuhnya kaku, pandangannya kosong. Bibirnya gemetar, seolah ingin bicara tapi tak tahu harus mulai dari mana. Tatapannya mengikuti kepergian mereka, dan air matanya jatuh, bukan hanya karena kehilangan pria yang dulu ia abaikan, tapi juga karena menyadari bahwa ia telah tertinggal dari kebahagiaan yang kini bukan lagi untuknya.
Seharian itu mereka berempat menghabiskan waktu dengan penuh tawa dan kehangatan di tengah keramaian pameran UMKM. Yasmin begitu antusias, berlari dari satu stan ke stan lain, tertarik pada warna-warni mainan, aroma makanan, dan keramaian yang menyenangkan. Pak Baharuddin sesekali tertawa, Hannah tersenyum senyap, dan Arka terus mengawasi, seperti pelindung diam yang menjaga dari kejauhan.
Demi kenyamanan Hannah, mereka sering beristirahat di tempat-tempat yang lebih teduh dan sepi. Arka selalu menjadi yang pertama menawari bangku, mengatur tempat duduk, dan memastikan Hannah tak perlu terlalu banyak berdiri. Hatinya mencatat setiap gerakan kecil wanita itu.
Ketika sore menjelang dan sinar matahari mulai condong ke barat, Yasmin tertidur dalam pelukan Arka.
"Yasmin tertidur?" tanya Pak Baharuddin terkejut saat melihat cucunya terlelap di gendongan Arka.
"Sepertinya dia kelelahan lari ke sana kemari," jawab Arka pelan, tangannya menopang tubuh kecil Yasmin dengan lembut. Wajahnya sedikit berkeringat, namun tetap tampak tenang dan nyaman dengan beban kecil itu.
"Sini, biar bapak gendong," ujar Pak Baharuddin, menyodorkan kedua tangannya.
Akan tetapi, Arka segera menggeleng halus. "Biar aku saja, Pak. Nanti malah terbangun." Nada bicaranya sopan, penuh respek. Ia tahu Pak Baharuddin sudah cukup lelah menjaga Hannah seharian.
Dalam hatinya, Arka sempat bergumam lirih, Seandainya aku diizinkan memegang Hannah, tidak apa-apa Pak Baharuddin menggendong Yasmin. Namun, ia tahu, tak semua hal bisa disampaikan. Kadang perasaan hanya perlu disimpan sementara waktu.
"Ini sudah waktunya Yasmin tidur siang," ujar Hannah lewat isyarat tangannya. Arka memperhatikan dengan seksama, dan meski belum fasih, ia bisa menangkap maksud wanita itu.
"Kalau begitu, kita pulang saja," ujar Pak Baharuddin. Hannah mengangguk, perlahan berdiri dari tempat duduknya.
Langkah Hannah goyah. Tubuhnya sedikit limbung. Ia segera menopang diri dengan kruk, tapi dari raut wajahnya, tampak jelas rasa lelah menekan tubuhnya. Arka dengan cepat mengulurkan tangan, tapi tak jadi menyentuh, hanya berjaga-jaga jika Hannah benar-benar kehilangan keseimbangan.
***
❤❤❤❤❤
❤❤❤❤❤
siapakah pelaku yg udah buat trauma hannah 🤔
kalo krna trauma berarti hannah masih bisa disembuhkan ya,,suara yg hilang sm kelumpuhan kakinya dn pendengarannya kan bisa pake alat dengar 🤔
masih banyak yg blm terjawab dn bikin makin penasaran 🤗🤗