"HABIS MANIS SEPAH DI BUANG" itu lah kata yang cocok untuk Rama yang kini menjadi menantu di pandang sebelah mata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 Mantu Rahasia
“Nama cewek itu Sandra,” kata Rama pelan. “Aku juga nggak begitu kenal sama dia, baru tadi malam ketemu. Aku cuma bantuin dia sekali. Waktu denger kamu ngomong soal cerai, aku emosi, frustasi juga. Terus pas keluar buat nenangin diri, nggak sengaja ketemu dia. Karena aku nggak ada tempat buat pulang, akhirnya mampir ke rumahnya, ngobrol, minum dikit… tapi beneran deh, aku nggak ngelakuin hal yang aneh-aneh.”
Rama coba jelasin.
Tapi Ayu masih aja nggak percaya, dia geleng-geleng kepala sambil nyindir, “Udahlah, mending jujur aja soal hubungan kamu sama dia. Mungkin bisa bikin aku sedikit lebih lega.”
“Aku beneran nggak ngelakuin apa-apa. Tapi… kamu masih mau cerai?”
“Cerai? Nggak usah. Buat apa?” sahut Ayu ketus. “Kamu pikir kalau kita cerai, kamu bisa langsung lari ke pelukan cewek itu dan hidup bahagia? Nggak akan kubiarkan kamu sebahagia itu!”
“Ya udah, terserah kamu mau bilang apa. Tapi tolong jangan jelek-jelekin Sandra. Dia nggak salah apa-apa, dia cuma cewek baik yang kebetulan ketemu aku. Jangan rusak nama baiknya,” kata Rama agak tegas.
“Heh, sekarang kamu belain dia? Rama, aku nggak nyangka kamu ternyata orang kayak gini.”
Ayu nyinyir, sinis banget nadanya.
Rama narik napas panjang, alisnya berkerut. “Mau percaya atau nggak, itu urusan kamu. Lagipula, kamu juga nggak pernah nganggep aku suami kamu beneran, kan? Jadi aku ngapa-ngapain juga, buat kamu itu nggak ngaruh, ya kan?”
“Kamu…!”
Ayu terdiam sejenak, nggak bisa jawab, tapi kelihatan makin marah. Tanpa ngomong lagi, dia langsung pergi, mukanya pucat.
Rama mikir mungkin dia langsung pergi ke kantor. Dia nggak terlalu mikirin itu.
Tapi tanpa dia sadari, ada bahaya besar yang lagi ngintai Ayu.
Di luar komplek vila, ada taksi yang berhenti di pinggir jalan.
Sopirnya pake masker dan topi, lagi nelpon sambil duduk santai.
“Bro, dia belum keluar,” lapornya dengan suara pelan.
“gue udah cek. Mobilnya belum bisa dipakai. Dia pasti bakal naik taksi ke kantor. Begitu dia naik, langsung aja gebuk dia dan bawa ke KTV gue.”
“Siap. Eh, itu dia! Gue liat dia sekarang.”
“Pastikan lo bawa dia ke sini. Hari ini gue bakal pake dia buat ngasih pelajaran ke suaminya, Rama. Biar dia tahu rasanya main-main sama orang yang salah.”
Setengah jam kemudian, Rama lagi jalan santai di trotoar, tiba-tiba HP-nya bunyi ada telepon dari Ayu.
Tapi suara yang keluar bukan suara Ayu.
“Ck ck ck… Rama, coba tebak gimana kabar istrimu sekarang?”
Suaranya laki-laki, nyebelin banget, kayak orang yang lagi nikmatin penderitaan orang lain.
“Heri?” Rama langsung ngenalin suaranya. “Apa maksudmu, hah?”
“Kemarin enak banget ya nonjok Aku? Sekarang giliran Aku. Istrimu lagi ada sama aku. Tadi Aku kasih sedikit ‘obat’, dan sekarang efeknya udah mulai jalan. Temen-temen Aku di sini udah pada nggak sabar pengen ‘main’ sama dia.”
“Kalau kamu berani nyentuh satu helai rambutnya aja, Aku bakal cari kamu, dan kamu bakal ngerasain hal yang sama. Semua perempuan di keluarga kamu juga bakal kena balasannya.”
Rama ngomong pelan, tapi nadanya dingin dan bikin merinding.
Di seberang, Heri langsung diam beberapa detik. Dia nggak nyangka Rama bisa segarang itu.
Tapi terus dia ketawa kecil dan ngejawab, “Halah, Sok Iye kamu. Denger ya, Kamu punya waktu sepuluh menit buat sampe ke Inyul KTV. Lewat dari itu, aku nggak perlu suruh orang ku buat gerak, istri mu sendiri yang bakal datang ke mereka.”
Tuut… Tuut…
Telepon ditutup.
Jantung Rama langsung berdebar kencang. Dia buru-buru cari taksi.
Sialnya, itu jam sibuk, jalanan macet parah.
Tanpa pikir panjang, Rama keluar dari mobil dan lari sekencang-kencangnya.
Langkahnya cepat banget, kayak nggak masuk akal.
Kurang dari sepuluh menit, dia udah sampai di depan Inyul KTV.
Di pintu, dua cowok pake jas berdiri, kelihatan mau ngomong lewat HT mereka.
Bugh!
Bugh!
Tapi Rama gerak duluan. Sekali serang, dua-duanya tumbang, pingsan di tempat.
Rama langsung nerobos masuk ke dalam.
KTV itu belum buka, jadi belum ada pelanggan. Tapi aula besarnya udah penuh sama lebih dari tiga puluh orang. Semuanya bawa senjata ada yang megang tongkat besi, pisau, sampe pipa baja.
Di lantai, Ayu kelihatan setengah sadar. Tangannya megang perut, mukanya merah, matanya sayu, badannya gemetar, berusaha keras tetap sadar.
“Hahaha, Rama, kamu cepet juga ya sampe sini,” kata Heri sambil narik rambut Ayu kasar banget. “Lihat tuh istri mu, menggoda banget, ya nggak?”
“Lepasin dia! Urusannya sama aku, jangan libatin dia!” Rama teriak marah.
“Tenang, aku bakal urusin kamu juga… Tapi sebelum itu, aku pengen kasih ‘tontonan’ dulu.”
PLAK!
Satu tamparan mendarat keras di pipi Ayu. Darah langsung keluar dari sudut bibirnya.
Dia hanya mengerang pelan. Nggak punya tenaga buat ngelawan.
“Haha, Bang Heri, kenapa nggak langsung ‘unjukin’ skill istri orang di depan matanya aja sekalian?”
“Wah, ide bagus tuh,” sahut Heri dengan senyum sinis.
“Eh, cewek ini cantik juga ya. Hahaha, bikin semangat aja nih,” salah satu dari mereka ngakak, disambut tawa puas teman-temannya.
Sekelompok orang bersenjata itu kelihatan udah nggak sabar.
“Bro semua, CCTV udah gue matiin. Sekarang, hajar si Rama dulu. Pukul sampai dia mampus. Kalau ada apa-apa, gue yang tanggung. Soal ceweknya, nanti setelah Rama mati, dia jadi milik kita rame-rame. Tapi jangan sampai dia mati juga, sisanya bebas kalian apain aja,” kata Heri dengan suara dingin.
“Rama, lari…!” Ayu berteriak sekuat tenaga, berusaha kasih peringatan.
Tapi Rama sama sekali nggak mikir buat kabur.
“Kalian semua... sampah! Nggak ada satu pun dari kalian yang bakal keluar hidup-hidup dari sini hari ini!” Rama teriak, lalu langsung nyerbu ke arah mereka.
“Tangkap dia!”
“Berani-beraninya lawan Bang Heri! Ini hari matimu!”
“Bunuh dia!”
Lebih dari tiga puluh orang nyerbu Rama dari segala arah, bawa pipa, pisau, samurai, dan entah senjata apalagi.
Setelah bakat tersembunyinya bangkit, darah keturunannya ngasih kekuatan aneh ke Rama—energi misterius yang bisa menyembuhkan atau malah jadi bencana buat musuhnya.
Masalahnya, Rama nggak pernah belajar bela diri secara resmi. Yang dia punya cuma insting.
Tapi walau begitu, dia keliatan buas banget. Dia terjang mereka tanpa takut, bikin banyak orang terlempar, nyungsep sambil jerit kesakitan, nggak bisa lanjut bertarung lagi.
Rama sendiri juga nggak tanpa luka. Tubuhnya kena pukul pipa besi, kena tusukan, darah ngucur di mana-mana.
Tapi bukannya tumbang, dia malah makin gila. Kayak dewa perang, walaupun badannya luka parah, matanya penuh semangat. Setiap gerakan makin brutal. Tiga puluh orang itu satu per satu tumbang.
Gaya bertarungnya emang ngawur, tapi serem banget. Sisanya jadi ngeri sendiri, gemetaran, nggak berani maju lagi.
“Anjir... dia apaan sih, monster?” salah satu dari mereka panik.
“Bang Heri, orang ini gila kuatnya!”
“Kalian ini nggak guna banget!” teriak Heri marah. “Takut apaan? Dia udah sekarat! Tinggal dorong dikit juga tumbang tuh orang!”
Tapi keberanian mereka udah ambyar.
“gue... gue nggak sanggup,” celetuk cewek pirang dengan suara gemetar, lalu langsung lari.
Melihat itu, yang lain juga ikut kabur, cuek sama teriakan Heri. Mereka nggak peduli lagi, pokoknya lari sejauh mungkin dari Rama.
Heri ngamuk. Dia cabut belati dari pinggangnya dan langsung nyekek Ayu sambil neken pisau ke lehernya yang pucat.
“Rama! Berlutut sekarang juga atau Aku bunuh dia! Dengar nggak? BERLUTUT!”